Euro-trip


Sebelum berangkat ke Manchester saya diberikan masukan oleh seorang kenalan yang dulunya belajar di Belanda, “Ben,” katanya. “Nanti kalau kamu udah di Inggris, jangan lupa jalan-jalan keliling Eropa. Sayang kalau gak jalan. Mumpung disana. Saya aja sekarang agak nyesal kenapa dulu hanya mengunjungi Belgia dan Perancis. Sebenarnya saya punya kesempatan untuk bepergian ke banyak negara namun semua itu tidak saya lakukan. Karena ya…saya terlalu khawatir tidak bisa menyelesaikan studi dengan baik jika jalan-jalan terus. Padahal faktanya tidak begitu. Asal dapat mengatur waktu semuanya bisa dilakukan.” Jujur saja, saya Cuma mengangguk tanpa makna. Dengan kata lain apa yang dia sampaikan hanya sampai di telinga. Sedikitpun tidak menarik perhatian saya.

Diskusi di grup WA juga serupa. Beberapa calon mahasiswa seangkatan saya sibuk membahas tentang visa Schengen. Saat itu saya tidak tahu apa itu Schengen. Baru kemudian ngeh setelah membaca keseluruhan chat mereka. Visa Schengen itu rupanya visa untuk memasuki daratan Eropa. Secara politik Inggris tidak berbagi visa dengan negara Eropa lainnya alias negeri Ratu Elizabeth punya visa tersendiri. Jadi meskipun mahasiswa internasional sudah mengantongi visa Inggris tidak serta merta mahasiswa tersebut bisa secara bebas menginjakkan kaki ke benua biru. Harus mengajukan visa Schengen dulu baru diizinkan. Beda halnya dengan mahasiwa yang belajar di Belanda atau Jerman, misalnya. Mereka bebas hilir mudik di negara-negara yang tergabung ke dalam visa Schengen. Ada 26 negara Eropa yang menggunakan visa Schengen, yaitu Austria, Belgium, Czech Republic, Denmark, Estonia, Finland, France, Germany, Greece, Hungary, Iceland, Italy, Latvia, Liechtenstein, Lithuania, Luxembourg, Malta, Netherlands, Norway, Poland, Portugal, Slovakia, Slovenia, Spain, Sweden, and Switzerland.

Kembali ke diskusi tadi. Beberapa diantara teman angkatan sudah mengantongi visa Schengen dari kedubes Belanda di Jakarta. Beberapa yang lain berencana mengajukan segera. Dan beberapa lagi tertarik untuk mencoba. Saya? masih tidak tertarik.  

Alasan ketidaktertarikan saya beragam. Pertama, saya masih idealis dengan misi saya ke Inggris bahwa saya kesana bukan untuk haha hihi jalan-jalan menghambur-hamburkan uang negara melainkan untuk belajar. Belajar dengan sangat serius agar saya bisa merealisasikan semua impian saya. supaya saya bisa mengubah dunia yang karut marut ini. Adapun alasan kedua adalah, saya dilanda rasa takut bercampur khawatir yang kadarnya sudah akut. Ya, dada saya tidak berhenti berdebar mengenang nasib di rantau orang kelak. Ditengah kepercayaan diri saya yang menyentuh langit, tidak bisa saya sembunyikan jika saya rapuh. Saya kadang atau seringkali dihantui rasa takut jika saya tidak bisa belajar secara optimal. Atau pelajaran terlalu sulit untuk dicerna. Atau dosennya pelit nilai. Atau kampusnya punya standar terlalu tinggi. Atau saya mendadak begok. Dan atau-atau lainnya. Jadi, pendirian saya kokoh, sekokoh batang jering di sebelah rumah orang tua saya, bahwa saya tidak tertarik dengan ide jalan-jalan di daratan eropa. Jangan ajak saya. Jangan goda saya. saya mau belajar! I want to change the world!

Waktu berlalu dan tibalah masanya saya berangkat ke Manchester setelah melalui drama ketinggalan pesawat gara-gara kabut asap. Pesawat Etihad yang saya tumpangi sempat oleng ketika mendarat dan hampir saja terjungkir gara-gara angin kencang. Meski begitu, kedatangan saya di Manchester masih dengan idealisme yang sama yaitu saya akan kuliah sungguh-sungguh, jika bisa menjadi lulusan terbaik, dan tentu saja tidak ada agenda melancang-melancong. Akan tetapi, bukan manusia namanya bila tidak berubah. Sebab manusia itu memiliki sifat baharu sebagaimana yang diterangkan di dalam kitab-kitab Tauhid. Dan setiap yang baharu pasti berubah. Hanya Tuhan saja yang tetap tidak berubah-ubah.

September 2015 Jambi dilanda kabut asap hebat.

Semua penerbangan di cancel termasuk pesawat yang akan saya tumpangi, GA. 135.

Padahal saya sudah diantar oleh keluarga. Turut serta yang mengantar ke Jambi Datuk saya yang berpulang ke hadhirat Allah 4 bulan setelah kepulangan saya ke tanah air. Al fatihah.
Akhirnya ke Jakarta melalui Palembang.

Dan alhamdulilllah dapat tiket pengganti dari Etihad sestelah negosiasi alot dan sedikit bertegang leher.

Transit di Abu Dhabi.

Sampai di Abu Dhabi.

Ready for Manchester.

Manchester, I'm coming!

Penerbangan panjang.

Alhamdulillah sampai.

Foto dulu biar afdol.
Sisi rapuh di dalam diri secara perlahan tapi pasti akhirnya tereskploitasi oleh kekuatan-kekuatan luar yang tak dapat dibendung. Kekuatan-kekuatan tersebut berasal dari berbagai macam sumber. Sumber pertama adalah studi saya sendiri. Kala itu ada pertemuan dengan Eithne Quinn, supervisor akademik saya. Turut serta dalam pertemuan itu beberapa mahasiswa lain baik mahasiswa Inggris asli maupun mahasiswa dari negara lain. Eithne mengumpulkan kami untuk  memberikan penjelasan segala tetek-bengek perkuliahan yang akan kami lalui setahun ke depan. Dalam pertemuan itu saya masih dengan semangat yang melimpah ruah ingin menjadi mahasiswa teladan yang focus 10.000% ke perkuliahan. Bahkan saya sempat sedikit menceritakan ambisi akademis saya yang disusul dengan penjabaran singkat mengenai latar belakang saya sebagai mahasiswa yang belanja sehari-harinya dipenuhi negara atau dalam kata lain: mahasiswa terpilih untuk mendapatkan beasiswa bergengsi dari pemerintah Republik Indonesia, sebuah ceritera yang  belakangan saya sadari sebagai kekonyolan bercampur narsistik yang substansinya tidak nyambung dan alurnya tidak penting. Tapi memang saat itu level PD saya sedang tinggi-tingginya.

Semuanya turun drastis setelah menjalani beberapa bulan kuliah; tugas menumpuk, yang macam ragamnya beraneka. Ragam pertama mereka menyebutnya essay. Apa itu essay saya juga tidak tahu saat itu. Atau lebih tepatnya belum begitu menguasai. Essay dibatasi dengan jumlah kata. Harus tidak kurang dari 6000. Mesti menulis sesuatu yang belum ditulis orang, dengan topik yang saya sendiri belum paham. Jadilah saya seperti mahasiswa teladan betulan. Rajin berkunjung ke perpustakaan untuk membawa pulang buku-buku yang tebalnya bisa dijadikan bantal tidur. Buku-buku tersebut mesti dibaca secara teliti dan malang nasib saya terlalu banyak buku yang harus dilahap. Saking paniknya pernah saya mengantri di depan Domino’s Pizza, ‘warung’ pizza depan kampus sambil membaca sebuah buku tentang komunitas hip-hop di Amerika. Pernah juga saya membaca buku sampai habis kemudian baca lagi pelan-pelan. Hasilnya? Saya masih tidak paham!

Belajar apa itu essay dan bagaimana cara bikinnya. No, ini bikin essay beneran lho!

Too much to read.

I cannot keep calm.

Reading list yang menyiksa.

Ragam kedua adalah dinamika di dalam kelas. Bagi saya waktu itu, paparan dosen sepanjang ‘tali baruak’ bukan membuat saya paham melainkan bingung. Bingung karena ada banyak hal yang baru saya ketahui dan banyak hal yang belum saya mengerti. Yang paling menyiksa adalah kelas diskusi. Tidak tanggung-tanggung kelas diskusi porsinya paling lama. 3 jam! Selama 180 menit saya harus ikut andil dalam pembahasan topik-topik yang sama sekali baru bagi saya dengan menggunakan bahasa Inggris yang tentu saja mesti akademis. Celakanya, di kelas tersebut hanya saya yang berkulit kelam. Selebihnya berkulit terang berambut pirang. Dan 95 persen dari mereka anak sana alias orang Inggris. Dalam diskusi tentu saja mereka amat lancar meskipun kadang berbelok-belok dari topik utama. Skill tersebutlah yang tidak saya punya. Bahasa Inggris saya masih standar betul belum bisa ngeles sana ngeles sini ketika otak saya macet. Alhasil, 3 bulan pertama saya berkali-kali berbicara dalam hati, ‘Ngapain saya jauh-jauh belajar kesini. Kenapa saya gak kuliah di Indonesia saja kemarin…’ Huuh….

Dr. Andrew Fearnley yang sangat akademis dan menguasai apa yang diajarkannya.
Bersama teman-teman sekelas dan Dr. Michelle Coghlan dalam presentasi project akhir mata kuliah Ocuppy Everything di rumahnya.
Beban belajar yang super menyiksa ini berhasil membuat saya lebih rapuh. Idealisme ‘I want to change the world,’ perlahan tapi pasti berubah menjadi ‘I want to have my previous world’.

Sumber kedua, adalah sepak bola. Ya, ini tidak salah ketik, memang sepak bola. Kehidupan mahasiswa Indonesia di Manchester amat erat kaitannya dengan sepak bola. Bahkan mereka memiliki klub tersendiri yaitu ‘Uler Kubis’. Apa filosofi dibalik nama tersebut saya tidak tahu. Tapi yang jelas saya tidak mau ketinggalan rombongan, segera saya bergabung. Dalam perhelatan pertandingan persahabatan antar sesama anggota Uler Kubis yang diadakan seminggu sekali di Platt Lane (kompleks latihan sepak bola bekas akademi Manchester City) saya mendengar banyak cerita indah dari para senior. Tentang apa lagi kalau bukan petualangan  mereka di benua Eropa. Saking getolnya mereka jalan-jalan bahkan ada yang berseloroh begini, “kuliah itu jangan sampai mengganggu jadwal main bola. Jangan juga mengganggu jadwal jalan-jalan,” Yang ngomong begitu bukanlah mahasiswa biasa. Mereka pada umumnya mahasiswa hebat yang rata-rata penerima beasiswa. Dan saya pun semakin rapuh.

Uler Kubis players in action.




Saya hancur betulan ketika berkenalan dengan dua orang mahasiswa S3 yang dua-duanya masih sangat muda. Mahasiswa pertama adalah Media Wahyudi Askar, seumuran saya, anak Minang, mantan pentolan mahasiswa UGM, dan punya segudang prestasi. Satunya lagi Zulfikar Rakhmat, seorang difabel, berusia 23 tahun, punya reputasi internasional, pernah masuk Metro TV, dan kolumnis The Huffington Post! Pokoknya mereka berdua keren abis seabis-abisnya. Saat bincang-bincang ringan dengan mereka berdua di kediaman saya, mereka berbagi cerita tentang pengalaman mereka keliling Eropa. Indah betul cerita mereka. Membuat saya tidak nyaman lagi duduk. Pengen cepat-cepat ngambil koper, beli tiket, kemudian ke  bandara biar bisa ikut merasakan apa yang mereka ceritakan.

Bersama dua doktor muda (satunya 'akan'), Media dan Zulfikar.
Interaksi kompleks saya dengan kehidupan akademis dan social di bulan-bulan pertama di Manchester memperkenalkan saya ke dua kata: euro-trip. Dinamika kehidupan kampus yang lumayan menyiksa, kekeliruan saya dalam menilai diri sendiri, PD yang overdosis, membawa saya ke satu muara kehidupan baru meninggalkan idealisme kayangan saya sebelumnya. Muara itu apalagi jika bukan euro-trip. Ya, saya butuh jalan-jalan. Soal mengubah dunia, nanti saya pikirkan lagi  selepas pulang dari Eropa.

Saya, Media, dan Zulfikar sudah sepakat: di awal tahun 2016 kami akan jalan-jalan keliling Eropa bertiga.


Comments