Kepergian Nenek dan Asa Akses Listrik untuk Semua di Tahun 2050

Desa dengan sumber listrik terbarukan. Sumber gambar: Media Indonesia.

Dia terdiam. 

“Bagaimana keadaan nenek?”, Saya mengulangi pertanyaan.

“Nenek sudah tidak ada...”, jawabnya dengan suara bergetar. 

Hening kembali menyelimuti. Tidak disangka, setelah hampir satu minggu putus komunikasi dengan sang istri, kabar yang saya terima di ujung telepon rupanya kabar duka. 

Nenek menghembuskan nafas terakhir di kediamannya di Air Liki, sebuah desa indah di kaki Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), Jambi. Air Liki belum tersentuh peradaban modern akibat tidak adanya aliran listrik permanen. Memasok listrik ke Air Liki tidak menguntungkan dalam perspektif bisnis dan berisiko dalam perspektif teknis. Ini dikarenakan Medan Air Liki berbukit curam serta letaknya lumayan jauh dari kota Bangko, ibu kota kabupaten Merangin. Maka nenek mesti bertarung sendiri melawan sesak nafasnya, tanpa bantuan ventilator layaknya di kota-kota.

Ketiadaan akses listrik permanen di Air Liki berdampak hebat pada kehidupan masyarakat. Warga Air Liki terputus dari dunia luar sebab sinyal telepon seluler tidak ada. Fasilitas Puskesmas masih seadanya, dan pendidikan berkualitas tak ubahnya dongeng belaka. Telemedicine yang menjadi solusi bagi pasien Covid-19 yang sedang isolasi mandiri belum pernah terdengar di Air Liki. Walhasil, meskipun banyak warga Air Liki demam yang disertai hilangnya indera penciuman akhir-akhir ini, sebagian besar dari mereka masih menganggap itu hanya demam biasa. 

‘Tempek’ merupakan satu-satunya moda transportasi untuk mencapai Air Liki. Sumber gambar: Sindonews.

Air Liki tidak sendiri. Ada 433 desa daerah lain di Indonesia yang kondisinya sampai hari ini masih seperti sebelum Revolusi Industri. Penyebabnya sama dengan Air Liki, yaitu secara teknis dan bisnis ‘tidak memungkinkan’ bagi PLN untuk masuk.

Tapi angin segar itu berhembus juga.

Berdasarkan Best Policy Scenario Institute for Essential Services Reform (IESR), think-tank dalam bidang energi dan lingkungan, 100% sektor listrik Indonesia bisa dialiri menggunakan energi terbarukan menjelang 2050. Sementera itu, walaupun agak lebih lambat, pemerintah sendiri menargetkan 2070 sebagai tahun yang dinanti itu. Ini artinya, di tahun 2050 Air Liki dan ratusan desa terpencil lainnya di Indonesia akan ikut menikmati sentuhan peradaban modern. 

Prasyarat Pemerataan Peradaban Modern 

Daron Acemoglu dan James A Robinson boleh saja berargumen dalam buku fenomenal mereka, Why Nations Fail, bahwa institusi politik dan ekonomi yang inklusif merupakan pembeda antara negara yang berhasil mensejahterakan rakyatnya dan yang tidak. Namun, dengan mengambil contoh kasus Air Liki, sepertinya argumen dua orang profesor itu kurang lengkap. Ketersediaan aliran listrik juga sangat menentukan kesejahteraan masyarakat dalam berbagai bidang, dari ekonomi, kesehatan sampai pendidikan. 

Sebagai penemuan terhebat umat manusia, listrik memungkinkan terjadinya produksi dan konsumsi barang dalam jumlah banyak. Listrik juga memberi jalan digitalisasi ekonomi yang pada akhirnya mendongkrak produktivitas. Listriklah yang membedakan Air Liki dengan Suo-suo, desa di kecamatan saya yang juga terkunci di tengah hutan. Listrik tidak hanya menghidupkan televisi masyarakat di sana, tetapi juga memancarkan sinyal internet 4G. Dengan ketersediaan akses ini masyarakat Suo-suo dapat meningkatkan aktivitas dan konektivitas ekonomi dengan dunia luar. Pendidikan di era pandemi pun bisa dijalani dengan lebih mudah. 

Pengalaman saya tinggal di Shellharbour, Australia, juga sama. Warga Shellharbour memiliki mall, rumah sakit, dan sekolah dengan fasilitas yang tidak kalah jauh berbeda dari Sydney, meskipun Shellharbour agak ‘terpencil’. Tidak hanya itu, University of Wollongong yang hanya 25 menit perjalanan dengan mobil dari Shellharbour memiliki kualitas tidak begitu berbeda dari University of Sydney. Banyak faktor yang mempengaruhi kemajuan ini, tentu saja. Namun hampir semua kemajuan itu tidak akan tercipta tanpa adanya aliran listrik. 

Shellharbour tampak dari atas. Sumber gambar: Warren Keelan.

Menjelang tahun 2050 dunia akan menghadapi perubahan yang luar biasa. Pertama, digitalisasi kehidupan akan kian masif, baik sebagai dampak dari Industry 4.0 maupun Society 5.0. Kedua, semakin hilangnya habitat hewan akibat eksploitasi akan meningkatkan risiko munculnya wabah baru. Sejarah mencatat, sebagaimana yang dikemukakan Yuval Noah Harari dalam bukunya Homo Deus: A Brief History of Tomorrow,  wabah, bencana kelaparan, dan perang tidak bisa dihilangkan. Hanya bisa diminimalisir. Ini artinya ketersediaan listrik untuk semua di tahun 2050 akan sangat menjamin kelangsungan hidup, baik di kala puncak Industry 4.0 atau Society 5.0 maupun di tengah bencana. Apa pun skenarionya, rumah akan tetap menjadi tempat berlindung terbaik serta tempat bekerja ternyaman yang memangkas sekat-sekat geografi. 

Pandemi Covid-19 telah memberikan bukti sahih pentingnya rumah dan listrik ini. Tidak sama dengan wabah sebelumnya, seperti Black Death atau Flu Spanyol, wabah kali ini tidak menghentikan aktivitas ekonomi sepenuhnya. Orang-orang tetap bisa bekerja dari rumah dengan bantuan teknologi digital. Dengan teknologi digital saya dapat membimbing pegawai kantoran Jakarta dari tanah kelahiran saya sendiri, Teluk Langkap. Di tempat yang sama saya mereview esai yang ditulis akademisi internasional. Semua ini bisa saya lakukan karena kampung saya dialiri listrik untuk mengisi daya laptop dan memancarkan sinyal internet dari tower pemancar terdekat. 

Dengan tersedianya listrik bagi seluruh rakyat Indonesia di 2050 progres dalam bidang lain akan mengikuti. Warga di daerah terpencil seperti di Air Liki bisa mendapatkan pendidikan berkualitas melalui internet 5G yang super cepat. Setiap orang dapat berobat di rumah sakit yang sudah dilengkapi fasilitas yang sama dengan rumah sakit di Jakarta. Kematian seperti yang melanda nenek saya pun dapat dihindari. Berkat kemajuan ini setiap anak bangsa bisa bersaing di tataran nasional untuk menjadi menteri, ilmuan, atau diplomat walaupun tinggal jauh dari keramaian kota. 

Gambaran Society 5.0 yang diprakarsai Jepang. Sumber gambar: Cabinet Office.

Efek lain dari ketersediaan listrik untuk semua di 2050 adalah meningkatnya rasa persatuan. Dalam sejarah Indonesia kabar kemerdekaan tidak akan pernah sampai tanpa adanya Radio Republik Indonesia (RRI) yang dioperasikan dengan listrik. Begitu juga dengan penguatan nasionalisme Indonesia di era pasca kemerdekaan, dari televisi hingga media digital, semuanya ditopang dengan listrik. Oleh karena itu, dengan kondisi Indonesia yang sudah 100% teraliri listrik hubungan antara pemerintah dan rakyat serta antara sesama rakyat akan semakin erat. Ini dikarenakan listrik memberikan jalan interaksi virtual melalui media yang akhirnya membentuk dan memperkuat imajinasi kebangsaan. Meminjam istilah Indonesianis Benedict Anderson, kebangsaan itu tidak lain adalah ‘imagined communities’ atau komunitas terbayang yang dikonstruksi tanpa sentuhan fisik semua anggotanya.

Membayangkan Indonesia di Tahun 2050

Pengurangan emisi dengan Best Policy Scenario (BPS) dibandingkan skenario lain (DPS dan CPS). Sumber gambar: Laporan IESR.

Kedaulatan sumber energi terbarukan di tahun 2050 sudah menjadi target banyak negara di dunia. Di Indonesia, berdasarkan riset IESR, target ini secara teknis dan ekonomi dapat diwujudkan. Untuk sektor listrik skenarionya adalah dengan menggunakan sel surya solar photovoltaic dalam jumlah besar, hydropower, geothermal, dan baterai penyimpanan energi. 

Tahun 2050 Indonesia menjadi negara dengan ekonomi terkuat keempat di dunia. Maka di tahun emas itu bisa dipastikan semua orang tanpa terkecuali akan menikmati mudahnya hidup dengan listrik. Kulkas, dishwasher, dan mesin cuci akan semakin menjamur. Robot asisten rumah tangga dan smart home bukan lagi keistimewaan orang Jakarta saja. Setiap orang tanpa perduli wilayah tempat tinggal dapat berkomunikasi dengan mudah dengan siapa pun dan dari mana pun. Kendaraan listrik tidak lagi sekedar tren, tetapi sudah suatu kelaziman. Kota-kota pun bersih dari polusi kendaraan yang mematikan. Pendek kata, di tahun 2050 semua orang menikmati sentuhan peradaban yang sama, setiap warga negara Indonesia merasakan manisnya kemerdekaan dalam artian yang sesungguhnya. 

Penggunaan listrik terbarukan di setiap lini kehidupan membuka lapangan pekerjaan baru. Ini sesuai dengan laporan International Renewable Energy Agency (IRENA), di mana akan ada sekitar 100 juta pekerjaan bidang energi terbarukan di tahun 2050. Asia mengambil porsi terbesar dalam pembukaan lapangan kerja ini, yaitu 64%. Di Indonesia, di tahun 2030 saja akan ada sekitar 7.2 pekerjaan baru di sektor energi terbarukan. 

Di tahun 2050 opini publik terhadap sumber energi fosil berubah drastis, sama dengan perubahan pandangan masyarakat terhadap rokok. Dulu rokok dianggap biasa namun karena pergeseran tren gaya hidup hari ini rokok tidak lagi mendapatkan tempat istimewa. Opini ini akan terus menciptakan apa yang disebut peer pressure dalam ilmu psikologi, di mana orang-orang merasa tidak nyaman jika menggunakan energi fosil di tengah mayoritas masyarakat yang sudah beralih ke energi hijau. 

Karena sumber energi fosil sudah dianggap tidak sesuai tuntutan zaman, banyak Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang berbasis batu bara menjadi aset terbengkalai (stranded assets). PLTU semakin kehilangan relevansi karena murah dan mudahnya mendapatkan energi bersih. Walhasil, di tahun 2050 pemanfaatan sumber listrik terbarukan menjadi hal biasa ditemui, baik di desa, lebih-lebih di kota.

Permasalahan lain di sektor batu bara juga ikut raib di tahun 2050. Di daerah penghasil batu bara seperti Jambi, truk angkutan batu bara menyedot hampir seluruh pasokan minyak solar. Hal ini berakibat kelangkaan minyak dan antrian panjang di banyak SPBU. Tidak itu saja, karena jumlahnya yang masif truk angkutan batu bara langganan kecelakaan di jalan. Bahkan di beberapa kejadian nyawa warga ikut melayang. Ini belum termasuk kepulan asap hitam dari konvoi truk batu bara yang mengotori udara saban harinya. 

Kincir angin PLTB Sidrap, Sulawesi Selatan. Sumber gambar: Mongabay.

Peralihan ke sumber listrik terbarukan tidak hanya menguntungkan warga, tetapi juga alam dan satwa. Di tahun 2050 hutan akan ikut terlestarikan sebab batu bara dan minyak bumi tidak lagi ditambang. Tambang batu bara akrab dengan pencemaran sungai dan lubang-lubang besar yang tidak direklamasi. Maka tak heran jika di 2013 lalu Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek) kala itu, Prof. Dr. Ir. H. Gusti Muhammad Hatta, M.S., menobatkan batubara sebagai perusak utama hutan di Kalimantan. Kawanan gajah di Suo-suo juga ikut merasakan kesejahteraan di tahun 2050. Hari ini tambang batu bara merebut tempat tinggal mereka sehingga mereka terpaksa memasuki pemukiman dan memakan tanaman warga. Sementara itu, karena tidak dibutuhkan lagi, pengeboran minyak berhenti dengan sendirinya di tahun 2050. Hal sama berlaku terhadap pengeboran minyak ilegal yang tidak hanya merusak hutan, tetapi juga mencemari sumber air warga dan udara di sekitar. 

Nenek sudah tenang di alam sana. Akan tetapi kepergian nenek bukan sekedar perkara takdir saja sebab dalam takdir ada porsi usaha manusia. Saya yakin kalaulah Air Liki tersentuh aliran listrik permanen yang memungkinan tersedianya fasilitas medis yang memadai, barangkali jalan ceritanya akan lain. Tapi sudahlah. Semoga saja realita pahit ini tidak terulang di 2050 nanti, di mana Air Liki dan segenap daerah terpencil lainnya sudah teraliri listrik permanen dari sumber terbarukan. 

Comments