Benalu Dalam Tubuh Demokrasi di Indonesia

Indonesia akan mengadakan pemilukada serentak tanggal 15 februari 2017 nanti. Untuk meramaikan bursa pemilihan, beberapa pasang calon sudah mendaftarkan diri ke KPU termasuk calon gubernur dan wakil gubernur yang akan bertarung di Jakarta. Sudah dipastikan bakal ada tiga pasang calon yang maju: Agus Harimurti dan Sylviana Murni, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno, serta gubernur DKI saat ini, Ahok yang menggandeng Djarot Saiful Hidayat sebagai wakilnya.

Sementara itu, lebih dari seribu kilometre dari Jakarta, seorang pemuda bernama Andra bergegas memacu sepeda motornya. Tujuan pemuda pengagguran itu adalah ibu kota kabupatennya, Tebo, untuk meramaikan proses pendaftaran calon bupati yang akan maju pada pemilukada 2017 nanti. Di Tebo Andra sudah ditunggu oleh beberapa temannya yang lain yang berprofesi sama dengannya, pengangguran.

Maksud utama kehadiran Andra dan teman-temannya bukan semata-mata untuk menyaksikan pendaftaran calon bupati secara langsung. Ada motivasi lain yang mendorong mereka yaitu mengharapkan percikan rupiah dari para calon. Benar saja, sepulang dari Tebo, masing – masing mereka mengantongi rokok satu bungkus dan minyak bensin beberapa liter.  

Cerita seputar Andra dan kawan-kawannya diatas adalah potret demokrasi di Indonesia yang sampai saat ini belum bisa dijalankan sebagaimana mestinya. Gaung seputar Andra memang tidak selantang hiruk pikuk pencalonan gubernur DKI atau dinamika politik di ibukota. Tapi harus diakui, demokrasi di daerah dipraktekkan sedikit agak berbeda dengan yang diterapkan di Jakarta.

Di berbagai daerah di Indonesia, masa menjelang pemilihan kepala daerah masih dipandang banyak kalangan sebagai kesempatan emas untuk meraup untung dengan cara mendesak para calon memenuhi permintaan-permintaan mereka. menanggapi hal ini para calon tidak punya pilihan selain memenuhi permintaan tersebut sebab jika mereka menolak maka besar kemungkinan mereka tidak akan dipilih.

Naasnya, Andra tidak sendiri. Banyak Andra-Andra lainnya yang tersebar di seluruh pelosok negeri. Mereka merapat kepada calon penguasa daerah dengan beragam intrik dan motif. Ada yang intriknya hanya mengharapkan sebungkus rokok dan beberapa liter bensin sebagaimana yang dilakukan oleh Andra dan teman-temannya, ada juga yang berpikiran lebih jauh menjalin hubungan demi prospek kerja di masa depan. Mereka berharap apabila kepala daerah yang mereka dukung menang, mereka bisa ditempatkan oleh sang pemimpin baru di berbagai instansi pemerintahan yang berada dibawah naungan pemerintah daerah.

Fenomenan ini tentu tidak terjadi begitu saja. Ada alasan kuat dibelakangnya yaitu masih sempitnya lapangan pekerjaan di daerah-daerah. Mayoritas daerah di Indonesia saat ini belum mampu menampung membludaknya sarjana-sarjana yang pulang kampung selepas meyelesaikan studi mereka di kota. Alhasil, tiap tahunnya jumlah pengangguran terdidik di Indonesia terus meningkat tanpa bisa dibendung lagi.[1]

Membanjirnya pengangguran terdidik juga disebabkan oleh ketimpangan persebaran lapangan pekerjaan di Indonesia yang masih terpusat di Jawa dan Bali.[2] Lapangan pekerjaan yang tersedia di banyak daerah di Indonesia pun masih terbatas pada sector informal seperti pertanian, perkebunan, dan instansi-instansi pemerintahan seperti sekolah, rumah sakit, atau kantor-kantor pemerintah daerah. Sektor lain yang digerakkan oleh swasta seperti perusahaan-perusahaan besar masih terpusat di kota-kota besar seperti Jakarta atau Medan.

Maka masuk akal memang, mendekat kepada penguasa adalah pilihan yang logis yang dapat dilakukan oleh banyak pengangguran terdidik dalam rangka mengamankan masa depan kehidupan mereka. Sayangnya, praktek seperti ini tidak hanya mengurangi kualitas tenaga kerja sebab perekrutan bukan berdasarkan asas meritokrasi, tetapi yang paling penting adalah hal ini mencederai demokrasi. Walhasil, tidak berlebihan bila menyebut bahwa demokrasi menjadi korban dari tidak meratanya persebaran lapangan pekerjaan ini.

Dengan bergulirnya Pemilukada serentak sedikit membuat banyak pengangguran terdidik di daerah menarik nafas lega. Mereka yang menganggur memiliki kesempatan untuk direkrut selama beberapa bulan oleh pemerintah untuk dijadikan sebagai panitia pengawas lapangan (PPL), Panitia pengawas kecamatan (Panwascam) dan panitia pengawas pemilu (Panwaslu). Meski demikian, kisaran gaji yang mereka peroleh masih terlalu rendah yaitu antara 600.000 rupiah sampai 1.500.000 rupiah per bulan.[3]

Walaupun begitu, tetap saja Indonesia masih terbebani oleh mahalnya biaya pemilihan kepala daerah di Indonesia. KPU melaporkan bahwa antara 2010-2014 biaya yang dikeluarkan negara untuk mengongkosi pilkada mencapai 15 triliun rupiah. Salah satu komponen biaya yang membuat pemerintah keteteran adalah panitia pengawas pemilu.[4] Tentu ini bukanlah berita bagus untuk Indonesia dalam menyongsong pemilukada serentak 2017. Terlebih lagi keuangan Indonesia saat ini sedang tidak sehat karena APBN Indonesia untuk tahun 2016 mengalami deficit.[5]

Mahalnya ongkos pemilihan kepala daerah dengan system terpisah menjadi alasan utama diadakannya pilkada secara serentak dengan harapan pemilukada serentak akan memangkas biaya penyelenggaraan. Namun yang terjadi justru kebalikannya. Pemilukada serentak ternyata memakan lebih banyak rupiah dari system pilkada sebelumnya.[6]

Maka tak heran desakan untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah ke tangan anggota DPR terus bergulir dengan segala potensi tantangan dan rintangannya. Mesti diakui, mengingat massifnya praktek politik transaksional antara calon kepala daerah dan para konstituen, solusi pemilihan kepala daerah kembali ke DPR bisa diterima. Paling tidak, dengan begitu keuangan negara bisa sedikit tertolong dan anggaran untuk pemilukada langsung yang jumlahnya tidak sedikit itu bisa dialihkan ke penciptaan lapangan pekerjaan bagi para penganggur terdidik yang tersebar di daerah-daerah di Indonesia. Atau bisa juga dana itu digunakan untuk membantu mereka membuka bisnis sehingga dapat menciptakan lapangan pekerjaan bagi yang lain. Hal ini dikarenakan para penganggur terdidik di Indonesia, dalam membuka bisnis masih terkendala di modal awal. Tentu merupakan angin segar bila pemerintah mau mengulurkan tangan untuk membantu mereka.

Pemilukada Jakarta akan terus bergema di seantero penjuru Indonesia. Kasak-kusuknya tidak akan reda sebab memang posisi Jakarta sangat strategis sebagai ibukota negara Indonesia. Sementara itu, orang-orang seperti Andra juga akan terus menggenjot kedekatan mereka kepada para calon penguasa daerah. Pergerakan mereka tak terdengar lantang, tenggelam oleh hiruk-pikuk perpolitikan di ibukota. Namun, efek dari aktifitas politik mereka berakibat fatal bagi demokrasi bak benalu yang wujudnya terlihat kecil, tapi secara perlahan mematikan pohon yang mereka tempati. Indonesia mesti membersihkan benalu-benalu ini demi kebaikan demokrasinya sendiri.

Comments