Jalanan dimukaku masih lengang. Belum banyak
kendaraan lalu lalang. Diatas sana burung-burung terbang bebas kesana kemari
sambil bersahut-sahutan. Kicauannya terdengar seperti sepasang kekasih yang
sedang berbalas pantun tentang cinta. Kedua tanganku yang berpenampilan
seperti penjaga gawang sepak bola bersembunyi di dalam kantong jaket mencari kehangatan.
Leherku terlilit sorban biru merah dengan dua lapis baju dibawahnya. Di ufuk
timur sang surya terlihat masih malu malu untuk menampakkan wujud. Angin
bertiup sepoi-sepoi menusuk hingga ke sum-sum. Arizona bersiap menyambut tamu
tahunannya, musim dingin.
Aku tundukkan kepala ke lengan kiriku
yang dililit arloji merek Q&Q. Jangan tanyakan padaku apa kepanjangannya
atau dari negeri mana ia berasal karena aku juga tidak paham. Yang pasti, di pagi
yang udaranya laksana kulkas ini kacanya berembun dengan buliran-buliran air di
dalamnya. Mungkin sisa kena hujan tadi malam. Atau karena keseringan kumandikan
ketika berwudhu. Entahlah. Bola mataku menyelinap di sela-sela butiran-butiran
sumber kehidupan yang salah tempat itu. Satu jarumnya mengekor diantara angka 5
dan 6 sedangkan saudara tuanya memimpin di angka 6. Kusimpulkan aku memang
kepagian.
Jam tangan yang aku beri nama si hitam
ini memiliki riwayat yang patut untuk dikenang. Disamping statusnya sebagai jam
tangan pertama yang aku pakai di usia dewasa, tempat akuisisinya pun jauh dari
Jambi. tepatnya di Kota Makassar. Kala itu aku lagi mondar-mandir di depan
kedai-kedai pasar malam dalam lingkungan kampus Universitas Muslim Indonesia.
Kampus UMI memang dipenuhi para pedagang sejak beberapa malam sebelumnya
mengingat acara Musabaqah Tilawatil Quran tingkat mahasiswa sudah mendekati
detik-detik akhir. Para pedagang menjual berbagai macam barang, dari gantungan
kunci khas MTQ sampai handuk dan baju batik yang tidak ada hubungan sama sekali
dengan ajang tahunan mahasiswa ini. Pedagang memang kreatif dan oportunis dalam
mengumpulkan rupiah. Semangat ini tertulis jelas di sebuah baju kaos khas Ranah
Minang yang pernah kulihat “dimana bumi dipijak, disitu pitih mangalia” alias dimana bumi dipijak disitulah uang mengalir.
Cerdas.
Aku mampir ke sebuah kedai baju batik
khas Solo dengan harapan kudapatkan satu yang bagus buat ayahku. Tengah
asyiknya membongkar tumpukan baju aku dibuat penasaran oleh kedai sebelah kiri
sana. Terdapat banyak orang setengah rukuk mengerumuni seorang pedagang.
Setelah kupandangi dengan teliti melalui sela-sela tubuh yang tengah terbungkuk
itu tertebuslah rasa penasaranku. Ternyata sang pedagang menjual jam tangan.
Karena tidak mau ketinggalan aku langsung meraih satu batik berwarna hijau lalu
membayarnya.
Aku bangkit dan bergegas mendatangi
kerumunan itu. Ada juga sisi positif dari tubuh kurusku yang selalu menjadi
keluhan orang-orang karena tak berdaging. Setidaknya malam ini. Tanpa halangan
berarti badan tipisku dapat dengan mudah menyelinap ke dalam dan berada di
garda terdepan. Tepat di hadapan si pedagang. Sang pedagang sedang komat-kamit penuh
semangat memuji koleksi jam tangannya. Dibantu dengan sebuah mikrofon yang
berbungkus kain hitam, nada suaranya terdengar lantang. Mendayu-mendayu khas
Sumatera, tepatnya Sumatera Barat.
Kupelototi jam tangan berbagai merek yang
berjejer didepanku satu persatu. Semuanya bagus dan mengkilap. Ditengah
keraguan, kutetapkan pilihan kepada sebuah arloji hitam yang duduk manis di
barisan nomor dua dari bawah. “yang itu berapa pak?” tanyaku sambil mengarahkan
telunjuk ke target. “Oh kalau yang ini mahal. Anti air soalnya” si bapak tampak
agak bersusah payah merengkuh arloji yang kumaksud sebelum menyodorkannya kepadaku.
“yang ini kalau kena hujan tidak mati. Bisa juga dibawa berwudhu tanpa harus
dilepas” ujarnya dengan menunjuk-nunjuk kaca si hitam. Nada suaranya sangat
meyakinkan. Agaknya si bapak sangat berpengalaman dalam membaca raut muka
pelanggan. Diambillah segelas air dari balik barang dagangannya yang memang
telah disiapkan untuk situasi seperti ini. “ini saya celupkan ya” tanpa ragu dia
memasukkan si hitam kedalam gelas. “Tu kan tidak mati?” tambahnya dengan
ekspresi wajah seorang prajurit yang menang perang. Tidak lama memang si hitam
tercebur, hanya beberapa detik saja. Tapi itu sudah cukup meyakinkanku akan
ketangguhannya. Setelah tawar menawar harga akhirnya sepakatlah kami pada satu
angka. Aku keluarkan selembar kertas biru bergambar I Gusti Ngurah Rai dan Pura
Ulun Danu Bratan di kedua sisinya dari dompet kulit merek Levi’s 501 yang tempo hari Aku beli di pasar loakan sebagai penebus
si hitam. Nominal 50.000 itulah yang menyatukanku dengan si hitam hingga kini.
Hawa Kota Tempe terasa kian kejam.
Seumur-umur belum pernah aku merasakan dingin seperti ini. Mungkin inilah
alasan mengapa orang-orang yang tinggal di bagian paling utara dan selatan
planet bumi menganggap musim dingin sebagai musim yang kurang menyenangkan. Di
musim dingin mereka harus berpakaian super tebal lengkap dengan sepatu kulit,
sarung tangan, syal, dan penutup kepala. Aktifitas di luar rumah pun terpaksa
harus dikurangi. Maka tak heran jika banyak turis-turis yang suka berjemur di
pantai-pantai menikmati hangatnya sang mentari. Suatu kebiasaan yang dianggap
tidak wajar bagi sebagian orang-orang dari negara beriklim tropis.
Kudongakkan kepala lalu kuhembuskan
nafasku ke udara. Karbondioksida yang keluar dari rongga mulutku terlihat
seperti asap. Persis seperti yang selama ini kulihat di film-film. Kuulangi
lagi beberapa kali. Ada kenikmatan tersendiri melihat kepulan-kepulan putih
yang dihasilkannya. Sebuah sensasi yang semula hanya ada dalam mimpi.
Tengah asyiknya bermain-main dengan asap
buatanku, aku merasa ada kehadiran sesuatu. Tepatnya di belakangku. Kuputarkan
kepala untuk memastikan firasat ini. Benar saja. Sesosok makhluk Tuhan bertubuh
mungil sedang berdiri kira-kira satu meter dari tempat aku duduk. Mataku liar
meneliti perawakannya yang masih samar karena ditutupi kabut pagi. Ternyata dia
seorang wanita paruh baya. Dari postur badannya tampak jelas kalau dia berasal
dari daratan yang jauh dari Amerika, Asia. Mungkin dari Filifina. Si ibu tampak
kedinginan. Tepatnya menggigil. Disilangkannya kedua tangannya yang juga
terbungkus di dada. Jaket tebal yang dia pakai seolah tak kuasa membentenginya dari
serangan kejam angin Kota Tempe. Kulemparkan senyum kecil kearahnya. Dia pun
membalas.
Sepasang sinar lampu terlihat samar menerobos
gelap merayap perlahan ke arahku. Raungannya merengek sendu seperti anak kecil
kehilangan mainan. Seketika sebuah benda panjang tiga pintu bertuliskan Valley Metro di badannya berhenti tepat
dihadapanku. Bus yang sedari tadi aku tunggu-tunggu datang juga. Sesuai jadwal
yang ditempel di tiang di belakang tempat aku duduk, bus ini on time. Pas tibanya jam 6.30. Tidak
kurang tidak lebih.
Aku sandang kembali tasku ke bahu
bergegas berjalan menuju pintu terdekat. Pintu tengah. Sedangkan ibu tadi
memilih masuk melalui pintu depan. Kuulurkan kedua tangan ke muka untuk membuka
pintu bus. Keras. Kucoba lagi dengan dorongan yang lebih kuat. Tetap tidak
berhasil. Kali ini aku tekan dengan segenap kekuatan. Namun gagal lagi. Antara
pasrah dan penasaran aku mundur beberapa langkah ke belakang. Kulemparkan
pandangan ke dalam bus mencari jawaban.
Beberapa orang di dalam bus terlihat
memaju mundurkan telunjuk. Isyarat mereka cukup jelas untuk aku tangkap. Mereka
seolah berkata agar aku masuk lewat pintu depan. Tanpa pikir panjang aku pun
menuju pintu paling muka. Kembali cara tradisional membuka pintu dengan cara
mendorong kupraktekkan. Persis seperti yang aku lakukan sebelumnya. Namun kali
ini harapanku pintunya tidak macet seperti pintu tengah tadi.
Mujur tak dapat di raih malangpun tak dapat ditolak. Usahaku membuka pintu
berakhir sia sia. Yang ada aku jatuh tertelungkup. Rupanya pintu bus ini pintu
otomatis. Bisa terbuka sendiri. Aku tidak perlu mendorongnya kedalam agar bisa
masuk.
Kudengar cekikikan tawa menggema. Tak
sanggup rasanya mengangkat muka yang terlanjur malu. Namun mustahil pula
selamanya tersungkur disini. Dengan susah payah kucoba tegak. Kukibas-kibaskan
baju dan celana tanpa alasan yang jelas. Mungkin sudah terlalu grogi sehingga
tidak tau lagi harus berbuat apa. Tak lupa kutawarkan senyum hambar kepada pak
supir sebelum merangsek ke lorong bus mencari tempat duduk yang kosong.
Aku duduk dibangku nomor dua dari depan leretan
sebelah kiri. Sengaja kupilih bangku ini walaupun banyak tempat duduk lain yang
kosong. Tujuanku jelas. Aku menghindari duduk di belakang khawatir kalau kalau
ada yang bertanya dari negara mana aku berasal.
Riuh tawa tadi telah musnah. Orang-orang
disekitar tempat dudukku pun tidak lagi melirik geli. Kusandarkan punggungku di
kursi bus yang empuk. Lega rasanya. “Pak supir ayo kita berangkat ke kampus
Arizona State University!” aku memberikan komando dari dalam hati.
Belum lagi hilang dengung bisik
perintahku, pak supir yang berkumis tebal dengan kaca mata hitamnya itu
bersuara. Tidak jelas apa yang diucapkannya. Hanya orang-orang disekitarku
kembali mendorong-dorong telunjuknya ke depan.
“Ada apa lagi ini ya?” aku bingung tak
karuan. Dengan perasaan gugup plus penasaran aku tinggalkan kursi empuk tadi.
Kupaksakan kakiku melangkah ke depan menemui pak supir. “Where’s your card” sergapnya
dengan gaya bicara bak seorang polisi. “card?” balasku cemas. “yes, your card!”
tangan kanannya terlihat seperti memegang sesuatu yang dikibas-kibaskan ke
udara.
Karena aku tidak tahu kartu apa yang
dimaksud oleh pak supir, aku keluarkanlah dompet tahan bakarku. Aku ambil
segepok kartu nama koleksiku. Termasuk beberapa kartu yang diberikan oleh Amy
Jordan, koordinator program beasiswaku kemarin. “I’ve got lots of cards and I
don’t know which one you meant” aku menyodorkan semua kartu itu kehadapannya.
Dengan liar matanya memelototi kartu yang ku tebar satu persatu. “That one!”
telunjuknya mengarah ke sebuah kartu warna krem dengan gambar kaktus khas Arizona
di tengahnya. Tanpa banyak bacot lagi langsung saja kusodor kartu itu.
Anehnya pak supir itu tidak mau
menerimanya. Sebaliknya dia menyuruhku untuk memasukkan kartu itu ke dalam
sebuah kotak besi berbentuk segi empat panjang yang berdiri disampingku. Makin
bingung aku jadinya. “put it in there” perintahnya. Namun tak ku gubris.
Bukannya bangkang. Aku betul-betul tidak tahu mengapa dan bagaimana kartuku
harus dimasukkan ke dalam kotak besi penuh tombol itu. Akhirnya dengan wajah
memelas tanda menyerah aku sodorkan kembali kartuku kepadanya. Untunglah
ternyata pak supir kasihan juga denganku. Diambilnya kartuku dan dimasukkan
olehnya ke dalam kotak segi empat itu. Terlihat olehku kotak tersebut menelan
kartuku. Berderit-derit bunyinya. Untunglah mesin itu tidak menelannya permanen
sebagaimana yang dilakukan oleh sebuah ATM kepada kartu tanda mahasiswaku dulu.
Mungkin trauma itulah yang membuatku menjadi bahan tertawaan lagi di bus ini.
Mesin itu sudah memuntahkan kembali
kartu yang masuk ke perutnya tadi. Kartuku masih utuh. Pertanda mesin itu tadi
tidak bermaksud jahat. Pak supir yang sedari tadi sudah tidak sabar menginjak
pedal gas berucap kepadaku. “Do you ever ride the bus before?” dengan penuh
rasa terima kasih kujawab “no sir, thank you very much for your help” bus pun mengeluarkan
aumannya kembali bergerak menyusuri jalanan Kota Tempe yang mulai dipadati
kendaraan.
Comments
Post a Comment