Semuanya Terserah Anda!

Dalam perjalanan hidupku yang belumlah jauh betul ini, kusaksikan ada dua jenis manusia. Jenis pertama adalah mereka yang terbungkuk-bungkuk mendaki bukit. Beban di pundaknya menggunung sedang keringat di keningnya berbaris sebesar biji jagung. Adapun jenis kedua adalah manusia yang berjalan melenggang menurun. Di pundaknya tidak ada beban apapun hingga langkahnya lancar saja. Bahkan dia berjalan sambil bersiul pertanda hidupnya amatlah damai sentosa. Bila kita perhatikan bajunya, tidak tampak basah karena keringat. Bajunya kering badannya segar. Sebab menuruni jalan memang tidak perlu memeras keringat. Kedua golongan manusia ini akan terus berjalan mengikuti alur masing-masing. Yang mnendaki akan tetap berjuang ke atas dan yang menurun akan khusyuk melenggang ke bawah. Meski begitu, di ujung perjalanan mereka berdua akan berada di level yang berbeda. Yang tadinya merangkak keatas penuh perjuangan akan sampai dipuncak. Dia disambut oleh para pendaki-pendaki handal yang telah lama sampai kesana. Mereka bersuka ria menikmati hasil perjuangan. Susah payah ketika naik keatas dulu kini terbayarkan dengan suguhan pemandangan yang luar biasa indahnya ketika mereka menoleh ke bawah. Sawah terhampas luas, suara air terjun samar-samar terdengar, dan yang lebih menenteramkan lagi adalah, posisi mereka yang tinggi. Lebih tinggi daripada awan. Berbeda dengan manusia yang tadi bersiul-siul santai. Dia kini terbenam di jurang yang paling dalam. Ketika menurun dia tidak sadar kalau perjalanannya akan membawanya jauh ke bawah. Dia terlena dengan bunga-bunga indah yang bertebaran di tepi jalan. Dia terperdaya oleh warung-warung kesenangan yang menyajikan segala macam kenikmatan hidup. Dia lupa akan tujuan hidup sesungguhnya yaitu mencari kemuliaan; mulia di hadapan Tuhan dan mulia di mata manusia. Di dalam jurang itu dikenangnya lagi perjalanan yang telah ditempuhnya, rasa sesal pun datang bertubi-tubi. Dia menyesal telah terlena oleh enaknya menurun. Dia menyesal karena tertipu oleh warna-warni bunga yang tumbuh subur di tepi jalan. Dia menyesal karena terlalu lama dan sering singgah di warung-warung kesenangan itu. Dia menyesal mengapa dulu tidak memilih untuk mendaki saja. Dan kini dia mesti terima hidupnya yang terbenam dibawah. Ditemani oleh orang-orang yang juga hidup dalam penyesalan. Disekelilingnya hanya tumpukan sampah. Di sekitarnya cuma genangan limbah. Jenis dua manusia seperti ini dapat kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Mereka ada dimanapun; di kantor, di sawah, di sekolah, termasuk juga di kampus. Yang terakhir ini ingin saya singgung. Ketika menjadi mahasiswa S1 dulu saya berteman dengan dua jenis manusia yang sedang kita bahas disini; yang suka mendaki dan yang terlena menurun. Pola hidup mereka memang berbeda 180 derajat. Tipe pendaki biasanya agak sulit untuk diajak nongkrong. Apalagi dalam urusan hura-hura. Berbeda dengan yang tipe menurun. Bukan saya yang mengajak mereka bersenang-senang, mereka yang mengajak saya! Bahkan bila dituruti betul, bisa-bisa saya nongkrong terus saban malam. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan berkumpul-kumpul ria. Asal ingat waktu dan tanggung jawab saja. Kalau dalam satu minggu seluruhnya digunakan untuk hang-out, ngopi-ngopi sedap, tentu bukan suatu pola hidup yang bagus. Terlebih mahasiswa yang mesti belajar dengan giat buat masa depan yang gilang gemilang. Sebaliknya, bila dalam seminggu hanya diisi dengan belajar saja tanpa diiringi dengan ngumpul-ngumpul ria, saya khawatir mahasiswa yang bersangkutan terserang penyakit anti social. Kikuk di keramaian, nihil jaringan, gugup saat bertemu orang. Penyakit ini berbahaya sebab dunia ini tidak hanya diisi dengan buku tetapi juga manusia yang banyak macam ragamnya. Orang yang selalu berteman dengan buku, ketika ada masalah yang membutuhkan pertolongan manusia, atau kegiatan yang menuntut kerjasama dengan orang banyak, dia akan frustasi sebab buku-bukunya ternyata tidak dapat membantu memecahkan permasalah hidupnya. Kembali kepada soal mendaki menurun tadi. Setelah beberapa tahun berlalu, khususnya pasca kelulusan dari S1, saya melihat perubahan dalam hidup kawan-kawan saya itu. Mereka yang dulunya bersusah payah mendaki kini sedang menikmati hasil dakiannya; punya pekerjaan yang layak, pendidikan yang tinggi, dan tentu saja kemuliaan di mata masyarakat. Berbeda dengan yang dulunya ogah naik ke atas dan lebih memilih menikmati nikmatnya turunan. Hidup mereka kini terbenam dibawah. Usia yang tidak lagi muda menampar muka mereka bahwa tidak ada pilihan lain lagi kecuali kembali mendaki keatas. Bukan untuk berdiri di puncak gunung melainkan kembali berpijak di dataran seperti manusia yang lain. Maka dari itu selalulah saya tegaskan kepada mereka yang lebih muda dari saya, khususnya yang kini tengah menempuh pendidikan di perguruan tinggi di Jambi, bahwa kehidupan sebagai mahasiswa yang sedang mereka jalani sekarang adalah ibarat fase bulan madu. Bulan madu yang indah lagi panjang. Bukan seminggu dua tetapi empat lima tahun. Pendaftaran kuliah adalah penandatanganan buku nikah. Dengan tergoresnya tinta di buku itu maka secara resmi pula mereka menjadi seorang suami atau istri. Sebagaimana layaknya pasangan pengantin yang tengah berbulan madu, para mahasiswa belum lagi punya tanggung jawab penuh. Tanggung jawab mereka masih terbatas pada yang ‘satu itu’. Eits…jangan berpikir macam-macam dulu. Maksud saya tentang yang ‘satu itu’ adalah belajar. Hehe... Iya, kewajiban mahasiswa satu-satunya masih berkutat pada belajar. Untuk masalah selain dari itu seperti membiayai kehidupan sehari-hari berada dibawah tanggung jawab orang tua. Seorang mahasiswa (kebanyakan) tidak perlu berlelah-lelah mencari nafkah. Pasokan dana mengalir deras dari orang tua seperti air yang keluar dari bendungan. Tidak pernah mengenal kata macet. Apapun kendala keuangan adukan saja kepada orang tua maka dalam hitungan hari semuanya akan beres. Tanpa perlu pusing-pusing apakah besok dapat beli beras atau tidak. Tiada perlu risau uang SPP akan dibayarkan pakai daun, kertas, atau plastik. Semuanya sudah ada yang menanggungnya, yaitu ayah dan mak. Asyiknya bulan madu ini membuat banyak mahasiswa terlena. Banyak dari mereka yang tidak giat belajar. Kuliah hanya sekedar absen saja. Datang ke kampus hanya sebatas rutinitas harian. Setelah itu pulang ke rumah, tarok tas di kamar, lempar buku ke atas lemari, lalu pergi bermain dengan kawan-kawan. Buku pelajaran tidak pernah lagi dibuka kecuali minggu depan saat pelajaran itu dimulai lagi. Golongan mahasiswa yang seperti ini tidak sadar kalau pohon yang mereka tanam itu akan berbuah pahit di akhirnya kelak. Jalan yang mereka lalui memang menurun, bisa dilalui sambil bersiul. Namun empat atau lima tahun mendatang, ketika masa bulan madu itu habis, mereka akan ditempeleng oleh kenyataan kalau hidup pasca bulan madu itu penuh dengan tantangan. Tidak lagi seindah dan semudah tatkala menjadi mahasiswa dulu dimana segala macam tetek bengek kehidupan masih ditangani oleh ibu bapak. Kehidupan nyata selepas tamat kuliah menuntut pertanggungjawaban. Persis serupa dengan pasangan pengantin baru yang pulang dari liburan bulan madu yang harus berkerja keras agar rumah tangga menjadi rumah tangga yang sejahtera. Beban hidup selepas studi akan datang silih berganti tanpa mengenal ampun. Naasnya adalah segalanya harus dipikul sendiri. Ayah bunda sudah lepas tangan. Sebab mereka menganggap tugas mereka sudah selesai. Kini anaknya telah menjadi seorang sarjana. Sarjana yang penuh dengan tuntutan, mulai dari orang tua meminta hasil nyata berupa pekerjaan yang layak, sampai kepada masyarakat yang menagih pengetahuan untuk memajukan kehidupan sosial. Pada tahap itulah mereka akan meyesal. Air mata keluar bercucuran mengenang jalan yang dulu dilalui. Tapi apalah daya jalan itu kini telah mengantarkan kepada sebuah tujuan. Disukai atau tidak tujuan itu bukan lagi sebuah pilihan sebab memang tidak bisa lagi memilih. Yang bisa hanya menerima saja sambil berfikir bagaimana caranya merubah nasib. Itupun jika memang ingin berubah serta siap berlelah-lelah.. Jadi kawanku sekalian, pesanku dari yang tidak begitu tua ini, pikirkan lagi jalan yang sedang engkau tempuh, menurunkah atau mendaki. Jika menurun lekas-lekaslah berbalik arah. Kembali lagi ke belakang sebelum semuanya terlambat. Jika mendaki, teruslah naik ke atas. Tahan semua letih. Lawan rasa lelah. Kelak ketika kau sudah diatas kau akan merasakan sejuknya angin pegunungan. Keringatmu akan kering. Tubuhmu akan segar. Kesegaran yang tak dapat dinikmati oleh mereka yang ada dibawah apalagi mereka yang berada di dalam jurang. Percayalah padaku bahwa tujuan akhir hidup ini bisa di design. Tinggal memilih jalan saja, jalan yang mendaki atau menurun. Semuanya terserah anda!

Comments