Akbar masih mengontrak di rumah milik orang
tuanya di bilangan Pondok Aren, Jakarta. Pria yang berprofesi sebagai desainer
grafis itu sudah berencana membeli rumah, namun terkendala di uang muka yang baginya
masih tergolong mahal.
Sama dengan Akbar, Sahril
sampai hari ini juga belum memiliki hunian sendiri. Sudah bertahun-tahun dia
menumpang di rumah mertuanya di sebuah desa kecil di Jambi. Sahril tidak memiliki
pekerjaan kerja tetap. Dia kadang menyadap karet, sering juga memanen sawit.
Sudah bertahun-tahun Sahril ingin mempunyai rumah, tapi apa daya keterbatasan
ekonomi selalu menghalangi.
Akbar dan Sahril
adalah bagian dari generasi milenial Indonesia karena keduanya lahir antara tahun 1980 dan 2000. Bagi
banyak kalangan generasi
milenial dianggap segmen pasar potensial.
Ada beberapa alasan mengapa demikian. Pertama, generasi milenial saat ini populasi
mayoritas dengan jumlah total sekitar 135 juta jiwa. Kedua, mereka memiliki
porsi pertumbuhan penghasilan terbesar. Pada periode 2010-2019 pertumbuhan
pendapatan generasi milenial mengalami peningkatan sebesar 8.6%,
melebihi rata-rata pendapatan seluruh populasi di Indonesia yang berada di
angka 3-4%. Ketiga, mereka adalah kekuatan ekonomi masa depan. Tahun 2030
generasi milenial akan mewakili 44% penduduk Indonesia dengan potensi daya beli
yang dapat meningkatkan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional sebesar
6.5%.
Besarnya potensi ekonomi generasi milenial berbarengan
dengan tingginya kebutuhan mereka akan tempat tinggal. Data Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kementerian PUPR) mengungkapkan setidaknya
ada sekitar 81 juta (64.9%) milenial yang
belum memiliki rumah. Hal ini kontras dengan keinginan mereka di mana memiliki
rumah merupakan prioritas kedua tertinggi
(54.2%) setelah membahagiakan orang tua. Barangkali fakta inilah yang mendorong
pihak perbankan menyediakan program Kredit Perumahan Rakyat (KPR) khusus bagi
generasi milenial, seperti KPR Milenial dari Bank Mandiri, KPR Gaess Bank BTN,
Griya Gue BNI, dan KPR Muda Bank MNC.
Ada dua jenis generasi milenial Indonesia yang saat ini
tengah menunggu terwujudnya mimpi rumah pertama mereka. Milenial ini tersebar
di perkotaan dan perdesaan di seluruh penjuru tanah air.
Milenial perkotaan: menunggu kabar baik
Data Profil Generasi Milenial Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak
Indonesia (Kemenpppa) menyebutkan 55.01% dari generasi milenial tinggal di
perkotaan. Bagi pemerintah angka ini adalah peluang sekaligus
tantangan. Milenial perkotaan banyak yang berkerja di sektor formal dengan
pendapatan yang lumayan. Akan tetapi, harga perumahan di kota yang terus
meroket tinggi membuat pemerintah berpikir keras untuk menyediakan hunian bagi
mereka.
Beberapa upaya sejatinya telah dilakukan pemerintah
untuk menghadirkan rumah pertama bagi milenial perkotaan mulai dari sosialisasi
sampai pengadaan KPR bersubsidi. Pertengahan tahun lalu Kementerian PUPR
misalnya mengadakan pameran perumahan rakyat
yang diadakan di Lapangan Sapta Taruna Kementerian PUPR, Jakarta. Tujuan dari
pameran tersebut adalah untuk mensosialisasikan informasi perumahan kepada
generasi milenial.
Kementerian PUPR
juga telah meluncurkan Sistem Informasi KPR Subsidi Perumahan (SiKasep). Aplikasi
Android ini diharapkan dapat memudahkan proses pencarian dan pengajuan KPR
subsidi berdasarkan lokasi pengguna. SiKasep sudah diunduh lebih dari
100.000 pengguna Android.
Untuk memudahkan pembelian, pemerintah menyediakan KPR dengan
skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP).
FLPP menawarkan berbagai kemudahan seperti besaran suku
bunga KPR maksimal 5% dan masa cicilan yang lama (hingga 20 tahun). Di
samping itu, terdapat juga skema subsidi lain
seperti Subsidi Selisih Bunga Kredit Perumahan (SSB), Subsidi Bantuan Uang Muka
(SBUM) dan Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT).
Melalui beberapa skema
subsidi ini sejumlah KPR dikembangkan. Program Satu
Juta Rumah (PSR) Presiden Jokowi salah satunya. Target dari program ini
adalah Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR)
dengan rentang pendapatan 4-7 juta per bulan. Bagi mereka yang berpenghasilan
maksimal 4 juta bisa mendapatkan KPR subsidi, sedangkan yang berpenghasilan
bulanan paling banyak 7 juta dapat menempati rusun subsidi.
Program perumahan lain
dengan skema subsidi dari pemerintah adalah perumahan berbasis komunitas. Saat
ini telah dibangun perumahan khusus bagi anggota Persaudaraan Pemangkas Rambut
Garut (PPRG)
di Jawa Barat. Perumahan yang sama akan segera
dibuat untuk ASN, TNI dan Polri yang belum memiliki hunian sendiri. Nantinya
perumahan berbasis komunitas ini akan dikembangkan
di 32 kabupaten/kota di seluruh Indonesia dengan jumlah usulan 9.000 unit
rumah.
Selain itu,
pemerintah akan menghadirkan program perumahan khusus milenial seperti yang dijanjikan
sendiri oleh Menteri PUPR Basuki Hadimuljono. Saat ini skemanya tengah digodok dan telah
dimasukkan ke dalam program kerja Kementerian PUPR 2020.
Program perumahan
khusus milenial ini terfokus pada hunian berkualitas di pusat kota dengan
konsep Transit Oriented Development (TOD) yang terintegrasi dengan
transportasi publik serta memiliki akses internet. FLPP merupakan pintu bagi
generasi milenial untuk tinggal di perumahan ini, meskipun jumlah unit subsidi
masih terbatas.
Beberapa program
perumahan di atas memang tidak diadakan di kota saja. Tapi mengingat persebaran
perumahan masih terkosentrasi di perkotaan dan suburban, tersedianya beragam
skema KPR tentu sangat membantu milenial perkotaan. Selain itu, akan
dibangunnya perumahan khusus milenial tak
diragukan lagi merupakan kabar baik yang ditunggu-tunggu milenial perkotaan,
mengingat halangan terbesar mereka untuk memiliki rumah pertama selama ini
adalah tingginya uang muka dan cicilan.
Milenial
perdesaan: menanti uluran tangan
Sebagian besar informasi mengenai generasi milenial
Indonesia sangat bias perkotaan. Kaum muda yang mewakili lebih dari 30%
populasi Indonesia itu misalnya seringkali dicitrakan media bekerja di
depan laptop, makan di café dengan gawai di tangan, dan berkecimpung di sektor
teknologi. Persis seperti Akbar.
Banyak riset tentang milenial
juga hanya mengambil sampel di perkotaan, termasuk penelitian terbaru yang
dilakukan Nielsen dan IDN Research Institute. Data dan cerita di
media mengenai krisis perumahan milenial pun sama yang mayoritasnya terfokus
pada perkotaan (Jakarta). Bahkan laporan tentang milenial anti-mainstream
oleh The Jakarta Post hanya berfokus
pada milenial pinggiran Jakarta.
Bias perkotaan yang diciptakan oleh media dan
penelitian di atas mempengaruhi diskursus mengenai generasi milenial Indonesia.
Implikasinya adalah generasi milenial yang tinggal di perdesaan berikut
permasalahan perumahan yang mereka hadapi seolah hilang dari perdebatan.
Padahal jumlah mereka tidak sedikit. Kemenpppa mencatat milenial perdesaan mewakili 44.99% dari total keseluruhan
milenial Indonesia. Angka ini hanya 5 persen lebih sedikit dari milenial
perkotaan.
Jutaan generasi milenial perdesaan merawat mimpi yang
sama dengan milenial perkotaan, yaitu memiliki rumah pertama. Masalahnya adalah
mereka tidak begitu beruntung secara finansial sebab aktivitas ekonomi mereka
masih didominasi (42.40%) bidang
pertanian konvensional, kehutanan dan perikanan. Banyak dari mereka juga
menggeluti sektor pekerja kasar dengan total
persentase sebesar (21.82%). Penghasilan mereka di sektor pertanian dan non
pertanian ini rata-rata masih di bawah 2 juta. Sementara itu, sektor formal
hanya mampu menyerap 36.59% milenial perdesaan.
Masalah yang dihadapi milenial perdesaan tidak cukup
pada aspek ekonomi. Mereka juga tidak banyak yang berpendidikan tinggi. Hanya
5.63 persen millenial perdesaan yang mencapai perguruan tinggi, sedangkan jutaan sisanya cuma tamatan
SMA ke bawah.
Faktor jenis pekerjaan dan pendidikan sangat
mempengaruhi peluang milenial perdesaan dalam mewujudkan mimpi memiliki rumah
pertama. Di samping memberikan penghasilan yang rendah dan tidak menentu,
sektor pekerjaan mayoritas milenial di atas tidak memiliki slip gaji yang
seringkali menjadi dokumen wajib ketika mengajukan KPR. Sementara itu,
pendidikan yang rendah menjadi penghalang mendapatkan pekerjaan di sektor
formal yang biasanya menawarkan bayaran berdasarkan Upah Minimum Retribusi (UMR)
dan menyediakan slip gaji. Ini artinya, ada jalan buntu di hadapan jutaan
milenial perdesaan untuk memiliki rumah pertama.
Data menunjukkan saat ini hanya 50.67% rumah tangga
masyarakat perdesaan yang memiliki akses terhadap hunian yang layak dan
terjangkau. Tak heran jika sebagian masyarakat mengeluhkan program KPR yang tidak begitu banyak tersedia di perdesaan. Di
wilayah sekitar Desa tempat tinggal Sahril, misalnya, berdasarkan aplikasi
SiKasep, tidak ada satupun ditemukan perumahan dengan skema KPR. Maka wajar
jika sampai hari ini Sahril belum bisa memiliki rumah sendiri.
Lumayan runyamnya permasalahan yang dihadapi milenial
perdesaan membuat mereka menantikan uluran tangan pemerintah. Walau bagaimanapun,
mereka berhak memiliki hunian sendiri sebagaimana yang diamanatkan UUD 1945 Pasal
28 H.
Apa yang harus
dilakukan
Ada beberapa solusi untuk membantu milenial perdesaan
memiliki rumah sendiri. Pertama, Kementerian PUPR perlu lebih gencar memperkenalkan
program KPR kepada milenial perdesaan. Pameran perumahan KPR harus diadakan
secara berkala sembari memperkenalkan aplikasi SiKasep. Hal ini penting
dilakukan karena masih banyak daerah di Indonesia yang tidak memiliki koneksi
internet. Sebagai contoh, tingkat pengguna internet di Lampung dan
Sulawesi Barat hanya di bawah 40%. Sementara itu, pengenalan aplikasi SiKasep
akan sangat membantu Kementerian PUPR dalam menggaet milenial perdesaan sebab
mayoritas dari mereka memiliki gawai (87.65%).
Kedua, Kementerian PUPR harus aktif mensosialisasikan Permen PUPR No. 26 Tahun 2016 kepada milenial
perdesaan. Ini dibutuhkan agar milenial perdesaan mengetahui bahwa mereka juga dapat
mengajukan KPR walaupun bekerja di sektor informal dan tidak memiliki
penghasilan tetap. Kementerian PUPR juga perlu mendorong pihak-pihak terkait
agar mematuhi dan melaksanakan Permen ini.
Ketiga, kalusul pemanfaatan tanah BMN/ BUMN/ BMD/ BUMD
seperti yang tertera di dokumen Program Kerja Kementerian PUPR untuk tahun 2020
ini harus memberikan fokus yang sama terhadap milenial perdesaan. Amat
disayangkan skema strategis ini masih menitikberatkan kepada milenial
perkotaan. Padahal terdapat 21 provinsi di Indonesia dengan mayoritas rumah
tangga berdiam di perdesaan.
Akbar dan Sahril
telah lama merawat mimpi memiliki rumah pertama. Saat ini, Akbar dan
kompatriotnya di perkotaan tengah menunggu kabar baik terlaksananya program
perumahan khusus milenial yang dijanjikan Menteri PUPR. Sementara itu, Sahril dan
jutaan milenial perdesaan lainnya sedang menanti uluran tangan pemerintah agar mereka
juga dapat memiliki rumah pertama. Penantian Akbar dan Sahril adalah potret
penantian dua generasi milenial.
Comments
Post a Comment