Tempo hari seorang
teman memberi tahu jika dia sudah pulang ke Jambi. Dia gembira bukan kepalang
(tentu saja), dan di sepanjang penuturannya saya bisa merasakan keriangan itu. Sorenya, seperti biasa, saya mengelilingi
komplek dengan istri dan anak. Keadaan
sekitar masih seperti sebelumnya, di mana gang-gang masih di lockdown dan
keadaan sekitar sepi senyap. Tapi ada sedikit yang ‘nyeleneh’. Di salah satu
gerbang di dekat kost-an kami yang lama, kami menyaksikan sekumpulan anak muda
berjaga-jaga, sambil mendengarkan musik dengan pengeras suara,
dan tampak santai tapi waspada. Tidak jauh dari tempat mereka berkumpul, dua
spanduk tertancap di tanah. Yang satunya menghimbau tamu agar melapor, sedang
yang satunya lagi melarang, meskipun dengan nada yang lebih lembut, pemudik
pulang ke kampung (meskipun dinamakan kampung, dalam defenisi kami tetaplah ini kota) yang lokasinya tidak jauh dari pusat kota Yogyakarta itu.
Akhir-akhir ini memang pulang kampung merupakan isu yang diperdebatkan, baik di layar kaca televisi maupun di media sosial. Ia menjadi
begitu serius, sehingga kami
yang dirantau, meskipun amat sangat ingin berkumpul dengan orang-orang tercinta
dan berdiam di rumah sendiri, mesti menghadapi realita yang serba salah. Di satu sisi kami
ingin pulang, tapi di sisi lain, pulang kampung membawa potensi bahaya. Bisa saja
virus covid-19 sudah bersemayam di dalam diri dan kemudian tanpa disadari
menjangkiti orang lain. Kebimbangan itu semakin mengoyak perasaan ketika melihat reaksi netizen di media sosial yang kadang terlalu berlebihan.
Bagaimana tidak,
orang-orang yang di rantau seperti kami dianggap bersalah sehingga harus ditolak
meskipun belum ada bukti. Dalam kata lain, orang dari rantau sudah positif
membawa virus corona, maka oleh karena itu mereka wajib tidak diterima. Keegoisan
seperti ini sangat tidak sehat karena ia mencederai hak asasi manusia. Walau bagaimanapun
seseorang berhak pulang ke kampung halamannya. Mekanismenya saja yang perlu
diperbaiki. Misalnya, setiap yang pulang kampung wajib dikarantina dulu selama
14 hari atau lebih sebelum dipersilakan berkumpul dengan keluarga. Reaksi di
media sosial atau di kehidupan sehari-hari juga jangan sampai menghakimi,
seolah-olah tidak ada simpati sama sekali terhadap orang-orang yang ingin
pulang kampung. Kita tidak tahu kehidupan mereka di rantau di tengah hantaman
dahsyat virus corona terhadap perekonomian negara. Mungkin mereka sudah di PHK,
atau kontarakannya sudah habis, atau beras untuk dimasak tidak ada lagi. Oleh karena
itu, dengan tidak menghakimi mereka secara brutal sesungguhnya kita telah
membantu meringankan beban hidup mereka.
Reaksi berlebihan
seperti itu bisa dipahami sebab pandemi corona yang sedang melanda saat ini membuat
kita harus meruntuhkan kepedulian sosial. Rasa ingin aman, sehat, dan bertahan hidup
mendorong kita untuk memikirkan diri dan keluarga sendiri, dan sulit
untuk menempatkan diri pada posisi orang lain. Semua yang dilakukan orang, jika
dalam asumsi kita berpotensi memperburuk keadaan, perlu dikutuk. Tak heran,
kadang kita marah jika melihat orang-orang masih berkeliaran di luar. Kita geram
masih saja banyak orang yang ingin pulang kampung. Barangkali kita lupa, kadang
mereka yang kita kutuk itu juga tidak mau menghabiskan banyak waktu di luar. Mereka
juga tidak mau sakit apalagi membuat orang lain mati. Hanya saja, untuk saat ini
keadaan memaksa mereka untuk tetap di luar atau kembali ke kampung halaman.
Mereka tidak punya pilihan lain. Tinggal di rantau percuma jika pekerjaan sudah tidak ada. Jika sudah begitu, bukankah pulang menjadi pilihan yang logis?
Tapi ada
poin yang menarik juga di sini.
Maraknya
masyarakat yang ingin atau sudah pulang kampung dan banyaknya kampung yang
menutup diri dari pendatang menunjukkan satu hal: bahwa di tengah kemajuan
dalam berbagai bidang di kota serta kemiskinan, keterbelakangan, dan segenap
kekurangan lainnya yang identik dengan
kampung, kampung tetaplah tempat ideal untuk berlindung dari marabahaya. Tak
berlebihan jika menyebut kampung sebagai ibu yang kepadanya segala gundah
tercurah. Dalam kesederhanaannya ada
secercah harapan. Kehidupan terkandung dalam dirinya. Airnya berlimpah, bisa
diminum tanpa harus membeli. Tidak ada gas tidak apa. Kayu sudah lama menjadi
solusi. Tanahnya siap sedia untuk ditanami berbagai macam bahan pokok. Ketika
pasokan beras di kota terhenti, kampung masih bisa menghidupi warganya dengan
sawah-sawah nan terbentang luas. Ikan selalu ada untuk dimasak. Ayam tidak
perlu dibeli. Tinggal dipelihara. Pendek kata kampung hampir memiliki segalanya
apa yang disebut oleh masyarakat modern sebagai self-sufficiency.
Tapi
sayangnya, tidak semua kampung di Indonesia yang masih memiliki sumber daya yang
cukup. Saat ini banyak kampung sudah dikepung aset-aset perusahaan. Tanah yang dulu terbentang luas sudah berubah
menjadi perkebunan sawit. Tidak sedikit juga yang digali beratus-ratus meter ke
bawah untuk mengeluarkan segala jenis mineral yang ada di dalamnya. Hasilnya
tentu saja dibawa entah kemana. Yang jelas tidak dinikmati oleh penduduk
kampong, yang biasanya hanya kebagian ‘job’ harian dengan gaji tidak manusiawi.
Lantas, siapa yang untung banyak? Siapa lagi kalau bukan bos-bos berduit kota yang
punya koneksi politik atau terlibat aktif dalam percaturan politik kelas atas. Dalam
bahasa akademiknya kaum ‘oligarki’.
Mereka tidak ambil pusing dengan ekonomi hancur lebur
karena simpanan rupiah atau dolar mereka lebih
dari cukup untuk bertahan hidup.
Ketika negara tidak lagi bisa menajalankan fungsinya dalam menyediakan
pendidikan, atau kualitas pendidikan menurun drastis karena imbas dari robohnya
pondasi ekonomi, mereka tetap selalu bisa mencari solusi alternatif sebagaimana
yang dilakukan selama ini. Anak-anak mereka tetap kuliah atau sekolah di
lembaga pendidikan swasta atau bahkan di luar negeri. Persis sama dengan apa
yang dilakukan oleh bangsawan Jawa pada masa-masa sulit pasca kemerdekaan
sebagaimana yang digambarkan oleh Benedict Anderson dalam bukunya Language
and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia. Para priyayi Jawa
kala itu berlomba-lomba menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah akademi PNS
agar kelak menjadi aparatur negara dan melanjutkan hegemoni orang tua mereka.
Efek jangka
panjang dari skenario seperti ini adalah semakin tersingkirnya orang-orang dari
golongan bawah dari partisipasi politik dan ekonomi nasional. Pada akhirnya
ketika negara sudah membaik dan membutuhkan orang-orang berpendidikan, maka
yang bisa mengisi adalah anak-anak kaum oligarki. Sampai disini tidak heran
jika dana abadi pendidikan menempati urutan ke dua sumber pendanaan
penanggulangan covid-19, alih-alih sumber lain seperti dana infrastruktur atau
mega proyek ibu kota baru. Selain memang kaum oligarki tidak butuh-butuh amat
dengan duit negara untuk pendidikan anak cucu mereka, dana abadi pendidikan
juga tidak menyangkut hajat hidup mereka. Alias tidak terkait dengan
proyek-proyek mereka. Bukan rahasia lagi jika kaum oligarki untung banyak dari
proyek ibu kota baru yang menelan biaya ratusan triliun itu.
Dengan kondisi
seperti ini amat jelas jika kampung di Indonesia bervariasi ketahanannya dalam
menghadapi ancaman besar seperti wabah corona. Ini mengenaskan karena jauh
sebelum Indonesia merdeka warga desa sudah terbiasa hidup tanpa sentuhan pemerintah.
Mereka pun bergantung amat sedikit dari bantuan luar. Mereka punya budaya
menanam padi, berkebun, dan menggarap lahan untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari. Ketika ada wabah, mereka dengan mudah pindah ke daerah lain yang
belum ada penduduknya. Zaman penjajahan Belanda dan Jepang juga demikian. Warga
kampung di Jambi, misalnya, mampu bertahan hidup saat rezim Jepang merampas
padi-padi mereka. Sebagai gantinya mereka makan gadung dan aneka bahan alam lainnya.
Pakaian menggunakan kulit kayu. Tak jarang juga mereka lari jauh ke dalam hutan
membentuk perkampungan baru yang jauh dari keramaian dan hampir tidak bisa
dijamah oleh penjajah. Di Merangin ada Desa Air Liki yang tidak bisa diakses
menggunakan jalur darat hingga hari ini. Di kecamatan saya, Sumay, ada Pemayungan
yang berpuluh-puluh mungkin juga ratusan tahun hanya bertetanggakan hutan
lebat. Desa lain dengan kondisi yang sama adalah Suo Suo, Muara Sekalo, dan
Semambu. Semua kampung ini dulunya hanya bisa diakses melalui sungai.
Maka, di
saat yang serba sulit seperti ini dibutuhkan peran pemerintah dalam mengatur
orang-orang yang hendak pulang kampung. Tes masif harus dilakukan untuk
memastikan mereka yang pulang kampung bebas corona. Karantina 14 hari juga
wajib dilakukan sebelum mereka diperbolehkan memasuki kampung. Dengan begini
akan ada kepastian apakah mereka membawa virus atau tidak. Warga kampung juga
akan merasa lebih legawa menerima. Dua hal penting lainnya adalah, pertama,
kita semakin sadar jika penguasaan lahan perkampungan atau di sekitar kampung secara
besar-besaran oleh perusahaan justru merugikan warga kampung, khususnya dalam
menghadapi wabah besar. Mereka kehilangan mobilitas, lahan pertanian, dan
sumber pangan darurat yang biasanya tersedia luas. Terakhir, kita harus menebalkan
kembali solidaritas sosial, walaupun itu sulit. Mereka yang ingin pulang kampung
barangkali tidak seberuntung kita. Bisa saja perut mereka sudah begitu kosong
karena kota tidak lagi mampu memberikan makan. Jika kita di posisi mereka,
bukankah akan melakukan hal yang sama?
Comments
Post a Comment