Dan sepetak kasur kapas tipis menjadi saksi betapa Syamsi mesti menyerah. Bukan. Dia menyerah bukan karena tidak berusaha. Dia sudah mengerahkan segala kemampuan yang dapat dilakukan oleh orang miskin sepertinya. Dia sudah pergi ke bidan. Oleh si bidan dia disuntik dan diberikan obat seadanya yaitu obat penurun panas meskipun penyakitnya bukan demam panas. Tetapi tidak apalah yang penting minum obat. Dia juga sudah ke puskesmas dengan pulang membawa obat yang serupa. Beberapa bungkus plastic pil obat penurun panas. Pendek kata, sebagai seorang manusia Syamsi sudah berusaha.
Cuma satu saja yang dia belum lakukan. Ke rumah sakit! Jangan kau tanya mengapa. Rumah sakit jauh. Lagipula biaya berobat hanya terjangkau oleh mereka yang berduit. Bagi orang-orang kecil seperti Syamsi berobat ke rumah sakit hanya sebuah khayalan. Cuma bisa diangankan diatas kasur tipis tempat dia terbaring lemah. Begitupun dengan ongkos ke dokter yang juga tak kalah mahalnya. Tidak dapat diraih oleh Syamsi yang hanya sebagai buruh penyadap karet.
Kadang ada juga penyesalan dari diri Syamsi. Mengapa dulu dia tidak nekad menyekolahkan anaknya di sekolah kedokteran. Biarlah dia jual sepetak tanah di belakang rumahnya itu. Atau dia gadai rumahnya. Tapi dia sadar. Percuma juga. Tanahnya paling laku beberapa juta dan rumahnya beberapa belas juta. Tanah itu tidak begitu luas. Hanya cukup untuk menanam lima belas batang duku. Sedangkan rumahnya sebetulnya tidak layak disebut rumah. Nama yang lebih tepat untuk rumah itu sebetulnya gubuk. Gubuk reot yang merusak pemandangan.
Jadi, kalaupun semuanya dia jual, anak Syamsi yang pintar bukan main itu juga tidak bisa disekolahkan menjadi dokter. Dia paham kalau biaya sekolah dokter itu mahal. Ratusan juta. Darimana dia dapat uang sebanyak itu. Keinginan jadi dokter tidak boleh ada di dalam benak orang-orang sepertinya. Kalaupun ada mesti dibuang jauh-jauh. Orang miskin dilarang jadi dokter. Orang kaya saja yang boleh sebab mereka punya duit yang melimpah.
Maka jadilah Syamsi kini hanya berangan-angan. Kalau saja dulu anaknya dapat sekolah di kedokteran sudah barang tentu kini dia tidak akan sepasrah itu. Anaknya pasti akan mengobatinya sampai sembuh. Penyakit paru-paru yang dia derita tidak bisa hilang dengan obat penurun panas atau diatasi oleh bidan. Dia harus dirawat oleh seorang dokter yang punya kemampuan khusus. Dokter yang tau seluk beluk paru-paru kemudian memberikan pertolongan yang pas untuknya. Tapi lagi-lagi, apalah daya. Itu semua hanya khayalan belaka. Anaknya tidak menjadi apa-apa selain penyadap karet seperti dia. Syamsi pun hanya berpasrah moga-moga malaikat maut datangnya cepat sebab rasa sakit yang dideritanya sudah sangat dahsyat. Badannya tak ubahnya seperti bangkai hidup gara-gara penyakit itu.
Sejak terbaring sakit selama lebih kurang dua tahun ini sudah tak terhitung Syamsi mendengar kata ‘sabar’ dari sanak keluarga atau dari orang yang berkunjung.
‘Sabar ya pak. Ini cobaan’
‘Sabar pak. Semoga penyakitnya cepat hilang’
‘Sabar pak. Nanti kita beli obat lagi ke ibu bidan’
Begitulah terus yang didengarnya. Bukan sekali dua. Berpuluh-puluh kali. Syamsi bahkan kini sudah bisa menebak kata-kata yang akan keluar dari orang yang menjenguknya. Pasti ada kata ‘sabar’nya.
Perkara sabar Syamsi tidaklah kurang. Sepanjang di bulan-bulan dia terbaring sakit Syamsi tidak pernah mengeluh. Semua keluh kesahnya dia pendam dalam hati. Tidak boleh ada yang tahu. Istri dan anaknya pun tidak. Bagi Syamsi tidak penting membuat orang sekitarnya sedih melihat nasibnya yang malang. Cuma menambah beban hidup orang lain.
Di suatu malam kala hujan tengah lebat-lebatnya, Syamsi merasakan sesak nafas yang begitu hebatnya. Waktu itu jam menunjukkan pukul 2 tengah malam. Istri Syamsi yang berbaring di sampingnya segera terbangun mendengar tarikan nafas Syamsi yang hilang timbul seperti suara kerbau yang dipotong lehernya. Minah, istrinya yang kurus kerempeng itu, segera mengambil minyak kayu putih kemudian mengusapi dada suaminya. Terus digosoknya minyak kayu putih itu dengan lembut berharap sesak nafas suaminya segera hilang.
‘Minah…aku rasa sebentar lagi aku akan pergi…’ kata Syamsi terputus-putus pada istrinya.
‘Jangan berkata begitu bang…’ Jawab Minah terisak.
‘Tidak Minah. Aku tidak sanggup lagi menanggung sakit ini. Sudah dua tahun aku begini. Lihatlah badanku. Tidak ada lagi berdaging. Tulang saja yang menyembul keluar…’
‘Tidak, Bang. Abang tidak boleh berkata demikian. Abang akan sembuh. Besok akan Aku panggil lagi ibu bidan…’ Tangis Minah semakin menjadi-jadi.
‘Jangan kau menangis, Minah. Tidak boleh menangis begitu..’ Dengan bersusah payah Syamsi mengangkat tangan kanannya dan menghapus air mata istrinya.
‘Minah…’ Lanjutnya terbata-bata. ‘Kita ini orang miskin. Tidak punya apa-apa buat berobat. Kalau kau panggil bidan lagi, percuma saja. Dia akan memberikan obat yang sama lagi. Obat yang dulu saja belum lagi habis olehku…’
‘Sudahlah..kita berpasrah saja. Orang miskin seperti kita memang dilarang berumur panjang. Menyusahkan saja. Membuat malu negara juga karena aku pasti memperpanjang daftar orang miskin di negeri ini. Biarlah aku mati saja. Biar tenang jiwaku. Kau juga tidak perlu lagi bersusah payah mengurusku…’
Syamsi terdiam sejenak. Minah masih tersedu-sedu. Beberapa detik kemudian Syamsi membuka mulut lagi. ‘Laaa ilaaaaha Illallah…Muhammmadurrr raaasuuluuullah’ Nyawa Syamsi menghilang di depan Minah.
Seketika itu juga masyarakat desa Suka Miskin berdatangan. Masing-masing membawa beras beberapa canting untuk meringankan beban Minah. Sedang Minah sendiri masih terduduk membisu. Matanya merah, bengkak karena menangis. Pikirannya berkecamuk. Dia merasa belum siap untuk menghidupkan keluarganya. Putra sulungnya tidak lagi menyadap karet karena kebun di belakang rumahnya sudah terjual buat ongkos berobat Syamsi selama ini.
Minah sendiri sebetulnya bisa menyadap karet orang lain. Tapi tubuhnya tidak kuat lagi. Barangkali karena usianya yang sudah mendekati enam puluh tahun. Lagipula kaki Minah tidak sanggup lagi berjalan jauh apalagi naik turun bukit di kebun karet. Sudah setahun ini lutut Minah bengkak oleh sebab penyakit yang tidak dia ketahui. Bidan yang memeriksanya pernah bilang kalau itu akibat kelelahan. Tapi kian hari bengkak di lututnya kian besar. Rasa nyeri dari bengkak itu pun semakin menjadi-jadi.
‘Apa yang mesti aku perbuat, Tuhan…? Haruskah aku menyusul suamiku agar hilang semua penderitaan ini? Tuhan, jika memang kau berkenan, kirimkanlah malaikat mautmu kepadaku. Cabut nyawaku ini. Biar aku istirahat saja di dalam tanah. Tak sanggup lagi aku menanggung hidup begini’ Minah membatin. Matanya semakin basah.
Ayam berkokok, burung bercuit-cuit, dan matahari telah muncul. Mayat Syamsi pun sudah siap untuk dikebumikan. Sementara itu di televisi orang-orang politik berdebat tentang kesejahteraan rakyat. Begitu juga dengan baliho-baliho yang tercancang di muka rumah Syamsi. Semuanya dipenuhi dengan wajah berhiaskan senyum lebar. Pada salah satu baliho itu tertulis ‘Selalu berjuang untuk rakyat kecil’.
Comments
Post a Comment