Jantungku berdegup keras seolah mau
keluar dari rongga dada. Mataku terbelalak menatap layar komputer dengan mulut
yang menganga. Apa yang aku lihat seakan mimpi. Aku sama sekali tak menduga
akan mendapatkannya secepat ini. Padahal taksiranku, mereka akan mengabariku
akhir bulan ini.
“I am delighted to make you an
unconditional offer of a place on the above taught course.” Begitu bunyi
kalimat pembuka dari surat itu. cukup membuatku panas dingin. Kutarik nafas
dalam untuk menenangkan diri. Sejenak, beberapa pertanyaan langsung menyasar
diriku sendiri. “Aku? Aku diterima di The University of Manchester? Benarkah
ini?”
Bibirku kini tersenyum lebar. Ingin rasanya
aku tertawa sekeras yang aku bisa. Ingin rasanya aku katakan pada dunia jika
impianku untuk belajar di perguruan tinggi berkelas akan segera terwujud. Hati
ini…terasa berbunga…ada perasaan yang amat sulit untuk dikisahkan. seperti saat
pertama jatuh cinta dulu. Sensasi bahagia yang kurasakan sangat berbeda dengan
yang telah sudah. Sebuah perasaan yang mengundang khayalan untuk menginjakkan
kaki ke tanah yang pernah ditapaki oleh Cristiano Ronaldo, David Beckham, Ruud
Van Nistelrooy, dan tentu saja Sir Alex Ferguson. Ya, aku menyukai Manchester
United. Atau lebih tepatnya aku fan MU sebelum Beckham ke Real Madrid. Ketika
dia hijrah ke Spanyol hatiku dibawanya hingga sekarang terpatri erat dengan Los
Blancos.
Aku dan Manchester sepertinya telah lama
masuk dalam rencana Allah. Bahkan mungkin telah menjadi rahasiaNya yang baru
aku tahu sekarang. Dulu, sewaktu mendaftar beasiswa lpdp aku sama sekali tidak
mengharapkan Manchester. Banyak sekali kekurangan yang kurasa ada pada diriku
waktu itu hingga untuk membaca namanya saja aku tidak berani apalagi mendaftar.
Saat aku dalam proses mendaftar lpdp,
aku mencari-cari kampus yang tidak mensyaratkan ielts yang ada dalam list lpdp.
Pendek cerita, sampailah aku pada dua pilihan: Universiti Kebangsaan Malaysia
dan National University of Singapore. Dua universitas ini masih menerima TOEFL
ITP seperti yang kubaca di websitenya. Kutimbang-timbang kampus mana yang
hendak aku tulis di lembaran pendaftaran. “Nama pertama terlalu ‘kecil’
pikirku”. “Ah, aku ambil yang kedua saja. NUS kan universitas terbaik nomor
satu Asia dan peringkat 22 dunia!” cetusku setengah tidak yakin.
Ketika semua proses pendaftaran online
selesai, sampailah pada fase wawancara. Dalam wawancara tersebut aku ditanya.
“kamu mau kuliah dimana?”
“Singapura pak. Di NUS” jawabku pendek.
“kenapa memilih NUS” professor yang
tengah mewawancaraiku menagih alasan.
“sebenarnya pak saya tidak berminat
untuk kuliah di Singapura. Saya mau ke Inggris. Tapi karena saya tidak punya
IELTS ya terpaksa saya memilih NUS mengingat NUS masih menerima TOEFL ITP”
dengan nada lemah ku utarakan.
“oh begitu…” jawabnya pendek.
Wawancara terus berlangsung dengan
beberapa pertanyaan tambahan. Tatkala interview memasuki detik-detik akhir
professor tadi berujar.
“Kamu kuliah ke Inggris saja. cari jalan
untuk tes IELTS dan kuliah tahun ini juga (2014). Nanti setelah selesai
masternya kembali lagi kesini dan langsung lanjut S3”
Wajahku berbinar. Hatiku berkecamuk. Di
satu sisi aku senang karena kalimat terakhir dari professor itu bisa ditafsirkan
sebagai bentuk kelulusan. Namun di sisi lain aku menyimpan kecemasan. Bukan
apa-apa. Selama ini aku hanya sering mendengar namanya saja. Membaca soalnya
saja aku belum pernah. Dan jadilah IELTS gunung tertinggi yang hendak aku daki.
Sepulang ke Jambi aku langsung
mengunjungi Datuk Google untuk menanyakan semua tentang IELTS dari buku-buku
yang bisa di download gratis sampai tempat dan biaya tes.
Hasilnya cukup mencengangkan. Aku
diberikannya beberapa buku bagus lengkap dengan file audionya dan tentu saja
tempat dan biaya tes. Rata-rata tempat yang rutin mengadakan tes terletak di
Jakarta sedangkan di tempatku tinggal hasilnya nihil. Tidak ada satupun tempat
tes IELTS. Mengenai biaya menjadi persoalan tersendiri bagiku. $195 belum
termasuk akomodasi ke Jakarta! Duit dari mana!
Pada tahap awal belajar IELTS aku merasa
kesulitan. Format soalnya yang beragam cukup membuatku frustasi. Aku
beranggapan sulit rasanya bagiku untukku menembus universitas besar di Inggris
sebab dari penelusuranku rata-rata universitas disana meminta nilai ielts 7
untuk jurusan Sastra Inggris termasuk the University of Manchester. Untuk
Manchester bahkan lebih menantang lagi karena mereka meminta nilai writing yang
tidak boleh dibawah 7. hanya ada sekitar 5 saja kampus yang memiliki standar
6.5.
Dengan semua tantangan ini aku memilih
untuk melakukan yang terbaik yang aku bisa. Aku mulai berhemat agar bisa
berangkat ke Jakarta untuk tes IELTS. Aku juga mulai mendisiplinkan diri lebih
ketat lagi. Kualokasikan waktu untuk belajar IELTS setiap hari, membaca bacaan
dalam Bahasa Inggris lebih giat dan mencari arti kata-kata Bahasa Inggris yang
aku tidak tahu artinya.
Setelah 5 bulan berlalu, menjual sepeda,
menamatkan ke 13 buku ielts yang dikeluarkan Cambridge plus beberapa buku
lainnya, menghabiskan setumpuk kertas untuk latihan writing, aku pun breangkat
ke Jakarta.
Alhamdulillah, perjuanganku terbayar
lunas dengan nilai ielts 7! Yang lebih spesial lagi adalah nilai wiritngku juga
7. Mulailah aku menghapus highlight merah the University of Manchester di list
kampus lpdp. Aku memang telah membuat highlight pada nama-nama kampus dalam
lits tersebut. Merah artinya butuh nilai ielts 7, kuning 6.5, dan hijau 6.
Meski tengah mendapatkan berita bagus,
aku masih belum berani mengaku bahwa aku penerima beasiswa lpdp. Aku masih
memiliki tantangan berikutnya yaitu diterima di kampus luar negeri. the
University of Manchester telah masuk dalam list universitas yang akan aku lamar
bersamaan dengan the University of Glasgow dan Lancaster University. Sejatinya
aku mau mendaftar ke 5 sampai 10 kampus di Inggris. Aku was-was dengan
peluangku ke negeri Ratu Elizabeth itu. Mungkin saja tidak ada kampus yang mau
denganku. Namun agen pendidikan yang mengurus pendaftaranku meminta 3 saja dulu.
Karena itulah aku hanya menyodorkan tiga kampus itu.
Aku sudah memikirkan semuanya,
kemungkinan terbaik dan terburuk. Untuk the University of Manchester dan the
University of Glasgow aku memilih jurusan American Studies sedangkan untuk
Lancaster University aku mengambil English Language Literature. Jurusan
American Studies memang cabang ilmu yang betul-betul ingin aku dalami. Latar
belakang pendidikanku, pengalaman, dan minatku sangat cocok dengan jurusan satu
ini. Namun permasalahannya adalah, sewaktu mendaftar lpdp aku memilih Literary
Studies yang notabene sedikit berbeda dengan American Studies. Jika nama yang
terakhir focus ke semua hal tentang Amerika termasuk bidang sastranya, nah nama
pertama lebih ke mengkaji karya-karya sastra orang inggris. Itulah mengapa aku melamar dua-duanya untuk mengantisipasi
kalau-kalau lpdp tidak boleh aku pindah jurusan. Harapanku tetap. Aku
diperbolehkan pindah kampus dan jurusan.
Soal pindah kampus ini cukup membuatku
berkeringat dingin. Rumor yang beredar sangatlah mengkhawatirkanku. Semua orang
yang kutanya seolah bersepakat bahwa untuk mengajukan perpindahan kampus ke
lpdp rating kampus tujuan haruslah diatas kampus sebelumnya. Nah, mengingat
posisi NUS yang amat mentereng, kalau begitu aku tidak punya pilihan lain lagi
selain mendaftar ke kampus-kampus seperti Harvard, Cambridge, atau Oxford.
Bukannya pesimis tidak diterima disana, aku mencoba realistis saja dengan
diriku. Siapa aku untuk diterima di kampus beken itu?
Dari pada terus-terusan dihantui
kegalauan, aku memilih untuk masa bodoh saja. asumsiku, mustahil rasanya lpdp
menolak perpindahanku selagi alasannya logis dan kampus tujuanku masuk dalam
list mereka. Aku juga sudah menempuh semua proses lpdp mulai fase wawancara
sampai PK atau Pra Keberangkatan. Toh, untuk apa mereka membuat list kampus itu
jika mereka sendiri melarang awardee untuk kuliah disana kan? Juga, amat kejam rasanya
jika mereka menggagalkan beasiswa seseorang yang telah mereka seleksi dan
dinyatakan lulus gara-gara yang bersangkutan mau pindah kampus. Kan tidak ada
jaminan seseorang bisa diterima di kampus impiannya. Namun kalau nantinya
permohonan pindahku benar-benar ditolak, aku sudah mempersiapkan keikhlasan.
Aku akan menganggap itu memang yang terbaik untukku dari Allah.
Untuk diterima di kampus luar negeri,
calon mahasiswa mesti memiliki personal statemen yang bagus. Kalimat itu aku
baca di sebuah blog di internet. Mulailah aku membuat karangan personal
statement. Lebih kurang sebulan lebih aku baru bisa menyelesaikan dua personal
statemen. Satunya untuk jurusan American Studies sedangkan yang satunya lagi
untuk English Language and Literature. Agar bahasa inggrisnya tidak ada yang
salah dan isinya menarik, aku mengirimkan personal statmenku ke temanku di
amerika dan Australia sebelum mengumpulkannya ke universitas tujuanku.
Waktupun berlalu, aku berangkat ke
Manchester, dan alhamdulillah sekarang sudah resmi menjadi alumni the
University of Manchester. Alhamdulillah ‘alaa kulli ni’matillah. Hadza min
fadhli rabbii.
inspiring as always mas, heheh . sukses selalu mas .
ReplyDelete