Sudah hampir satu bulan kami sekeluarga di Yogyakarta. Semula kami membayangkan hal-hal indah sebelum berangkat: seminggu sekali menyewa motor dan menjelajah Yogyakarta, pergi ke pantai, ke alun-alun kidul, Malioboro, dan segenap tempat wisata lainnya. Bagi saya pribadi hal tersebut amatlah menyenangkan sebab saya bisa berbagi kebahagiaan dengan anak dan istri. Tapi sayangnya semuanya tidak bisa dilakukan. Dua minggu di Yogyakarta, kampus ditutup dan saya terpaksa kuliah online dari kosan. Beberapa hari berikutnya suasana semakin mencekam. Jalanan mendadak sepi, rumah-rumah tertutup rapat, bahkan gang-gang di lockdown. Semua takut. Begitupula kami. Corona sudah mengubah segala rencana.
Sebagai
perantau amat lain rasanya menjalani hari-hari penuh kecamuk hanya bertiga.Terlebih
suasana pandemi corona ini memaksa semua orang menjaga jarak. Kami sebagai
orang luar tentu semakin merasa jarak yang sebelumnya sudah tercipta membentang
semakin lebar. Akhirnya antara kami dan penghuni komplek, yang memang tidak
saling kenal-mengenal, semakin tidak siap sedia berkomunikasi. Bawaan selalu
curiga, jangan-jangan orang yang di depan mata mengidap virus corona. Itu kami
rasakan juga.
Yang paling
menyayat hati adalah ketika melihat Aisha yang amat senang bertemu dengan anak
kecil sebayanya di jalanan. Tampak betul jika Aisha ingin bermain sebab
seharian dia dikurung di dalam kamar tanpa ada teman bercengkrama. Tapi apalah
daya, sebagai orang tua, kami tidak mengizinkan Aisha mendekati siapapun.
Begitupula dengan orang tua anak kecil lain yang tidak mau anaknya bermain
dengan siapapun. Aisha juga sering menangis meminta keluar. Dia bosan dikurung. Dia ingin bebas, bermain, berlari kesana kemari seperti di Jambi. Tapi apalah daya, yang tersedia saat ini hanyalah sepetak kamar kecil. Tidak ada dapur, tidak ada ruang tamu.
Kadang rasa
takut datang menghampiri. Apalagi dua hari ini gunung merapi sering erupsi.
Saya dan istri mengkhawatirkan keadaan memburuk dan kami terisolasi tanpa bisa
pergi kemana-mana. Takut juga kami terinfeksi yang tentu saja akan sangat sulit
sebab kami hanya tinggal di kosan ukuran 3x3 meter. Bagaimana mungkin bisa
mengisolasi diri di tempat sekecil itu? Kalau harus berpisah untuk sementara
waktu, harus kemana? Maukah yang punya kosan menginzinkan ODP/PDP mengisolasi
diri di kosannya? Bagaimana dengan Aisha ketika satu di antara orang tuanya
harus mengisolasi diri? Apa yang akan terjadi jika merapi erupsi besar?
Haruskah mengungsi di tengah amukan corona? Bagaimana jika meninggal di rumah
sakit? Bukankah harus dikuburkan secara sepi dan kemungkinan besar di Yogyakarta
yang notabene amat jauh dari jangkauan keluarga? Dan serentetatan rasa takut
lainnya.
Di tengah
kecamuk rasa takut itu, kami juga prihatin ketika pergi berbelanja. Di jalanan
banyak pengemudi ojek online memegang kepala. Banyak pedagang kecil di tepi
jalan sudah tidak lagi berjualan. Warung-warung sudah menutup pintu. Bukankah
mereka juga perlu makan dan belanja kebutuhan hidup? Jika karena corona rezeki
mereka terhambat, bagaimana mereka harus menyambung hidup? Di saat seperti itu
kami sedikit tersadarkan jika kesulitan yang sedang kami alami bukanlah
seberapa dibandingkan orang lain. Ada yang lebih pahit hidupnya akibat bencana
corona ini.
Dan itu
yang tampak oleh mata kami saja. yang tidak tampak pasti sangat banyak lagi. Dapat
kabar dari kampung, karet masyarakat sudah banyak tidak bisa dijual lagi karena
pembeli sudah stop. Kalaupun ada yang beli harganya amat jatuh. Pasar di Teluk
Singkawang, Tebo, sudah tutup. Jika ini berkelanjutan lantas bagaimana masyarakat
bisa menyambung hidup?
Saya pun
menjadi khawatir akan krisis ekonomi. Jika tidak skala besar, bisa jadi skala kecil. Hal ini sangat mungkin terjadi jika
roda perkenomian tidak lagi berputar. Orang-orang, khususnya dari kalangan menengah
ke bawah, tidak lagi punya uang buat makan. Mereka tidak bisa lagi membayar
tunggakan kendaraan. Jika sudah begini hanya dua yang diharapkan: pemerintah
dan Tuhan. Jika pemerintah tanggap dan masih punya stok Rupiah yang cukup maka
mereka bisa bertahan hidup. Jika tidak, hanya doa yang dipanjatkan moga akhir dari
kehidupan mereka, dan termasuk kami tentu saja, adalah akhir yang baik.
Tekanan
seperti inilah yang kadang menggoda saya untuk menafsirkan wabah corona sebagai
akhir dunia. Entah mengapa, saya menjadi terpikirkan jika umat manusia bisa
saja tersapu bersih dari dunia ini akibat corona yang tidak bisa lagi
dikendalikan. Perlahan tapi pasti orang-orang sudah banyak yang sakit, petugas
medis tumbang, rumah sakit lumpuh, ekonomi negara hancur, dan kelaparan
dimana-mana. Mudah-mudah itu tidak terjadi.
Disaat
seperti ini, dimana keakraban sosial sudah menjadi hal yang menakutkan dan
harapan sudah mulai terkikis, bagi orang yang percaya akan adanya Tuhan, tidak
ada lagi tempat bergantung kecuali kepada Tuhan. Itulah hikmah dari memiliki
agama, yaitu agar tidak mudah putus asa. Agar selalu berusaha mencari jalan
keluar dari segala problematika. Agar insaf jika kehidupan di dunia hanya
sementara.
Ya Allah,
ampuni segala dosa kami. Hanya diriMu yang dapat mengatasi semua ini.
Hilangkanlah corona dari muka bumi ini.
Comments
Post a Comment