Harapan saat Merdeka dari Pandemi: Kemerdekaan Hakiki

Sang Raja Hutan Sumatera. Sumber gambar: Kompas.com


Hari itu suasana Baru Air Batu, sebuah desa kecil di Kabupaten Merangin, Jambi berjalan seperti biasa. Pagi-pagi buta warga desa sudah berangkat ke kebun untuk mencari sesuap nasi. Sementara itu, Abu Bakar dan teman-temannya kembali mendaki Bukit Semenit yang berlokasi tidak begitu jauh dari rumah mereka. Aktivitas ini rutin mereka lakukan. Maklum, sinyal ponsel, apalagi koneksi internet berkecepatan tinggi, belum menjamah Desa Baru Air Batu. Hanya di Bukit Semenitlah mereka dapat menikmati merdeka belajar dan berkarya secara digital. Namun untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Tengah asyik online Abu Bakar diterkam harimau. Teman-temannya lari pontang-panting mencari pertolongan, namun ketika warga datang Abu Bakar sudah tidak lagi bernyawa.  


Tewasnya Abu Bakar merupakan imbas dari kesenjangan digital  (digital divide). Secara sederhana kesenjangan digital dapat diartikan sebagai akses terhadap internet dan perangkat digital yang tidak merata di kalangan masyarakat. PBB mencatat saat ini hampir setengah populasi dunia, atau sekitar 3.7 miliar jiwa, masih belum memiliki akses internet. Sebagian besar dari jumlah ini tinggal di negara berkembang (the Global South), termasuk Indonesia.


Pandemi Covid-19 telah membuat kesenjangan digital di Indonesia kian kentara. Berdasarkan rangking The Inclusive Internet Index, secara global Indonesia menduduki posisi 66 dari 120 negara dalam hal ketersediaan internet bagi semua. Di kawasan Asia Tenggara Indonesia menempati posisi lima, di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) melaporkan lebih dari setengah pengguna internet di Indonesia merupakan penduduk Pulau Jawa. Angka ini sangat kontras bila dibandingkan dengan Indonesia Timur yang rata-rata hanya menyumbang di bawah tujuh persen. Sementara itu, kesenjangan digital antara masyarakat perkotaan dan perdesaan masih terbentang lebar. Di desa hanya 36% masyarakat dewasa yang terkoneksi ke internet, sementara di kota angkanya 62%. 


Perbedaan kesenjangan digital di Jakarta dan daerah lain di Indonesia. Sumber gambar: Budiono, Fahrizal & Lau, Sim & Tibben, William. (2018). Cloud Computing Adoption for E-commerce in Developing Countries: Contributing Factors and Its Implication for Indonesia. 


Kesenjangan digital bukan satu-satunya permasalahan kemerdekaan di era pandemi corona ini. Persoalan lainnya adalah kegagapan sektor kesehatan. Sektor kesehatan Indonesia belum sepenuhnya mampu menghadapi dan memberikan solusi cepat untuk keluar dari pandemi. Dalam hal penanganan, mulai dari alat tes polymerase chain reaction (PCR), ventilator, hingga vaksin, semuanya mesti diimpor dari luar negeri. Sementara itu, solusi yang dihadirkan ilmuwan dalam negeri seperti GeNose C-19 masih pincang prosedur dan dianggap tidak akurat sehingga tidak dipakai lagi di sektor transportasi. Vaksin juga mengalami cerita serupa. Inisiasi vaksin Merah-Putih buatan Indonesia berjalan sangat lamban, sedangkan Vaksin Nusantara bentukan dr. Terawan tidak lolos uji klinis. ‘Obat Covid-19’ yang dikembangkan TNI Angkatan Darat, Badan Intelijen Negara (BIN), dan Universitas Airlangga (Unair) pun begitu, ditolak BPOM karena tidak memenuhi syarat ilmiah.


Kegagapan ini merupakan efek dari pengembangan sektor riset, terutama sektor kesehatan, yang tidak serius. APBN untuk membiayai penelitian di Indonesia masih sangat minim, bahkan terendah di antara negara-negara ASEAN. Walhasil, sampai hari ini Indonesia belum berhasil menelurkan lembaga riset kesehatan yang siap dan sigap dalam menangani wabah. Ketiadaan ini membuat putra-putri terbaik tanah air di sektor kesehatan tidak bisa berbuat banyak. Mereka harus berkarya di luar negeri - seperti yang dilakukan oleh Carina Citra Dewi Joe dan Indra Rudiansyah yang terlibat dalam pembuatan vaksin AstraZeneca di Oxford, Inggris - karena di sana lembaga riset sudah memungkinkan untuk mereka berkecimpung. Belum lagi dengan insentif yang diperoleh yang tentu saja sepadan dengan keahlian mereka. 


Indra Rudiansyah dalam video sosialisasi vaksin AstraZeneca Universitas Oxford, Inggris. Sumber gambar: Instagram PPI United Kingdom


Ketergantungan akan produk luar negeri, selain membebani keuangan negara, membuat penanganan Covid-19 di Indonesia mahal dan tidak maksimal. Tes PCR misalnya, hanya dapat dijangkau oleh mereka yang berada di golongan menengah ke atas. Bagi yang ekonominya Senin-Kamis hanya punya dua pilihan: berharap pada uluran tangan pemerintah atau tidak tes sama sekali. Tidak itu saja, ketidakmampuan membuat vaksin dengan efikasi tinggi di tanah air memperlambat pemulihan penanganan wabah. Indonesia harus rajin-rajin berdiplomasi agar mendapatkan vaksin karena negara si pembuat lebih mengutamakan penggunaan di dalam negeri, ketimbang bagi-bagi dengan negara lain. Maka tidak heran jika Indonesia saat ini belum bisa menikmati kehidupan normal pra-pandemi Covid-19 seperti Amerika dan Inggris yang punya vaksin Covid-19 berefikasi tinggi.


Kemerdekaan Hakiki

Pandemi Covid-19 memang saat ini tengah mereda, namun bukan berarti Indonesia sepenuhnya aman dari wabah selanjutnya.  Yuval Noah Harari dalam bukunya Homo Deus: A Brief History of Tomorrow mencatat bahwa perang, bencana kelaparan, dan wabah tidak bisa dihapus dari muka bumi. Aneka penyakit menular akan terus datang dan hanya bisa diminimalisir. Ini bukan isapan jempol belaka. Dalam sejarah umat manusia modern telah terjadi berbagai wabah, dari flu mematikan sampai kolera. Terlebih, hilangnya habitat hewan akibat eksploitasi oleh manusia akan semakin meningkatkan risiko munculnya wabah baru. Ini artinya apa yang dialami Indonesia hari ini akan terulang kembali jika ibu pertiwi tidak berbenah. Untuk itu, tidak dapat tidak Indonesia harus menanggulangi kesenjangan digital dan membenahi sektor riset kesehatan.

Pemangkasan kesenjangan digital bisa dilakukan dengan mengoptimalkan peran Telkom beserta seluruh anak perusahaannya. Telkom harus memberikan lebih banyak bantuan laboratorium optik ke Daerah Terdepan, Terpencil dan Tertinggal (3T) agar digitalisasi proses belajar mengajar semakin merata. Mangoesky, layanan  internet broadband menggunakan satelit (VSAT IP) untuk Daerah 3T besutan Telkomsel, juga harus diperbanyak. Pemerataan akses internet tidak saja akan memangkas kesenjangan, tetapi juga meningkatkan taraf hidup masyarakat lintas geografi. Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) daerah terpencil bisa meraih pasar lebih luas dengan memasarkan produk mereka di marketplace. Pemuda-pemudi desa yang gamang mencari penghasilan tetap bisa memanfaatkan YouTube sebagai lumbung uang. Sudah banyak yang sukses besar di sektor ini dengan penghasilan yang jauh di atas rata-rata Upah Minimum Regional (UMR) daerah, seperti yang dialami warga Kampung YouTuber di Jawa Timur.

Tidak berhenti di situ, pemerataan akses digital akan memberikan kesempatan membangun diri kepada anak-anak daerah untuk nantinya berkecimpung di dalam peradaban Industry 4.0 dan Society 5.0. Dengan tersedianya infrastruktur digital mereka bisa mengikuti kelas bahasa Inggris gratis yang ditawarkan oleh banyak website di internet. Mereka juga bisa menjalin pertemanan dengan sesama anak bangsa serta membangun jejaring dengan warga negara dunia. Ini akan memungkinan pertukaran ide yang tentu saja berguna bagi perkembangan diri dan karir mereka di masa depan. Mengingat banyaknya konten pendidikan dan kebijakan negara yang kini berbentuk produk digital, ketersediaan akses digital untuk semua juga akan memastikan tidak seorang pun yang tertinggal di belakang (no one is left behind). Dengan pemerataan digital, dalam jangka panjang, tidak ada lagi anak bangsa yang menjadi penonton. Semuanya pemain utama. Setiap orang bisa bersaing tanpa perduli latar belakang ekonomi dan residensi. 

Gambaran Society 5.0 yang diprakarsai Jepang. Sumber gambar: Cabinet Office.


Dalam hal membangun negara pun sama, kehadiran peradaban digital akan menciptakan kekuatan yang setara (a level playing field) antara anak Jakarta dan mereka yang tinggal di daerah terpencil Nusantara. Hari ini anak-anak milenial yang mengisi pos-pos strategis negara mayoritas dari mereka yang memiliki privilise. Jika tidak dari keluarga kaya, kebanyakan dari mereka berasal dari kota besar. Privilise ini kemudian memberikan akses pendidikan bermutu tinggi kepada mereka hingga ke luar negeri. Staf milenial presiden jokowi yang hampir semuanya, kecuali Billy Membrasar, berasal dari kalangan penuh privilise merupakan bukti sahih dari ketimpangan kesempatan ini.


Adapun untuk kemerdekaan dalam menangani wabah selanjutnya, sektor riset kesehatan wajib diperkuat. APBN harus dikucurkan lebih banyak lagi kepada lembaga riset kesehatan agar lebih leluasa dalam berinovasi. Lembaga ini harus dilengkapi dengan teknologi dan infrastruktur riset mutakhir. Anak-anak bangsa yang terlibat dalam riset vaksin di dunia harus dipanggil pulang. Namun memberdayakan mereka harus dengan fasilitas riset dan kemerdekaan ekonomi yang jelas. Para ilmuwan ini mendapatkan segudang benefit di luar negeri. Inilah yang dilakukan Tiongkok dengan program 1000 talentanya yang berhasil memanggil pulang jutaan diaspora etnis Tionghoa dari berbagai penjuru dunia. Hasilnya luar biasa. Saat ini Tiongkok menikmati kemajuan signifikan di berbagai bidang riset dan ilmu pengetahuan.


Yang tidak kalah penting juga adalah mindset pengembangan riset yang mesti menghasilkan produk bermanfaat dalam jangka pendek harus ditinggalkan. Riset merupakan proses yang lambat, bukan instan. Bukan juga lumbung uang yang siap sedia dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi sesaat. Tapi jika dibina dengan serius penghasilan dari produk riset tidak kalah besar dari sektor lain. Pfizer dan Moderna, misalnya, meraup pendapatan jutaan dolar dari penjualan vaksin Covid-19. Namun tentu saja logika bisnis dalam riset kesehatan harus menjadi prioritas kedua, setelah kemanusiaan. 


Abu Bakar telah tenang di alam sana. Harimau yang menerkamnya juga sudah ditangkap pihak berwenang. Sulit rasanya untuk tidak menganggap Abu Bakar sebagai korban dari ketidakmerdekaan dalam belajar dan berkarya. Oleh karena itu, berkaca dari kasus Abu Bakar, harapan merdeka seharusnya tidak tertuju untuk diri sendiri saja, melainkan untuk segenap elemen anak bangsa. Di masa depan ibu pertiwi harus mampu menjadi negara mandiri dalam menangani pandemi, dan setiap warga negara Indonesia mesti dapat menikmati peradaban digital tanpa perduli di mana mereka tinggal. Inilah kemerdekaan hakiki.


#LombaBlogUnpar

#BlogUnparHarapan








Comments