Senandung Hati Saleh

Saleh, begitu dia biasa dipanggil oleh ibunya. Panggilan itu adalah panggilan kesayangan sebab memang dia anak yang paling disayang diantara 7 orang anak Wak Ramlah. Alasan Saleh menjadi anak emas ada beberapa butir. Butir pertama adalah tentu saja dikarenakan dia anak paling bungsu. Bujangan seorang pula. Semua kakaknya sudah berumah tangga. Bahkan sudah beranak pinak. Saleh sendiri sudah mempunyai 8 orang keponakan dari kakak-kakaknya itu.
Sedangkan butir kedua adalah karena Saleh selalu mau turut apa saja yang diperintahkan oleh maknya. Disuruh mencuci piring, ok. Diminta membelikan ikan teri di toko juga siap. Pokoknya apapun yang diperintahkan kepadanya Saleh akan melakukannya dengan senang hati. Tanpa bantahan sepatah katapun. Oleh sebab inilah dia sering dipanggil oleh orang kampungnya sebagai ‘anak perempuan’ Wak Ramlah. Sudah menjadi takdir memang Wak Ramlah tidak punya anak perempuan. Semua anaknya laki-laki. Lagipula urusan basuh-membasuh pinggan atau berbelanja kebutuhan dapur di kampong Tanjung Rengas merupakan urusan kaum wanita. Bukan urusan kaum pria. Sudah lama seperti itu. Sejak zaman buta huruf dulu. Diantara dua pekerjaan tetap Saleh itu, yaitu mencuci piring dan berbelanja di toko, yang kedualah yang paling sering digelutinya. Hampir saban sore Saleh mendapat suruhan dari maknya untuk berbelanja di toko Wak Samad, tetangga sebelah rumahnya itu. Meski demikian, namanya juga anak kecil, Saleh tidak betah berlama-lama di rumah. Sepulang sekolah biasanya dia sibuk bermain dengan kawan-kawannya. Jadi bilamana Wak Ramlah ingin menyuruh Saleh, dia mesti menjerit dulu.
‘Saleh, belikan mak bayam seikat, nak!’ Mendengar teriakan seperti itu biasanya Saleh langsung menghentikan permainan apapun yang tengah dia mainkan. Kalau sedang main kelereng, dia minta izin dulu kepada kawan-kawannya. Barulah setelah itu dia menghampiri Wak Ramlah, mengambil duit dari tangannya lalu berlari ke arah toko Wak Samad. Beberapa menit kemudian Saleh akan keluar dengan menenteng seikat bayam yang diminta maknya. Bila air Batanghari naik, Saleh dan teman-temannya biasanya bermain mandi terjun dari batang kapuk yang tumbuh di tepi sungai itu. Dia akan manjat keatas, berjalan ke ujung ranting, lalu melompat ke bawah. Byur…bunyi air Batanghari ketika menyambut badan Saleh. Saleh dan kawan-kawannya pun tertawa girang. ‘Saleh, ke toko sebentar, nak. Belikan mak terasi.’ Tanpa berfikir panjang, Saleh langsung berhenti dan mengenakan pakaian. Didakinya tebing yang landai itu, lalu disambarnya duit dari Wak Ramlah. Secepat kilat dia berlari ke toko Wak Samad. Begitulah rutinitas Saleh bertahun-tahun. Selalu menjadi orang suruhan maknya untuk urusan beli membeli. Saleh sama sekali tidak keberatan soal pekerjaannya itu. Bahkan dia sangat suka melakukannya. Pernah suatu kali Wak Ramlah sibuk ke sawah. Pagi-pagi buta dia telah berangkat lalu pulang ke rumah selepas zuhur. Karena jalan ke sawah lewat di depan rumah Wak Samad, Wak Ramlah langsung saja membeli kebutuhan dapur di perjalan pulang ke rumah. Gara-gara itu Saleh menganggur selama lebih kurang tiga bulan. Tidak tenang batinnya karena kehilangan pekerjaannya itu. Dia pun protes.
‘Mak tidak adil. Masak mak sendiri yang berbelanja di toko Wak Samad. Itu kan tugas Saleh.’ Katanya. Mendengar protes dari anaknya itu Wak Ramlah hanya tersenyum. Musim bersawah di tahun-tahun berikutnya tidak pernah lagi Wak Ramlah mampir di toko Wak Samad ketika pulang. Sebab Saleh sudah menunggu di rumah untuk diberi perintah. Hari berganti, tahun bertukar. Tanpa terasa Saleh sudah tumbuh dewasa. Sudah tamat SMA pula. Itu artinya Wak Ramlah mesti berbesar hati sebab Saleh punya cita-cita tinggi. Dia ingin kuliah di Padang. Mengambil jurusan apa saja yang disukai maknya. Kebetulan soal yang satu ini wak ramlah tidak paham. Sebab dia tidak pernah bersekolah. SD saja tidak tercicip olehnya. Tapi Wak Ramlah tetaplah Wak Ramlah. Walaupun tidak tahu tentang sesuatu dia tetap kehendaknya yang ingin dikemukakan. wak ramlah mau anak yang paling disayangnya itu belajar tentang cara mengurus kebun. Maka jadilah saleh mengambil jurusan manajemen perkebunan. Kebetulan saleh juga punya mimpi yang agak mirip yaitu mengelola kebun karet dan sawit kepunyaan keluarganya dengan system pengelolaan yang modern. Dia juga berkeinginan untuk mengajar orang-orang kampungnya tentang tata kelola kebun agar masyarakat desa bisa sejahtera dalam berkebun. Saleh maju pesat dalam belajarnya. Setiap tahun dia mendapatkan beasiswa dari pemerintah berkat nilainya yang selalu tinggi. Saleh juga sempat menjadi pembicara di berbagai seminar sampai keluar negeri. Bahkan dia sempat mendapatkan beasiswa belajar ke Jerman selama satu semester. Disana dia berguru langsung dengan ahli manajemen perkebunan kelas dunia. Tidak ada harum yang tidak tercium orang. Nama Saleh yang masyhur tersebar dimana-mana. Di kampungnya dia menjadi buah bibir. Setiap mulut memuji betapa Wak Ramlah beruntung punya anak seperti Saleh. Orang-orang tua di kampong selalu menasehati anak-anaknya dengan kalimat, ‘kau harus jadi seperti bang Saleh besok ya nak.’ Anak-anak itu pun mengangguk. Empat tahun Saleh di kota dia pun kembali ke kampong halamannya, Tanjung Rengas. Betapa bangganya wak romlah. Anaknya kini telah menjadi seorang sarjana. Begitu juga dengan keluarga besar Saleh di kampong. Rumah Saleh penuh sesak oleh warga kampong. Mereka semuanya tersenyum lebar menyambut kedatangan putra kebanggaan Tanjung Rengas itu. Diantara yang hadir, ada satu orang yang menarik perhatian Saleh. Seorang gadis berbaju kaos putih, celana jeans biru muda, yang lagi tersenyum simpul ke arahnya. Gadis itu bernama Melisa. Anak sepupu Wak Ramlah yang tinggal di Pekanbaru. Saleh sedikit bingung bercampur gugup. Hatinya bertanya-tanya mengapa Melisa ada di rumahnya. Seingatnya tidak pernah Melisa bertamu. Terakhir kali tahun 1995 dulu ketika Saleh belum masuk sekolah. Setelah itu tidak pernah lagi. Melisa kini tumbuh menjadi gadis yang amat rupawan. Padahal sewaktu kecil dulu dia sering diledeki oleh temannya dengan sematan ‘si ingus’. Sematan itu lantaran Melisa selalu mengelap ingusnya menggunakan lengan yang membuat hidungnya belepotan. Itu dulu. Waktu Melisa masih kanak-kanak. Melisa yang sekarang sudah berbeda. Dia telah menjelma menjadi seorang gadis idaman bagi setiap laki-laki. Parasnya bukan main rupawan. Wajahnya bulat. Alisnya berbaris lebat bak pohon beringin. Hidungnya mancung serupa hidung plastik artis korea. Bibirnya tipis kemerahan meskipun tanpa digincu. Pipinya mulus tidak berbatu. Ukuran kening pas, tidak terlalu lebar tidak juga teramat sempit. Kedua matanya berkelopak kecil seperti mata gadis Jepang. Dan rambutnya hitam pekat, panjang terurai bak rambut artis iklan sampo yang di tivi tivi. Soal bentuk tubuh, Melisa menang telak. Payahlah dicari tandingannya. Tinggi. Tidak kurus macam model di televisi yang ‘kurang gizi’. Tidak juga gembrot seperti ibu RT di acara TV Suami-Suami Takut Istri. Pendeknya bentuk badan Melisa sedang-sedang. Atau lebih tepatnya ideal. Sangat pas untuk menjadi artis. Dan sangat cocok untuk menjadi istri kebanggaan semua pria di muka bumi. Yang teristimewa dari Melisa adalah tingkah lakunya yang penuh sopan santun. Tidak pernah berbicara kasar kepada orang lain. Baik kepada yang muda lebih-lebih kepada yang tua. Bila berjumpa dengan orang di jalan Melisa tidak pernah lupa senyum. Selalu disapanya mereka yang lewat dengan sapaan lembut, ‘hendak kemana, pak?’ atau ‘pulang dari mana, bu’. Keramahan seperti ini membuat orang tua se RW berangan-angan kalau anak bujangnya bisa dipasangkan dengan Melisa. Mengambilnya sebagai menantu sebab budinya yang luhur itu. Dibalik itu semua, Melisa adalah tipe cewek kota metropolitan yang sejati. Tempat nongkrongnya di mall-mall. Tiap bulan ke salon untuk perawatan. Jika perut lapar dan kebetulan sedang di luar, Pizza Hut atau Dine n Chat biasanya menjadi pilihan utamanya. Gaya hidup high class seperti itu tidaklah aneh. Melisa memang anak orang berduit. Ayahnya, Haji Saman, adalah pemilik show room mobil terkemuka di Pekanbaru. Dia juga punya asset perkebunan yang beratus-ratus hektar luasnya. Melisa sendiri dikuliahkan oleh ayahnya di Jakarta. Di salah satu perguruan tinggi swasta ternama yang hanya dimasuki oleh orang-orang kaya. *** Malam berikutnya Saleh berserta keluarga besarnya bersantai-santai di ruang tamu. Melisa juga ada disitu. Ditemani oleh papa dan mamanya. Mereka bertiga beranak memang menginap di rumah Saleh. Esok baru akan kembali ke Pekanbaru. Keluarga besar Saleh dan keluarga Melisa bercerita tentang banyak hal. Tentang sejarah nenek moyang masing-masing, bagaimana mereka saling terkait di pohon keluarga, dan tentang datuk Saleh yang dulu tidak akur dengan kakek Melisa. Perbincangan antara kedua keluarga itu terus berlanjut hingga berjam-jam lamanya. Ketika jam sudah menunjukkan pukul Sembilan lewat, berkatalah ayah Melisa. ‘Jadi, sudah pas ya, Ramlah?’ ‘Bukan pas lagi. Cocok! Tinggal kita tentukan saja harinya’ Seisi ruangan tertawa. Saleh pun ikut tertawa meskipun tawanya tidak selantang tawa pamannya. Sebab tawa Saleh memang tawa orang yang bingung. Di tengak hiruk-pikuk itu Melisa tertunduk malu. Dibibirnya terukir senyum. Tanda bahagia sedang menyapa hatinya. Pembicaraan berjam-jam antara dua keluarga itu memang tidak seluruhnya dicurahkan untuk membahas tentang Saleh dan melisa. Mereka hanya berbasa-basi saja. Tidak dibicarakan pun ketetapan itu sudah ada. Sudah terjalin dari dulu walaupun baru sebatas kesepakatan di hati. Tidak pernah dikeluarkan dari mulut. Status social yang tinggi antara Saleh dan Melisa seolah jalan takdir yang memang sudah terbuat demikian. Sudah menjadi kebiasaan di dalam masyarakat kalau yang berharta harus pula dipasang dengan yang berharta. Dan yang bernama mestilah juga disandingkan dengan yang bergelar. Keluar dari kebiasaan ini adalah hal yang tidak biasa. Aneh. Dan tidak pantas. Karena alasan inilah kedua keluarga menginginkan Saleh dan melisa hidup serumah. Membina rumah tangga yang mulia atas dasar derajat dan nama yang membumbung tinggi ke angkasa. Melisa adalah emas sedang Saleh juga emas. Emas yang dipadukan dengan emas akan semakin kuning. Beda bila ia dicampur dengan tembaga yang tentu saja akan mengurangi kadar emasnya dan akhirnya warna kuningnya pun memudar. Melisa juga sudah lama jatuh hati kepada abang dua pupunya itu. Baginya Saleh adalah suami yang pantas untuk menemani hidupnya. Saleh pintar, lulusan perguruan tinggi ternama, sering ke luar negeri, tidak banyak tingkah pula. Pokoknya Saleh adalah pria yang sangat pas dengan definisi suami idamannya selama ini. *** Malam berganti siang. Isi rumah Saleh pun kini lengang. Di pagi buta Melisa beserta papa mamanya sudah pulang ke pekanbaru. Paman bibi Saleh pun juga sudah kembali ke rumah masing-masing. Tinggallah Saleh dan Wak Ramlah di rumah. Ayah Saleh, Pak Manan, sudah ke kebun. Melihat anak buahnya berkerja. ‘Mak, mak mau masak apa hari ini?’ tanya Saleh kepada maknya yang sedang menjahit kancing kemejanya yang lepas kemarin. ‘Belum tau lagi. Mak inginnya masak pepes tempoyak. Kau kan suka pepes tempoyak. Kebetulan di dapur ada sedikit ikan seluang hasil pancingan dua hari lepas.’ ‘Tapi’ lanjut Wak Ramlah. ‘Serai sudah habis.’ ‘Biar aku yang belikan serai, mak’ potong Saleh. ‘Janganlah. Kau bukan anak kecil lagi Saleh. Sudah sarjana kau itu. Biarlah mak suruh yang lain nanti yang beli. Sore ini abangmu akan kesini. Jadi mak bisa suruh keponakanmu, Raziq, yang beli’ ‘Ttidak apa, mak. Biar aku saja. Ya…???’ Saleh memelas dihadapan maknya. Digoyang-goyangnya tangan maknya itu hingga tidak bisa lagi maknya menjahit. ‘Anak mak ini memang tidak berubah. Padahal sudah 24 tahun umurnya’ Wak Ramlah mencubit pipi Saleh. Seperti seorang nenek yang mencubit pipi cucunya yang berusia lima tahun. Pertama kali dalam hidupnya, setelah bertahun-tahun, Saleh tidak berlari ke toko Wak Samad. Dia berjalan saja. Jalannya pun lambat. Seperti jalan seorang karyawan yang baru saja di PHK oleh perusahaan. ‘Kau baik-baik saja, Saleh’ sahut si empunya toko yang tengah duduk menimbang gula. ‘aku ingin membeli serai’ jawabnya. ‘bukan. Bukan itu yang aku tanya.’ Timpalnya lagi. ‘pertanyaanku tadi, apakah kau baik-baik saja?’ dicacaknya penyedok gula yang dipegangnya itu ke dalam karung yang berisi tumpukan gula. Matanya melotot ke arah Saleh yang tengah lesu tertunduk. ‘Jawab, Saleh! Jawab!’ sergahnya. ‘Kau pasti bahagia. Ya, kan? Pura-pura saja kau murung. Padahal hatimu itu berbunga-bunga’ ‘Kau tau, ya?’ Saleh mengangkat dagu. ‘Apalah yang tidak aku ketahui di kampong ini Saleh. Biarpun sekolahku tak setinggi sekolahmu, jangan kau anggap aku buta keadaan’ diambilnya penyedok gula yang tertancap tadi lalu mengisi mengisi kantong plastic yang dipegangnya dengan gula. ‘Aku tidak punya pilihan, Timah’ kata Saleh sambil menjongkok. Matanya mencari muka Fatimah yang kini giliran tertunduk. Beberapa butir air jatuh ke lantai. ‘Iya, Saleh. Kau memang tidak punya pilihan. Tidak salah katamu itu. Semua jalan hidupmu dipilih oleh mak mu. Dari tempat sekolahmu, jurusan kuliahmu, sampai baju yang hendak kau beli, semuanya makmu yang memilih. Kini masa depanmu lagi yang dipilih oleh makmu’. ‘Kau harus mengerti, Fatimah. Aku mesti tunduk pada kehendak orang tua. Kewajiban anak memang patuh kepada orang tua.’ ‘Iya, benar. seratus persen benar’. kata Fatimah yang kini mulai tersedu. ‘Aku tidak menyalahkanmu, Saleh. Semua ini memang salahku yang tidak pernah berdiri di muka kaca. Sudah tau derajatku rendah, sekolahku hanya sampai Madrasah Aliyah, dan kerjaku cuma mengajar di Madrasah Ibtidaiyyah, berani-beraninya aku memendam harap kepadamu yang berbangsa tinggi. Semestinya aku sadar akan diriku’. Cucuran air mata Fatimah semakin deras mengalir. ‘Jangan berkata begitu, Fatimah’. Kata Saleh menaruh kasihan. ‘Aku sayang padamu. Aku cinta’. ‘Sayang. Cinta’. Balas Fatimah sambil menyeka pipinya yang basah. ‘Bisa apa cinta dan sayang di dunia ini. Bisa apa? Cinta hanya bisa terpendam, Saleh. Itu saja. Sedang sayang cuma bisa berada di dalam angan. Tidak boleh dikeluarkan dari dalam hati. Apalagi oleh seorang yang tak berderajat tinggi sepertiku. Sudahlah, Saleh. Menikahlah kau dengan Melisa itu. Kau sepadan dengannya. Bila denganku kau akan malu. Memiliku bisa membawa aib kepada keluargamu.’ ‘Tidak Fatimah. Itu tidak akan terjadi. Aku akan menikahimu. Telah kujanjikan itu jauh sebelum aku berangkat ke Padang dulu. Kau sendiri tau itu.’ ‘Simpanlah janji itu, Saleh. Tiada gunanya. Janji setia hanya berlaku pada orang yang mampu. Orang yang kuat. Bukan orang yang lemah seperti aku ini. Diukur dari segi apapun aku tetaplah tidak sepadan dibandingkan dirimu, Saleh. Kau berharta sedang aku tidak. Sekolahmu tinggi. Sampai keluar negeri sana. Aku? Hanya tamatan madrasah Aliyah di kampong.’ ‘Jangan kau berkata begitu, Timah. Aku tidak pernah memandangmu rendah. Semua yang aku capai di dalam hidup berkatmu juga. Bukankah kau yang selalu menyemangatiku agar aku senantiasa mengejar mimpiku hingga ke ujung dunia? Mustahil aku menjadi seperti aku sekarang jikalau bukan karena kau yang menelponku pagi-pagi buta. Menyuruhku bangun untuk mendirikan sholat shubuh dan memaksaku membuka buku pelajaranku.’ Mendengar itu Fatimah terdiam. Kata-kata Saleh membuatnya kehabisan bahan untuk membantah. Ditatapnya Saleh sebentar lalu kembali menyedok gula untuk diisi ke dalam bungkus plastic yang lain. ‘Timah’ kata Saleh lembut. ‘Ingat tidak kau masa-masa kita kecil dulu? Sewaktu kita disawah di pagi minggu? Kau hebat betul dalam menangkap belut yang licinnya bukan main itu. Cengkeramanmu tiada tanding. Kalau pancinganku kena, lalu kutarik belut itu kelur dari lubangnya, kau sudah siap siaga untuk menggenggamnya dengan jari tengah tangan kananmu. Sebab katamu bila menggengam belut dengan kelima jari tangan maka belut itu tidak akan pernah bisa digenggam. Tubuh belut itu licin berlendir. Dia akan melurut bila digenggam dengan lima jari.’ ‘Dari dulu memang sudah kuingatkan diriku ini, Saleh.’ Kata Fatimah. Sepertinya dia tidak bergeming dengan cerita memori belut yang disampaikan oleh Saleh. ‘Biarpun kita kawan akrab dari kecil, pondok mak kita berdekatan di sawah, dan rumah kita berdampingan pula, tapi takdir tetaplah takdir. Sudah menjadi ketetapan yang diatas kalau kau dan aku tidak digariskan untuk bersama. Dunia kita sudah jauh berbeda, Saleh. Tinggi duduk kita pun sangat timpang. Posisimu sudah jauh keatas sedang aku terpaku dibawah.’ ‘Terus terang aku katakan, bahwa aku tidak bisa menjadi pendamping hidupmu. Terlalu banyak cerita tidak elok diakhirnya nanti bila kita memaksa diri. Ibarat belut, satu-satunya cara kau menggenggamku adalah dengan jari tengahmu. Keluarga besarmu tidak akan mau menerimaku menjadi menantu. Apalah artinya bila jari tengahmu menggenggamku sedang ke empat jari yang lain tidak mau mengepit juga.’ Sekarang giliran Saleh yang membisu. Tidak tau lagi apa yang harus dikatakannya kepada Fatimah yang sudah sangat pasrah itu. Tak mau terdiam lama, dipaksanya juga untuk merangkai kata. ‘Timah’ kata Saleh. ‘Aku tidak mau kehilangan kau yang telah aku sayangi sedari kecil dulu. Aku tidak mau cita-cita yang kita bangun untuk membuat kebun katu dan bayam hilang begitu saja. Aku ingin semuanya terlaksana. Aku ingin semuanya tidak hanya sebatas angan belaka lalu hilang ditelan masa. Ya, akan aku pegang kau erat-erat dengan jari tengahku. Takkan kulepas. Biarlah jari-jari yang lain tidak mau memegangmu sebab bagi mereka kau terlalu berlendir untuk digenggam. Persis seperti badan belut yang berbau amis. Tapi aku tidak akan tinggal diam. Aku akan berjuang agar hati mereka lunak. Aku yakin sekeras-kerasnya batu akan melengkung juga bila terus-terusan ditetesi dengan air.’ ‘Tidak, Saleh. Maaf aku tidak bisa’. Fatimah menutup mulut dengan tangannya lalu berlari meninggalkan toko menuju kamarnya. Disana dia menangis sejadi-jadinya. Mengenang nasib yang begitu malang. Sejak hari itu Fatimah tidak pernah keluar rumah lagi. Nomor handphonennya pun tidak bisa lagi dihubungi. Dia benar-benar menghilang ditelan oleh cintanya yang tak kesampaian. Sementara itu Saleh kini sering menyendiri. Wajahnya tak lagi berseri. Mulutnya pun kini terkunci sangat rapat. Tak mau diajak bicara dan tak menjawab bila ditanya. Pernikahan Saleh dan Melisa kian dekat. Tepatnya lima hari lagi. Setelah berunding dengan dirinya sendiri, sampailah Saleh pada satu kesimpulan: dia mesti pergi jauh. Merantau ke ujung bumi meninggalkan semua cerita duka di belakang. Baginya inilah satu-satunya jalan yang paling adil. Jalan yang dilalui dengan cara tidak memilih siapapun. Tidak Melisa, tidak keluarganya, dan tidak pula Fatimah. Dikumpulkannya semua pakaian dan ijazahnya lalu ditengah malam buta Saleh keluar dari rumahnya secara diam-diam. Diluar hujan tengah lebat-lebatnya dan petir bersahut-sahutan. Saleh berjalan menerobos hujan membawa angan yang terputus. Dengan wajah putus asa, dia menengadah ke atas, lalu bersenandung: Oh Tuhan ampunkan denai Suratan diri nan den sasali Dek padiahnyo luko hati Mimpi-mimpi acok mamanciang tangih Putuih aso den rasoi Kadang-kadang den batanyo ka diri Untuak apo jantuang jo hati Kadang-kadang den bisiakkan ka diri Tutuikkan pintu rindu di hati Di lahia sajo tampaknyo sanang Di batin luko denai suruakkan Mangko den acok ba langang-langang Tuhan dangalah nyanyian malam Di lahia sajo tampaknyo sanang Di batin luko denai suruakkan Mangko den acok ba langang-langang Tuhan dangalah nyanyian malam
Oh Tuhan ubekkan denai Buliah den tampuah kalamnyo hari Nak dek hapuih mimpi-mimpi Buruang murai lai bakicau pagi Ombak maampeh manari Tolong rinaikan hujan kok tibo Den tampuang untuak pambasuah luko Tolong rinaikan hujan kok tibo Den tampuang untuak pambasuah luko Di lahia sajo tampaknyo sanang Di batin luko denai suruakkan

Comments