"How’s this
for a selfie! Londoners of all faiths and backgrounds celebrating Eid in
Trafalgar Square." Cuit Sadiq Khan, walikota London, di akun Twitternya
lengkap dengan foto selfie bersama seorang presenter TV kawakan, Konnie Huq.
Sadiq Khan bersama
ribuan manusia lainnya pada tanggal 9 Juli lalu memadati Trafalgar Square untuk
berbagi kebahagiaan hari raya umat Islam, Idul Fitri. Untuk menambah
kemeriahan, festival Idul Fitri di Trafalgar Square juga diisi dengan beragam
kegiatan. Ada penampilan music, festival makanan, bazar, pameran seni, dan
berbagai aktifitas untuk anak-anak.[1] Eid
Festival di Trafalgar Square tidak hanya diikuti oleh umat Islam saja tetapi
juga orang-orang dengan latar belakang yang berbeda. Semuanya tenggelam dalam
tawa tak peduli agama dan kepercayaan apa yang mereka anut.
Idul Fitri memang
momen berbagi kebahagiaan dalam tradisi umat islam. Namun sayangnya, tidak
semua umat islam bisa merayakan Idul Fitri dengan penuh canda tawa layaknya
mereka yang di Trafalgar Square. Di belahan bumi lain, yaitu di Yaman, jutaan
warga disana masih bergelut dengan banyak persoalan hidup yang getir akibat
dari konflik yang belum juga usai.
Senyum rakyat Yaman
semakin kecut sejak tahun 2014 tepatnya pasca konflik antara Abdrabu Mansur
Hadi, presiden sementara Yaman, dan para pemberontak The Houthi atau Ansarullah
semakin menjadi-jadi. Saat itu para pemberontak The Houthi menolak keputusan
Mr. Hadi umembagi Yaman kedalam enam negara federasi.[2] Perang
pun tak bisa dihindari.
Ada terlalu banyak
pihak yang saling sikut di Yaman. Rombongan pemberontak The Huthi yang
berhaluan Syiah Zayidism bersekutu dengan mantan presiden Yaman, Ali Abdullah
Saleh. Lawan mereka adalah koalisi militer pimpinan Arab Saudi yang
beranggotakan United Arab Emirates, Egypt, Bahrain, Kuwait, Qatar, Morocco,
Jordan dan Sudan. Amerika Serikat dan Britania Raya sendiri berperan sebagai
penyedia informasi intelijen dan logistic bagi koalisi militer ini.[3]
Para begundal
perang diatas membombardir sekolah-sekolah, menghancurkan rumah sakit,
memporak-porandakan perumahan warga, mengacaukan pasar, dan bahkan merubah
rumah-rumah ibadah menjadi puing-puing. Peduli apa mereka dengan kehidupan
rakyat Yaman. Kepentingan mereka jauh lebih berharga dari apapun.
Sebagaimana yang
telah disaksikan oleh sejarah, perang selalu merugikan mereka yang tidak ikut
andil. Dalam konteks Yaman, pihak yang dirugikan tentu saja rakyat jelata. Mereka
yang tidak punya kepentingan apa-apa selain hidup rukun damai di tanah
kelahiran mereka sendiri harus terusir gara-gara perang. UNHCR melaporkan, per
30 Juni 2016 terdapat 178.280 orang yang terpaksa meninggalkan Yaman untuk
menghindari konflik yang tak berkesudahan itu.[4] Data
yang dirilis oleh Amnesty International lebih banyak lagi yaitu 2.4 juta.[5] Manusia-manusia
tak bersalah ini lari menyelamatkan diri ke berbagai negara di Timur Tengah dan
Afrika Timur. Oman, Arab Saudi, Djibouti, Somalia, Ethiopia, dan Sudan adalah
diantara negara yang sejauh ini menjadi tujuan utama pengungsian mereka.[6]
Para pengungsi
Yaman tidak banyak yang menyelamatkan diri ke negara-negara eropa sebagaimana
yang dilakukan oleh pengungsi dari Suriah. Alasannya adalah jarak antara Yaman
dan benua eropa terlalu jauh berbeda dengan Suriah yang berbatasan langsung
dengan Turki. Perjalanan jauh beribu-ribu kilometer tentu saja beresiko. Tidak
itu saja, melarikan diri ke Eropa membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Tiket
pesawat yang seharga ratusan poundsterling hamper mustahil terbeli oleh
masyarakat Yaman yang 47 persennya hidup dengan uang kurang dari $2 per hari.[7]
Meskipun ada
beberapa diantara mereka yang berhasil mencapai negara eropa, tetapi kebanyakan
masih terdampar di Yunani. Itupun dengan nasib yang belum jelas. Pindah ke
negara eropa lainnya mengikuti jejak pengungsi yang berasal dari Suriah masih
terhalang oleh kebijakan bagi-bagi pengungsi negara Eropa. Banyak negara eropa
yang hingga kini terlihat enggan untuk menambah kuota pengungsi dengan berbagai
macam pertimbangan.[8]
Alhasil, pengungsi Yaman yang ada di Yunani dihadapkan dengan pilihan sulit:
tetap tinggal di Yunani atau kembali ke kampong halaman di Yaman.
Kedua pilihan ini
memiliki resiko yang pahit. Menetap di Yunani sama saja bersiap-siap menjadi
gelandangan dengan status pengangguran. Sudah bukan rahasia lagi kalau
pemerintah Yunani telah lama berjibaku dengan krisis ekonomi yang membuat
mereka tidak bisa menyediakan tempat tinggal layak huni atau lapangan kerja
yang memadai untuk para pengungsi. Memberikan pelayanan yang baik kepada rakyat
Yunani saja mereka keteteran apalagi harus menyediakan sumber penghidupan baru
bagi para pengungsi.
Opsi kedua, yaitu kembali
ke Yaman, sama saja dengan menyerahkan diri hidup-hidup. Cepat atau lambat
mereka akan mati tertembus peluru atau hancur tertimbun reruntuhan bangunan
akibat hantaman rudal yang bisa datang kapan saja. Nyawa mereka tidak ada
harganya bagi para begajul-begajul perang itu. Sudah lebih dari 3000 kepala
yang menjadi korban keganasan mereka termasuk 700 diantaranya adalah anak-anak.
Tidak cukup sampai disitu, saat ini 83% rakyat Yaman sangat membutuhkan bantuan
kemanusian seperti makanan, air, tempat tinggal, dan sanitasi.[9] Fakta ini
tentu saja jauh dari kata menyenangkan bagi pengungsi Yaman untuk kembali ke
kampong halaman mereka.
Rakyat Yaman saat
ini memliki ‘peluang’ mati secara perlahan dan kemiskinan absolut yang sangat
tinggi buah dari perang yang melanda negeri di selatan jazirah Arab itu. Yaman
adalah negara yang menempati urutan ke
11 sebagai negara yang paling tidak aman dalam hal makanan yang membuat satu
dari tiga warga Yaman hidup dalam keadaan lapar yang akut. Mereka tidak
memiliki akses ke makanan bernutrisi apalagi gaya hidup yang sehat.[10] Nasib
anak-anak Yaman pun tidak begitu baik. Separoh anak di Yaman kurang gizi dimana
kurang dari 1 dari 10 anak yang berhasil mencapai usia 5 tahun.[11] Bila
para pengungsi-pengungsi tadi banyak yang memutuskan kembali ke Yaman, sudah
bisa dipastikan jumlah manusia yang hidup dalam kelaparan disana akan
bertambah.
Euforia perayaan
Idul Fitri di Trafalgar Square boleh saja menggema hingga ke langit. Mereka
yang hadir pun tidak dilarang untuk menikmati tiap-tiap makanan dan hiburan
yang tersedia. Tapi satu hal yang perlu sama-sama kita perhatikan, yaitu Idul
Fitri tahun ini tidak bisa dirayakan secara meriah di Yaman. Masyarakat Yaman
tidak bisa menikmati Idul Fitri layaknya kita disini. Konflik yang melanda
negara mereka membuat mereka terpaksa untuk berlebaran dalam intaian maut dan
hujan peluru.
Perdamaian di Yaman
harus menjadi agenda serius pemerintah dunia. Walaubagaimanapun, Rakyat Yaman
berhak untuk merayakan Idul Fitri dengan luapan canda tawa layaknya mereka yang
hadir di Trafalgar Square.
Comments
Post a Comment