Murid Terbaik itu Bernama Ahmed

Bus yang tadinya melaju kencang perlahan melambat kemudian menepi untuk mencari pemberhentian. Kami membuka mata dan memulihkan pikiran. Pemandangan menakjubkan pegunungan Atlas dengan warna-warni bunga liar yang berbaris dilereng dan lembahnya sepertinya telah berhasil membuat kami larut hingga tanpa sadar kami tertidur pulas. Sungai jernih yang mengalir pelan dan hembusan angin segar khas dataran tinggi semakin menenggelamkan kami ke dalam mimpi indah yang seolah tiada akhir.
We’ve arrived,’ sahut seorang pria sembari membuka pintu mobil. Dengan ramah dia mengisyaratkan seluruh penumpang untuk turun. Pria itu adalah Mustofa, supir kami. Seorang laki-laki Arab usia 30 tahunan, berkumis tipis, jenggot klimis, hidung mancung, dan rambut keriting. Bahasa inggrisnya sangat kental dengan aksen arab. Terdengar jelas ‘R’ khas bahasa Arab ketika dia menyebut ‘arrive’.
Di luar bus, matahari menyengat kejam membakar sekujur tubuh. Angin yang berhembus pun terasa seperti hawa panas yang keluar dari kawah gunung. Di sekitar kami semua gedung berpenampilan serupa. Semuanya berwarna kuning gelap. Persis sama dengan warna tanah yang ada di bawahnya. Suasana sepi senyap. Tak ubahnya seperti perkampungan tak berpenghuni.
Di sebelah Mustofa berdiri seorang laki-laki berkulit gelap dengan topi ala koboy di kepalanya. Dia tersenyum menyambut kedantangan kami. ‘This is Ahmed, your tour guide,’ sahut Mustofa sebelum kembali ke dalam bus.
Ahmed memperkenalkan dirinya dalam bahasa Inggris yang menurutnya ‘not really good but better than nothing’. Tapi menurut kami bahasa inggris Ahmed sangat komunikatif. Ahmed adalah seorang Berber yang tinggal di sekitar Ait Ben Haddou, tempat bersejarah yang akan kami kunjungi.
Ahmed membawa kami memasuki gerbang Ait Ben Haddou yang terbuat dari tanah liat. Di sisi kiri dan kanan gerbang berdiri kokoh dua menara. Puncak menara itu berbentuk kepingan tetris, gaya arsitektur khas suku Berber.
Sembari berjalan di dalam lingkungan Ait Ben Haddou, Ahmed menjelaskan beberapa tanaman yang tumbuh di sepanjang tepi jalan. Ada tanaman olive, kurma, eucaliptus, bambu, dan jeruk. Semuanya Ahmed paparkan dengan rinci termasuk hubungan suku Berber dengan tanaman-tanaman tersebut. Sepanjang sejarah, suku Berber di sekitar Ait Ben Haddou telah menjadikan tanaman-tanaman tersebut sebagai sumber mata pencaharian. Tanaman-tanaman itu juga digunakan oleh suku Berber untuk mengobati berbagai macam penyakit. Semua pengetahuan ini Ahmed peroleh dari nenek moyangnya bukan dari bangku sekolah.
Dua orang dari turis yang ikut tur bersama-sama kami terlihat bingung. Rupanya mereka tidak menangkap semua informasi yang diberikan oleh Ahmed karena kendala bahasa. Dengan sigap Ahmed mendatangi turis asal Perancis itu dan mengulangi lagi apa yang disampaikannya dalam bahasa Perancis.
Kami melanjutkan perjalanan menuju lereng bukit tempat bangunan utama Ait Ben Haddou tersusun. Ait Ben Haddou terletak di provinsi Ouarzazate, daerah selatan Maroko. Bangunan-bangunannya bergaya tradisional khas arsitektur masyarakat pre-Sahara. Bangunan-bangunan itu dikelilingi oleh dinding pertahanan dengan menara-menara yang menjulang tinggi di beberapa sudutnya.[1]
Ait Ben Haddou juga disebut ksar, yaitu kota yang berada di dalam benteng. Ait Ben Haddou sendiri adalah contoh ksar yang terbaik sebab ia telah berdiri sejak abad ke-17 dan seutuhnya dibuat dengan menggunakan bahan organik lokal dengan campuran plaster lumpur merah.[2]



Daftar film yang dibuat di sana.

Lokasi tempat Ait Ben Haddou berdiri dulunya berfungsi sebagai rute perdagangan yang menghubungkan Sudan dan Marrakesh melalui lembah Dra dan Tizi-n'Telouet Pass.[3] Jadi boleh dibilang Ait Ben Haddou cukup penting posisinya dan maju peradabannya di masa silam.
UNESCO secara resmi mengakui Ait Ben Haddou sebagai warisan dunia pada tahun 1987. Pengakuan ini membuat pesona Ait Ben Haddou semakin mengkilap setelah sebelumnya Ait Ben Haddou dijadikan lokasi shooting beberapa film ternama. Hingga saat ini tak kurang dari 78 judul film termasuk serial TV dan film dokumenter yang menggunakan Ait Ben Haddou sebagai lokasi syuting.[4] Efek dari semua ini adalah semakin membanjirnya para pelancong baik yang datang dari daerah lain di Maroko maupun dari luar negeri. Orang-orang lokal seperti Ahmed juga kebagian percikan berkahnya. Mereka bisa mengais rezeki dengan menggeluti beragam profesi seperti berdagang suvenir, restoran, hotel, dan tentu saja pemandu wisata.
Ait Ben Haddou yang dibangun di lereng bukit dan bentuk bangunan yang saling berdekatan membuat kami takjub betapa orang Berber sangat menjunjung tinggi nilai kebersamaan. Rumah-rumah mereka tidak ada yang berpagar. Semuanya dibiarkan begitu saja sehingga setiap orang bisa dengan leluasa berkunjung. Yang paling menarik perhatian kami adalah di dalam Ait Ben Haddou terdapat masjid dan synagogue yang posisinya tidak berjauhan. Hanya berjarak beberapa bangunan saja. Mengingat tata letak bangunan yang berdampingan, tak salah rasanya bila kami berasumsi bahwa masyarakat kota ini dulunya hidup rukun damai. Muslim dan yahudi tinggal berdampingan dan saling pengertian tanpa ada tembok besar yang memisahkan mereka.
Di sekitaran synagogue Ahmed membiarkan kami sibuk dengan diri masing-masing untuk mengambil foto tempat-tempat bagus atau sekedar menawar karya seni lukisan suku Berber. Ahmed sendiri sibuk berbincang dengan beberapa pedagang. Bahasa yang dia gunakan berganti-ganti. Kadang bahasa Arab dan kadang bahasa suku Berber.
Ahmed terus membawa kami hingga ke puncak bukit untuk melihat panorama keindahan Ait Ben Haddou dari atas. Setelah itu kami turun menuju restoran yang lokasinya tak jauh dari Ait Ben Haddou. Di restoran tersebut kami tidak makan sebab kami sedang berpuasa. Ahmed menawarkan kami tempat khusus untuk istirahat di dalam sebuah ruangan penuh sofa. Dia juga istirahat di ruangan itu. Sembari melepas penat, kami mencoba untuk menggali lebih dalam kehidupan Ahmed.
Kami betul-betul penasaran dengan sosok Berber yang multilingual itu. Mula-mula kami tanyakan tentang kemampuan bahasanya. Dimana dia dapatkan skill bahasa yang sangat membantu kami dalam mengerti Ait Ben Haddou lebih jauh. Ternyata dia belajar bahasa Inggris secara otodidak alias tanpa melalui pedidikan formal.
Yang lebih mencengangkan lagi adalah Ahmed tidak hanya pandai berbahasa Inggris, bahasa Arab, bahasa Perancis, dan bahasa Berber, tetapi juga bisa berkomunikasi dalam bahasa Spanyol dan Italia. Mendengar pengakuan Ahmed ini membuat kami sadar bahwa pendidikan itu tidak hanya di bangku sekolah. Kehidupan sehari-hari juga merupakan proses pendidikan yang efektif dalam mengajarkan manusia berbagai hal. Wajah Ahmed yang bersahaja seolah mengirim pesan kepada kami bahwa deretan gelar akademis kadangkala bukan jaminan menguasai segala hal dan orang-orang yang tidak memilikinya, seperti Ahmed, tidak serta merta tidak mengetahui apa-apa. Kami semakin respect kepada Ahmed.
Pertanyaan kami berlanjut ke arah yang lebih pribadi, yaitu mengenai pendapatan Ahmed dari hasil memandu turis. Dia menjawab bahwa pendapatannya tidak tetap. Kadang banyak kadang sedikit. Tergantung dari jumlah turis yang berkunjung. Namun, lanjutnya, dia secara reguler berbagi rezeki dengan keluarga yang lain dan aktif membantu pendanaan pembangunan masjid di kampungnya. Kedermawanan Ahmed suskes membuat kami malu dengan diri sendiri. Ahmed yang penghasilannya tidak seberapa dan tidak menentu dengan senang hati membagi-bagikannya dengan orang lain. Sungguh hati yang mulia.
Obrolan kami harus terhenti karena Mustofa memberikan instruksi kalau kami harus segera memasuki bus. Dengan perasaan yang bercampur baur antara kagum, malu, dan sedih kami mengucapkan selamat tinggal kepada Ahmed. Di dalam bus mata kami saling menatap, mengisyaratkan sebuah kesepakatan bahwa Ahmed adalah murid terbaik dari sekolah kehidupan bernama Ait Ben Haddou.

Comments