“Sudahlah Beni, jangan bercita-cita terlalu tinggi,
nanti gila. Kalau gila, siapa yang akan mengurusmu?” Cetus pamanku sewaktu
kumpul keluarga di hari raya. Tangannya mengelus-elus pundakku.
“Hey guys, kalau kalian ingin melihat teman kita gila
setelah selesai kuliah nanti, Benilah orangnya!” Teriak seorang kawan di depan
beberapa teman kelas.
Keraguan bernada sinis ini adalah segelintir contoh
dari sekian banyak orang-orang yang menyangsikan impianku untuk menjejakkan kaki
ke negeri Paman Sam, Amerika Serikat.
Jika mereka ragu, itu wajar. Siapa pula yang percaya
dengan impian seorang berandal yang tidak lulus Ujian Akhir Nasional? Seorang
bocah tengik yang menghabiskan waktu 3 tahun di bangku Sekolah Menengah Atas
hanya untuk bermain-main seperi anak TK? “Ijazah Paket C kok mau ke Amerika!
ada-ada saja!” Tak terhitung yang berujar demikian.
Benar, Aku hanya memegang ijazah Paket C sebab ketika
UAN aku tidak bisa menjawab satupun soal Matematika. Bukan karena pertanyaannya
yang sulit melainkan akunya yang tidak pernah belajar. Alhasil, pada hari
pengumuman hasil UAN semua kelalaian dan kejahilanku dibayar lunas. Aku tidak
lulus!
Kegagalanku menyisakan malu yang amat dahsyat. Di
kampung aku menjadi bahan percontohan orang-orang tua kepada anak-anak mereka
bahwa ketika mereka besar nanti jangan berperangai sepertiku. Orang tuaku pun
kecewa bukan main sebab susah payah mereka menyadap pohon karet di tengah rimba
tak berbuah manis. Aspirasi ayah buat menginspirasi masyarakat kampung agar
menyekolahkan anak mereka tinggi-tinggi pun berujung cemoohan. Semuanya
gara-gara aku.
Tidak enak hidup dalam aib. Untuk itu, selepas
mengikuti ujian Paket C, aku memutuskan untuk pergi dari rumah. Aku malu dengan
diriku sendiri. Aku tidak sanggup menatap wajah Ayah dan Ibuku. Dengan masa
depan yang tidak jelas, aku habiskan hari-hariku di perjalanan, sebagai kernek
travel dan kernek truk sawit. Menyaksikan buruh-buruh sawit memikul tandan buah
sawit yang besarnya bukan main, melihat kerasnya kehidupan supir yang saban
hari mengukur jalan, bercengkrama dengan anak-anak karyawan perkebunan yang
miskin akses ke dunia luar, dan membayangkan hal-hal besar yang dilakukan orang
dengan ilmu yang mereka punya, membuatku insaf kalau pendidikan itu amat berharga.
Akhirnya, menjelang penutupan pendaftaran kuliah aku memilih pulang. Aku hendak
meyakinkan ayah lagi bahwa aku benar-benar ingin menuntut ilmu bukan
bermain-main seperti dulu.
Ayah mulanya tidak bergeming. Baginya tidak ada lagi
kesempatan untukku bersekolah tinggi. Namun aku terus meyakinnya hingga
akhirnya hatinya pun luluh. Tanpa berpikir dua kali, aku langsung anggukkan
kepala ketika Ayah menganjurkanku untuk kuliah yang berbau Bahasa Inggris. Demi
membuktikan ke Ayah dan semua orang akan kesungguhanku untuk berubah, jurang
yang paling dalam pun akan kuterjuni. Perduli apa. Lagipula 1000% aku yakin
kalau jalan Bahasa Inggris yang aku tempuh akan memberikan kegemilangan
kepadaku sebab Ridho orang tua adalah ridhonya Tuhan. Dengan mengantongi ridho
orang tua tentu saja apa yang aku perbuat dan apa yang aku impikan akan
dikabulkan oleh Tuhan karena Dia telah berjanji demikian.
Keyakinan teguh yang aku tanam di dalam hati diuji di
hari pertama kuliah. Aku digegerkan oleh beberapa teman yang mendekatiku mengajak
bercakap-cakap dalam berbahasa Inggris. Aku cuma bisa terdiam menelan air liur
yang terasa pahit. Di hari itu juga aku terpaksa memperkenalkan diri di kelas
menggunakan Bahasa Indonesia. Sedang hampir semua teman-temanku mengenalkan
diri mereka dalam Bahasa Inggris. Terpukul, aku pun menobatkan diriku sebagai
calon lulusan terakhir di jurusanku.
Bila dikaji dengan akal sehat, studyku seumpama
perjalanan Jambi – Jakarta. Teman-teman seangkatanku sudah sampai di Palembang
sedangkan Aku masih di Jambi. Kendaraan mereka sudah layak jalan sedang
kendaraanku rusak sana sini. Agar dapat finish di Jakarta bersama-sama mereka
atau kalau bisa lebih dulu, Aku harus memiliki kecepatan di atas rata-rata
kecepatan mereka. Kerusakan di kendaraanku pun mesti aku perbaiki dengan
segera. Untuk memperoleh kecepatan super tersebut wajib hukumnya aku memiliki
pelumas motivasi yang bisa menghasilkan tenaga dahsyat. Setelah berpikir
panjang memilah dan memilih akhirnya Aku menemukan ‘pelumasnya’. Aku set sebuah
impian gila, yaitu belajar di Amerika. Siang malam kuhabiskan waktuku untuk
berjuang demi meraih impian ini dan memperbaiki kerusakan kendaraanku. Tekadku
sudah jelas, Aku akan membayar lunas hutang air mata orang tuaku di masa silam
dengan senyuman manis melepas anaknya berangkat ke negeri Paman Sam. Disamping
itu, impian itu juga akan Aku jadikan sumber pelajaran bagi semua orang bahwa
tidak ada kata terlambat buat berubah. Semuanya mungkin selagi nyawa bersemayam
di dalam badan.
Tak ada jalan yang yak berbatu. Terlebih jalan perjuangan
mendaki gunung impian. Tapi tidak ada juga jalan yang tak bisa dilalui. Tidak
ada gunung yang tak bisa didaki. Tantangan memang ada. Tapi setiap tantangan,
bila ada kesungguhan hati dalam menjalani, pasti bisa ditaklukkan. Sebesar
apapun tantangan itu. Saat sebagian besar teman sekelas kursus Bahasa Inggris
dengan salah satu dosenku, Aku terpaksa mengurungkan niat untuk bergabung
menimba ilmu karena ketiadaan biaya. Karena impopssible is nothing, Aku pergi
ke toko buku loak untuk membeli sebuah majalah Bahasa Inggris bekas. Setiap
hari kuterjemahkan majalah tersebut lembar demi lembar. Alhasil, walaupun tidak
ikut kursus dengan dosen tersebut, tapi Aku bisa juga mendapat nilai A di mata
kuliah Vocabulary Building yang di ajarkannya. Hal ini bermakna sangat spesial
mengingat beberapa teman yang ikut kursus mendapatkan nilai di bawah nilaiku.
Tak ada yang mengalahkan kekuatan mimpi. Setelah dua
setengah tahun berjuang, impianku ke Amerika akhirnya terwujud di tahun 2011
melalui beasiswa IELSP dari IIEF. Aku pun diberikan kesempatan untuk belajar
Bahasa Inggris di Arizona State University selama dua bulan. Tidak hanya itu,
di tahun-tahun berikutnya aku berlimpahan berkah dari Tuhan; mewakili Indonesia
dalam program Pertukaran Pemuda Indonesia Australia, menjadi finalis blogger
internasional di Malaysia, berlayar keliling Indonesia melalui program Kapal
Pemuda Nusantara, dan puncaknya adalah aku mendapatkan beasiswa lpdp sehingga
berkesempatan berkuliah di salah satu kampus terbaik di dunia, University of
Manchester. Sampai saat ini, aku telah menginjakkan kakiku ke lima benua.
Semuanya berkat ridho yang diberikan oleh orang tua dan usahaku yang tak pernah
putus.
Bila kurenungkan lagi perjalanan hidupku dapatlah aku
suatu kesimpulan bahwa tidak boleh menghakimi manusia dari lembaran kisah masa
lalunya. Sehitam apapun masa lalu seseorang, dia tetap berkesempatan untuk
merubah hidup. Dia tetap berpeluang untuk meraih hal-hal besar sebagaimana yang
diimpikan oleh manusia-manusia yang tidak punya catatan kelam. So, maju terus,
raih mimpimu!
Comments
Post a Comment