Langit Manchester
kehilangan warnanya. Tertutup kabut musim dingin bulan Desember. Sementara sisa
salju semalam masih menutupi trotoar jalan, membuatku agak lebih hati-hati
dalam melangkah. Salah sedikit bisa jatuh berdebam ke aspal karena licin. Di
pagi yang dingin ini Aku kebagian tugas mengantar Arsa ke sekolah. Ayahnya
tidak bisa mengantar karena harus ke kampus. Sedang ibunya pagi-pagi buta sudah
berangkat kerja.
Arsa terdaftar di Claremont
Primary School kelas nursery atau setingkat PAUD usia tiga tahun. Di sekolah
Arsalah Aku mengenang kembali masa kecilku khususnya setelah menyaksikan
murid-murid disitu bermain pasir, naik turun seluncuran, duduk di ayunan, dan
memanjat lingkaran sebentuk bola raksasa. Pengalaman anak-anak itu sama sekali
tidak pernah Aku lewati dalam hidupku sebab pre-school dan Taman Kanak-kanak
tidak dijumpai keberadaanya di kampungku. Satu-satunya sekolah yang ada
wujudnya adalah SD Negeri 178/II yang pada tahun 1999 berganti nama menjadi SD
Negeri 87/VIII setelah kabupaten Tebo resmi bercerai dengan kabupaten Bungo
oleh sebab pemekaran.
Meski demikian, sungguh Aku
tidak iri karena masa pra sekolahku sudah dipenuhi dengan petualangan hebat.
Kegiatan bermain pasirku langsung di pulaunya yaitu di Pulau Bungin yang
terbentang luas di tepi Batanghari. Jika air Batanghari surut, Aku dan
kawan-kawan bermain seluncuran diatas tebing landai di tepinya. Tebing itu
dipenuhi oleh lumpur hasil endapan ketika air Batanghari pasang yang ketika
disiram dengan air permukaannya akan menjadi licin. Sangat pas untuk bermain
seluncuran. Ayunanku juga ayunan alami menggunakan akar kayu yang menjuntai
tepi Batanghari. Kami bergelantungan bak tarzan, melayang-layang, lalu terjun
ke sungai. Sedangkan kegiatan memanjatku adalah memanjat pohon-pohon yang menjulang
tinggi; pohon duku, mangga, rambutan, kelapa, jambu, dan segala macam pohon
yang tumbuh di kampungku.
Namun tidak bisa Aku
pungkiri bahwa saat kecil dulu Aku sangat ingin bersekolah. Di suatu pagi Aku
khusyuk menatap ke arah anak-anak berseragam putih merah yang sedang bermain
bola kasti di seberang jalan rumahku. Kebetulan rumahku berada tepat di depan
SD. Dalam permainan kasti itu kulihat seorang anak melempar bola kemudian
disambut dengan pukulan meleset oleh temannya yang berdiri di tengah lapangan.
Anak-anak yang lain kemudian berebut mengambil bola yang jatuh untuk
dilemparkan ke si pemukul yang berlari kencang menyelamatkan diri.
Di pagi yang lain Aku
melihat barisan rapi dari kejauhan di halaman muka SD namun berantakan bila ku
lihat dari balik pagar. Kali ini mereka mengenakan topi merah putih dengan
gambar burung kuning tanpa kepala dengan posisi menukik ke bawah. Kelak,
setelah memegang sendiri topi itu Aku baru sadar ternyata kepala burung itu
adalah buku berwarna putih.
Barangkali Mak mengawasi
rutinitas pagiku ini dan mencium aroma ketertarikanku yang sangat besar
terhadap dunia sekolah. Suatu hari, tanpa Aku duga sebelumnya, Mak mengajakku
ke sekolah. Aku tidak tahu apa maksudnya. Pikirku saat itu mungkin Mak hendak
bertemu dengan salah satu guru disana untuk keperluan yang Aku tidak paham.
Namun ternyata Mak ingin memasukkanku ke sekolah. Di ruangan kantor kepala
sekolah, Aku dan Mak duduk berdampingan menghadap Pak Syarifudin, kepala
sekolah SD ku. Setelah berbincang panjang lebar Pak Syarifudin akhirnya menolak
permintaan Mak. Alasannya adalah umurku baru enam tahun sedangkan usia masuk
sekolah paling sedikit tujuh tahun.
"Tolonglah
pak..." Ucap Mak memelas.
"Beni ini sudah sangat
ingin bersekolah. Kasian lihatnya tiap pagi duduk di depan rumah menyaksikan anak-anak lain sekolah"
Dengan penuh keberatan, Pak
Syarifudin menjawab.
"Bukan tidak mau bu.
Beni ini masih kecil, belum waktunya bersekolah. Otaknya belum berkembang
betul. Nanti dia kesulitan mencerna pelajaran. Kalau tinggal kelas kan tidak
elok. Jadi tunggulah dulu setahun lagi".
Aku lihat wajah Mak berubah
dari tadinya sangat antusias menjadi lesu penuh kekecewaan. Aku juga kecewa
mendengarnya padahal Aku sudah memakai sepatu putihku hari itu. Sepatu
kesayangan yang hanya Aku kenakan bila ke pasar Tebo. Mak memegang tanganku dan
menuntunku menuju pintu keluar kantor. Tak ada lagi kata yang keluar dari mulut
kami berdua sampai kembali ke rumah.
Meski gagal bersekolah Mak
tidak membiarkan hasrat belajarku terbuang sia-sia. Setiap malam selepas Isya,
Mak selalu mengambil buku bacaan dan mengajarkanku abjad. Aku menjadi tahu jika
yang tegak berdiri seperti menara Eifel itu disebut ‘A’ sedangkan yang bunting
adalah 'b'. Setelah belajar beberapa bulan Aku pun berani praktek di depan
umum, tepatnya di rumah kakak Mak, Mak Wo Zoi. Kata Mak Wo adalah singkatan
dari kata Mak Tuo yang dalam Bahasa Indonesianya adalah Mak Tua. Sedangkan Zoi
adalah bentuk pendek dari Zoiyyah, nama lengkap Mak Wo. Mak Wo Zoi dipanggil
Mak Wo karena dia anak paling tua dari sebelas orang anak Nyai Muna. Dalam hukum
kekerabatan di kampungku seorang bibi seperti Mak Wo tidak hanya berposisi
sebagai bibi tetapi juga sebagai ibu bagi keponakannya.
Mak Wo adalah di antara
segelintir orang yang memiliki televisi di kampung. Hobi Pak Wo Zul – suaminya,
Zulwahidin – terhadap acara olah raga mulai dari sepak bola, volly, tinju,
hingga sepak takraw membuat Mak Wo rela mengumpulkan uang hasil menyadap karet
demi bisa membeli kotak gambar itu. Saking maniaknya, Pak Wo tak pernah
melewati perhelatan olahraga nasional maupun internasional selagi acara
tersebut ditayangkan di televisi. Sea Games XVIII 1995 yang disiarkan secara
exclusive oleh TVRI adalah salah satunya.
Acara olahraga dua tahunan masyarakat Asia
Tenggara ini diadakan di Thailand tepatnya di Chiang Mai dari tanggal 9
Desember sampai 17 Desember 1995. Hampir setiap hari khususnya dari sore sampai
malam rumah Pak Wo penuh sesak oleh penonton. Mereka yang pagi-pagi ke kebun
menjadikan ritual menonton pertandingan olahraga Sea Games sebagai obat
penawar lelah. Aku juga hampir setiap saat hadir disitu menemani Pak Wo.
Disamping rumah kami berdekatan, Pak Wo mengajakku tidak lain karena dia tidak
memiliki anak. Sudah sekitar tujuh belas tahun Tuhan belum mengabulkan doa
Pak Wo dan Mak Wo untuk memiliki seorang buah hati.
Jika orang-orang fokus ke
petarungan olah raga yang tersaji, fokusku agak berbeda. Aku mencoba memenangi
pertarungan lain antara diriku dengan running text yang ada di TV. Entah
mengapa Aku selalu ketinggalan alias gagal membaca semua text yang ada.
Menurutku orang yang di dalam TV membuatnya terlalu ngebut sehingga baru saja
Aku memulai mengeja, kata yang dieja sudah sampai ke ujung dan
menghilang. Begitu terus hingga hanya dihitung jari kata yang berhasil Aku
tangkap dan itu biasanya yang pendek-pendek seperti D A N atau D I.
Meski demikian Aku tidak
pernah lupa dengan kata Sea Games sebab kata ini selalu di tampilkan di layar
televisi ketika ada replay atau break. Suatu kali Aku berhasil mengejanya diam
diam dari S, E, A, G, A, M, E, hingga S lagi. Saking antusiasnya akan
pencapaianku ini, tanpa sadar Aku baca tulisan itu dengan lantang hingga
suaraku terdengar oleh orang-orang yang sedang menonton. Sontak saja mereka
tertawa karena cara Aku membacanya bukan SI GEIMS melainkan S-E-A G-A-M-E-S
dengan ejaan Indonesia. Mulai hari itu mereka memanggilku S-E-A G-A-M-E-S.
Sejatinya Aku belum
menerima sepenuhnya ajaran mereka bahwa cara membaca Sea Games adalah SI
GEIMS bukan S-E-A G-A-M-E-S versiku. Sudah nyata-nyata kata ini berawal dengan
S, diikuti oleh E dan diakhiri oleh A yang bila digabung menjadi SEA. GAMES pun
begitu. Eja saja dari G sampai huruf terakhir yaitu S Maka bacaan yang
sebenarnya adalah GAMES bukan GEIMS. Meski tak terima, Aku diam saja.
Membantah mereka sama saja bunuh diri. Aku sendiri sedangkan mereka
berpuluh-puluh.
Aku menjadi bahan olokan
terkini mereka. Setiap kali menonton televisi ada saja yang memanggilku
S-E-A G-A-M-E-S. Yang paling suka menyebutku dengan kata itu adalah Datok Mat
Petai. Nama aslinya adalah Muhammad. Iya hanya Muhammad. Tidak ada nama
lanjutannya lagi seperti di negara barat yang biasanya memiliki nama tengah dan
akhir. Bagi orang tua Datok Mat, Muhammad saja sudah cukup. Nama tak perlu
panjang-panjang. Toh nanti menjadi pendek sendiri bila dipanggil. Muhammad contohnya.
Betapa agung nama ini. Nama seorang rasul yang amat mulia. Meski demikian tidak
ada masyarakat kampungku yang berkenan memanggil pemilik nama Muhammad secara
utuh. Bagi kami ‘Mat’ sudah bisa membuat pemiliknya menoleh jika dipanggil.
Muhammad tidak hanya korban satu-satunya nama yang indah
menjadi singkatan. Mahmud dipanggil 'Mut', Abdullah 'Bdul' atau 'Dolah', Aisyah
'Esah', Mardiah 'Yah', Zuhdi 'Judi', dan Husni 'Sni'. Pemilik nama tidak hanya
menderita dalam pemendekan nama saja melainkan juga embel-embel yang menjadi
ciri khas orangnya. Datok Mat Petai misalnya. Dia ditambahkan Petai sebab
sangat rajin menjajakan petai di sekeliling kampung. Maka lengketlah kata petai
padanya. Sni dipanggil Sni Kutung, kutung berarti terpotong, karena salah satu
jarinya ada yang terpotong. Manaf dipaggil manaf kurap karena sewaktu SD pernah
kena kurap. Rizal dipanggil Jal Pendek karena badannya pendek. Muhammad yang
lain dipanggil Mat Itam sebab kulitnya berwarna hitam. Penamaan seperti ini
untuk keefektifan komunikasi juga agar tidak salah orang. Sebab nama-nama
di kampungku itu-itu saja. Dari Mahmud, Muhammad, Ahmad, Zulaiha, Abdul Manaf,
Abdul Manan, Abdurrahman, dan semua jenis Abdul. Agar tidak salah orang dan
bingung maka ditambahlah fitur yang menghubungkan sebuah nama dengan bentuk
orangnya. Juga, nama-nama gaul ala barat belum laku di kalangan orang tua
mereka dulu sebagaimana saat ini. Tidak ada diantara Datok dan nenek di
kampungku memiliki nama Jessica, Franky, Steve, atau Robert. Muhammad dan Siti lah
nama yang digemari.
Kembali ke Datok Mat Petai.
Dia adalah orang yang pertama dan paling utama Aku hindari bila bertemu.
Teriakan S-E-A G-A-M-E-S nya amat khas dan menggangguku. Biasanya, setelah
memanggilku dia tertawa terbahak-bahak. Maka dari itu bila bersua
dengannya di jalan, Aku pura-pura tidak tau. Sebisa mungkin Aku lari. Saat
nonton tv di rumah Pak Wo tempat dudukku harus jauh darinya agar tidak tersiksa
batinku. Yang tidak bisa Aku hindari adalah ketika berjualan sayur-mayur hasil
dari kebun Mak Wo atau Nyai Muna. Biasanya siang-siang kira-kira jam 3 Aku
bersepeda menjual apa saja yang diberikan kepadaku. Kadang bayam, ubi, katu,
ketela, petai, kabau, jering, segala jenis sayur pokoknya. Sebagai seorang
pedagang, tentu Aku harus melintasi segala penjuru kampung agar banyak yang
melirik dan membeli. Semakin ramai suatu tempat semakin bagus
prospekku untuk menghabiskan barang dagangan.
Kampung baruh hilir, hilir
artinya di hilir sungai Batanghari, adalah salah satu tempat yang strategis.
Banyak warung dan pohon mangga besar tempat orang ngumpul bertukar cerita.
Salah satu warung yang ramai adalah warungnya Datok Mat Petai. Disitu pula
biasanya pelanggan-pelanggan setiaku stand-by. Saat teriakanku menjajakan
dagangan terdengar, Datok Mat Petai biasanya memanggil dan memintaku berhenti.
Tentu saja dengan S-E-A G-A-M-E-S khasnya yang disertai dengan gelak terbahak.
Ketika Aku singgah kadang banyak yang beli. Termasuk Datok Mat Petai. Namun
kadang dia hanya iseng saja. Pura-pura hendak membeli padahal ingin
menertawakanku dengan apa lagi selain S-E-A G-A-M-E-S.
Lama-lama tak tahan juga
Aku akan ejekan Datok Mat Petai yang kian hari kian menjadi-jadi itu. Bagiku
tetap saja bahwa bacaan SEA GAMES adalah S-E-A G-A-M-E-S bukan SI GEIMS.
Bagaimana mungkin barisan huruf yang begitu jelas itu bisa berubah bunyinya
ketika dibaca. Akhirnya kutanyakan pada Pak Wo perihal ini. Mengapa sampai hati
bacaan SEA GAMES dikhianati oleh Datok Mat Petai dan kawan-kawan.
"Memang Bahasa Inggris
begitu. Lain di tulis lain di baca." Jawab Pak Wo suatu ketika. Aku jadi
mengerti ternyata SEA GAMES itu menggunakan bahasa yang disebut Bahasa Inggris.
Setelah duduk di bangku
sekolah, Aku menjadi semakin penasaran dengan Bahasa Inggris. Terlebih lagi
Bahasa Inggris tidak diajarkan di sekolahku. Maka untuk memenuhi rasa ingin
tahuku, pernah Aku ke kampung baruh ke rumah Nyai Muna mencari contoh lain dari
bahasa yang kuanggap aneh ini tepatnya di buku tulis Busu. Busu adalah
panggilan untuk anak paling bungsu nenek yang sedang duduk di bangku MTs atau
Madrasah Tsanawiyah. Karena MTs tingkatan sekolah yang tinggi menurutku,
barangkali banyak pelajaran Bahasa Inggrisnya.
Sesampai di rumah Nyai Muna
Aku langsung menuju kamar Busu yang letaknya disamping ruang tamu. Busu tidak
disana. Mungkin masih bermain diluar dengan temannya. Buku tulis Busu
tersusun rapi diatas meja. Aku ambil satu dan kubuka. Tidak ada
kata yang dari bahasa yang kucari. Aku ambil lagi buku yang lainnya. Kali ini
kulitnya bergambar seorang wanita yang tengah tersenyum manis. Dia
kukenal dengan nama PARAMITHA RUSADY.
Tepat di belakang artis
yang punya tahi lalat dibawah bibir kanannya itu, di tengah-tengah kulit buku, Aku
menemukan apa yang Aku cari: serangkai goresan pena bertuliskan I LOVE YOU.
Tulisannya miring seperti kapal sarat penumpang. Di bawahnya, tertulis dua
baris kata lain secara mendatar:
NO TIME
FOR LOVE
Sekali lagi kubaca
sejujur-jujurnya tanpa ada yang dikhianati. Seperti apa ia ditulis seperti itu
juga Aku baca.
Comments
Post a Comment