Kepala saya terasa sejuk dan rambut bergoyang-goyang mesra. Selidik punya selidik, ternyata saya lupa pakai helm! Padahal saya sedang gagah-gagahnya bertengger diatas motor sambil melirik kiri kanan kalau-kalau ada yang mau bertukar senyum. Oleh sebab tidak siap berurusan dengan pak polisi, saya putuskan untuk berbalik arah dan menjemput helm di rumah.
Memang pikiran saya sedang fokus hingga helm pun saya terlupa. Saya berulang kali mengingatkan diri agar apa yang sedang saya pikirkan tidak melarikan diri lalu hilang dari dalam kepala. Sebab sesuatu yang sudah hilang biasanya sulit untuk didapatkan kembali. Bukan begitu?
Yang saya rawat baik-baik di kepala saya tadi adalah soal lagu. Tepatnya lagu daerah.
Sebelum mengajak jemari saya menari-nari diatas keyboard laptop ini, saya terlebih dahulu tenggelam dalam keasyikan membaca buku karya Buya Hamka yang berjudul Falsafah Hidup. Buku yang sangat bagus, ditulis dengan Bahasa nan indah, dan mengandung bermacam-macam rahasia kehidupan. Di halaman ke 267 pandangan saya terhenti. Di halaman tersebut Buya Hamka mengkritisi sifat rendah diri yang dimiliki oleh orang Indonesia di masa lalu tepatnya sebelum kemerdekaan. Rasa rendah diri itu tercermin diantaranya dalam lirik lagu-lagu daerah. Buya Hamka menjelaskan bahwa salah satu penyebab perasaan demikian adalah politik belanda yang selalu menempatkan rakyat Indonesia di posisi yang hina. Meneer-meneer belanda menganggap masyarakat pribumi berada dibawah telapak kaki mereka sedang mereka sendiri adalah manusia-manusia yang hebat lagi maju. Hal ini kemudian membentuk mental budak pada diri orang Indonesia. Mereka merasa rendah diri dan penakut. Perasaan seperti itu terabadikan dalam lagu-lagu yang mereka ciptakan.
Saya setuju dengan pernyataan Buya Hamka ini. Bahwa keresahan beliau akan lirik-lirik lagu yang mengandung perasaan rendah diri di kalangan rakyat Indonesia yang hidup pada masa beliau juga menjadi beban pikiran saya beberapa tahun yang lalu. Dulu saya sangat anti dengan yang namanya lagu daerah. Sebab banyak sekali lirik-lirik lagu daerah yang mengandung ajakan untuk mengutuk hidup atau berpuas diri dengan segala macam keterbatasan yang ada. Jarang sekali saya jumpai (bahkan rasa-rasanya tidak pernah) lagu daerah jambi yang bermuatan mengajak pendengarnya untuk bekerja keras agar keluar dari kesusahan hidup. Sebagai orang kampung saya ingin maju. Bila terus-terusan mendengarkan lagu pelemah semangat tentu saja saya akan menjadi pribadi yang lembek. Oleh karena itu saya jauhkan diri saya dari lagu daerah agar tidak terkekang kaki saya untuk melangkah ke muka. Karena alasan inilah, saya hindari membeli CD lagu daerah jambi dan lebih memilih membeli CD Guns N Roses, Linkin Park, atau Simple Plan.
Suatu malam sunyi di tahun 2011 menggoyahkan pendirian saya. Saat itu saya sedang di Amerika Serikat menjalani program beasiswa singkat di Arizona State University. Lengangnya malam menyisakan rindu yang menggebu-gebu di hati saya. Ingin sekali rasanya saya pulang ke kampong halaman untuk bersatu kembali dengan sanak family dan menghirup segarnya udara pagi di Teluk Langkap. Untuk mengobati kerinduan, saya ketikkan di YouTube ‘lagu daerah jambi’. Saya pun tenggelam dalam haru. Menyadari betapa lagu daerah adalah identitas saya yang tak bisa saya hilangkan. Saya menjadi insaf kalau tidak ada yang bisa saya banggakan dari lagu-lagu ‘modern’ yang saya dengar sebab itu bukan dari tanah tempat nenek moyang saya lahir. Guns N Roses yang melegenda atau Simple Plan dan Linkin Park yang super keren bukan punya saya. Bukan identitas saya. Dan bukan sumber kebanggaan saya. Mereka kepunyaan Amerika. Yang memuji sanjung mereka sepatutnya juga rakyat amerika bukan orang Indonesia seperti saya.
Tahun berganti bulan berlalu. Keinsafan saya di Amerika tersebut merubah pandangan saya terhadap lagu daerah. Saya yang awalnya sangat anti dengan lagu daerah Jambi menjadi pemburu lagu-lagu jambi. Saya download videonya dan saya koleksi lagu-lagunya di handphone. Tidak sampai disitu saja. Saya juga mengoleksi lagu-lagu dari daerah lain. Yang paling banyak lagu minang. Yen Rustam, Anroys, Ucok Sumbara, Buset, Mak Itam, Mak Pono, dan Zalmon adalah beberapa penyanyi favorit saya dari tanah Minangkabau. Beberapa tahun belakangan ini saya mencoba berkenalan dengan lagu daerah Palembang. Bujang buntu, Ribu-ribu, Kalah Judi, dan Linjang Surang termasuk ke dalam lagu favorit saya. Lagu dari daerah lain pun serupa. Saya juga berusaha untuk mengenalinya meskipun kadang saya tidak paham maknanya semisal lagu Jawa ‘Stasiun Balapan’ dan lagu Batak yang berjudul Butet.
Memang tak dapat dipungkiri kalau banyak lagu daerah, khususnya lagu daerah Jambi, yang masih bermuatan perasaan rendah diri. Meski demikian, tidaklah serta merta lagu daerah mesti kalah pamor di hadapan lagu-lagu modern. Khususnya lagu-lagu populer yang diimpor dari barat atau dari Korea. Biarpun lagu daerah masih begitu, tetapi derajatnya lebih mulia dari jenis-jenis lagu yang saya sebutkan tadi. Coba perhatikan lagu-lagu yang katanya modern itu. Hanya dua saja yang menjadi ciri khas mereka: aurat dan lirik vulgar. Video-video lagu impor itu berlomba-lomba menyajikan pemandangan yang dapat mengencangkan urat-urat yang kendor. Ditampilkannya wanita-wanita ‘miskin’ yang tidak mampu membeli celana panjang hingga harus bercelana super pendek atau cuma memakai sehelai kolor saja. Dibuatnya cewek-cewek itu meliuk-liuk memperagakan lekuk tubuh mereka yang aduhai. Demikian juga dengan pria. Mereka sengaja ditampilkan tidak memakai baju, atau hanya pakai sempak, agar ototnya yang kekar dapat dilihat oleh penonton. Cowok-cowok macho sengaja dipilih untuk dimasukkan ke dalam video itu untuk menyampaikan pesan kepada penonton bahwa yang berotot biasanya kuat. Kuat dalam segala hal termasuk urusan yang ‘melemahkan’. Berbeda sekali dengan yang kurus kerempeng. Mereka tidak punya tenaga. Jadi tidak perlu dimasukkan ke dalam video.
Lirik-lirik lagu impor itupun sangat memancing ‘keributan’. ‘Peluk Aku’ katanya atau ‘cium aku’ rayunya. Aih..tak sanggup awak yang bujangan ini mendengarnya.
Memang tak semuanya demikian. Banyak juga lagu-lagu impor yang bermuatan positif. Hanya saja kecenderungan saat ini adalah lagu-lagu impor, khususnya yang keluaran terbaru, banyak yang mengandalkan dua hal diatas (pamer aurat dan lirik vulgar). Para produser musik di barat sana atau di Korea sana tampaknya sudah kehabisan ide bagaimana membuat lagu-lagu yang enak di dengar tanpa mengekaploitasi syahwat manusia.
Lagu-lagu impor dari barat atau korea digandrungi oleh banyak orang atas dasar ‘modernitas’. Dengan menyukai lagu impor dan mengkoleksi lagu-lagu artis ternama luar negeri, terlebih lagi menghafal semua nama penyanyi berikut lirik-liriknya, maka secara otomatis yang bersangkutan diterima secara resmi ke dalam kelompok manusia ‘modern’. Jangan putarkan lagu daerah di hadapan mereka. Bisa-bisa dicemooh. Lagu daerah adalah lagu kampong. Punyanya orang kampong. Sedangkan kampong adalah sarangnya segala bentuk keterbelakangan. Tidak pantas orang ‘modern’ punya selera kampong sebab ‘modern’ memang lawannya ‘kampungan’.
Hemat saya orang-orang Indonesia harus lebih menghargai lagi lagu daerah masing-masing karena lagu daerah adalah identitas diri. Pada liriknya tergambar jiwa orang Indonesia sejati. Pada isi kandungannya terlukis permasalahan-permasalahan hidup yang kerap dihadapi oleh masyarakat tanah air. Dengan lebih menggandrungi lagu daerah dan mengurangi konsumsi lagu impor, saya rasa, kita akan lebih bisa memahami permasalahan bangsa. Tidak hanya itu. Kita juga bisa lebih menyanyagi republic ini. Sebab sejatinya ada ikatan batin yang menghubungkan hati kita dengan lagu daerah tempat kita berasal.
Persoalan nuansa ‘rendah diri’ yang masih mendominasi lagu-lagu daerah bisa diminimalisir dengan cara memberikan masukan kepada para pegiat musik daerah. Bila perlu pemerintah daerah atau tokoh kesenian daerah turun tangan langsung memberikan pendidikan agar lagu-lagu daerah ke depannya lebih progressif mengajak pendengarnya untuk terus optimis dalam menjalani hidup.
Untuk kita sebagai penikmat musik tentu ruang gerak kita terbatas dalam upaya perbaikan muatan lagu daerah. Tetapi itu bukan alasan untuk berdiam diri. Kita bisa memberikan masukan kepada mereka melalui jejaring sosial atau media komunikasi lainnya.
Yang lebih pentingnya lagi adalah kita mesti merubah selera dari sebelumnya penggemar lagu impor menjadi pendengar setia lagu daerah. Memang ini tidak mudah. Tetapi juga tidak mustahil. Biarlah orang membanggakan baju mereka. Kita pakai baju kita sendiri. Biarpun kelihatannya ‘jelek’ dan ‘tidak gaul’ tapi itu punya kita. Bukan punya orang lain. Lagipula untuk apa memakai baju bagus tapi bukan punya kita. Itu sama artinya membanggakan harta orang lain.
Pikiran saya sudah plong sekarang. Semua yang saya pelihara di dalam otak tadi sudah saya tumpahkan. Sekarang saatnya mendengarkan lagu daerah Jambi ‘Karamo Idak’. Hehe…
Comments
Post a Comment