Etnik Muslim Rohingnya Berhak Menikmati Hak Dasar Mereka


Article 2 dari The Universal Declaration of Human Rights keluaran PBB yang dikumandangkan di Paris tanggal 10 December 1948 silam mengegaskan bahwa semua manusia memiliki hak atas ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik, asal kebangsaan, property, kelahiran, atau status lainnya.[1] Namun sayangnya tidak semua manusia yang bisa merasakan butir-butir hak dasar yang dirumuskan PBB ini. Kelompok Rohingnya adalah salah satunya.

Terlahir sebagai seorang Rohingnya di tanah Burma dianggap sebagai kesalahan besar, aib, dan dosa keji yang mesti dipikul. Saudara senegara benci, pemerintah pun tidak suka. Konsekuensinya sudah jelas. masyarakat Rohingnya menjadi bulan-bulanan segala macam bentuk ketidakadilan; tinggal di negara bagian Rakhine yang bentuknya seperti ghetto, tidak boleh menetap di tanah kelahiran sendiri tanpa izin tertulis dari pemerintah, tidak diakui sebagai etnik yang sah dari 135 etnik resmi di Myanmar, tidak dianggap sebagai warga negara Myanmar, dan tentu saja tidak boleh berkecimpung di dunia politik seperti mengikuti pemilihan umum.[2] Sebab musababnya hanya satu, mereka etnik Rohingnya. Kulit mereka tidak putih layaknya penduduk Myanmar lainnya dan agama mereka bukan Budha.

Meskipun sejarawan masih berdebat soal asal muasal etnik Rohingnya apakah mereka memang suku asli negara bagian Rakhine atau migran dari Bengal pada masa pemerintah colonial Inggris, satu hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa etnik Muslim Rohingnya telah ratusan tahun mendiami tanah Myanmar. Hal ini dibuktikan oleh sebuah sensus yang diadakan oleh pemerintah colonial Inggris dimana pada tahun 1891 terdapat sekitar 58.255 muslim yang tinggal di Arakan.[3] Arakan adalah nama lama negara bagian Rakhine ketika negeri ratu Elizabeth masih berkuasa di Myanmar. Kini populasi etnik Muslim Rohingnya terus tergerus. Bahkan di Aung Mingalar, sebuah area ghetto di ibukota negara bagian Rakhine, Sittwe, hanya tersisa 4000 orang etnik muslim Rohingnya.[4] Penurunan populasi ini disebabkan oleh negara bagian Rakhine tidak bersahabat lagi dengan etnik muslim Rohingnya sehingga dengan berat hati etnik muslim Rohingnya harus bercerai dengan tanah leluhurya.

Meninggalkan negara bagian Rakhine adalah sebuah keharusan bagi etnik muslim Rohingnya. Atau lebih tepatnya merupakan sebuah kewaijban. Bila tidak dilakukan, sama saja degan menyerahkan diri hidup-hidup kepada orang-orang Budha yang tidak pernah bosan memusuhi mereka. Sejarah tidak pernah bohong. Kekejian terhadap etnik muslim Rohingnya pada tahun 2012 lalu misalnya, telah menewaskan ratusan orang. Ironisnya, perbuatan tak berperikemanusiaan ini didukung dan didalangi oleh banyak tokoh  agama Budha yang ada disana melalui ceramah-ceramah agama berbau chauvinisme.[5] Jualan mereka kepada pengikutnya adalah, bila etnik muslim Rohingnya tidak ditumpas, Myanmar akan menjelma menjadi negara muslim dan kedudukan mereka sebagai kelompok mayoritas akan berubah menjadi minoritas. Tentu saja klaim ini hanya bualan yang tidak berdasar.

Salah satu tokoh terkemuka agama budha yang paling aktif dalam menyebarkan benih kebencian terhadap etnik muslim Rohingnya di Myanmar adalah biksu Ashin Wirathu. Ketua gerakan 969, sebuah kelompok kontroversial berhaluan agama budha di Myanmar, menganggap islam sebagai ancaman terbesar bagi Myanmar. Oleh karena itu perkembangannya harus ditekan dengan cara membuat kehidupan pemeluknya tidak nyaman. Strategi yang dipakai oleh Wirathu adalah mendesak pemeluk agama budha untuk memboycott pertokoan orang muslim, melarang perkawinan antara etnik Rohingnya dan umat budha, dan menyebut masjid sebagai ‘basis musuh’.[6] Masuk akal bila banyak pihak menyebut Wirathu ‘Bin Ladennya Burma’.[7]

‘Jerih payah’ biksu Ashin Wirathu dan kawan-kawan dalam mengganggu ketentreman hidup  etnik muslim Rohingnya di Myanmar berbuah hasil. Selain banyak yang telah mereka bantai hidup-hidup, ribuan lainnya berhasil mereka usir keluar dari rumah-rumah mereka. Orang-orang tak berdosa ini rela bertaruh nyawa menyeberangi lautan mencari tempat berlindung. Tak tanggung-tanggung, jumlah ‘boat people’ – sematan untuk etnik Muslim Rohingnya yang menyelamatkan diri dari Myanmar melalui jalur laut – per tiga bulan awal 2015 saja sudah mencapai 25.000 orang.[8] Tentu saja angka ini sekarang sudah merangkak naik.

Sayangnya, berhasil keluar dari Myanmar tidak serta merta mengakhiri nasib naas yang dialami oleh etnik muslim Rohingnya. Cerita duka mereka beranjut dengan plot yang berbeda. 100 orang dilaporkan mati di Indonesia[9] dan 200 tewas dalam perjalanan menuju Malaysia[10]. Angka ini adalah angka yang diketahui saja. Ada banyak nyawa yang telah hilang ditelan ombak lautan yang tentu saja tidak tercatat.

Selama ini etnik Muslim Rohingnya yang mencari tempat berlindung banyak diantara mereka yang ditendang kesana kemari oleh negara tujuan.  Malaysia, Indonesia, atau Thailand bergiliran menolak mereka masuk dengan berbagai macam alasan.[11] Yang berhasil mencapai tiga negara ini juga tidak bernasib mujur. Mereka tidak mendapatkan tempat tinggal permanen dan harus berpuas diri berdiam di camp pengungsian dengan pasokan air dan makanan yang terbatas.[12]

Etnik Muslim Rohingnya yang coba-coba memasuki Australia nasibnya lebih mengenaskan lagi. Oleh pihak negeri kangguru banyak dari mereka tidak disambut sebagai pengungsi yang butuh pertolongan melainkan segerombolan pendatang illegal. Oleh karena itu ‘kelompok manusia yang paling teraniaya di muka bumi’[13] ini dikirim ke camp-camp penahanan di pulau-pulau terpencil di Fasifik dengan perlakuan yang kadang tidak manusiawi. Mereka yang ditahan di Pulau Manus misalnya, harus terisolasi dari dunia luar dengan pergerakan dan komunikasi yang dibatasi. Tidak sampai disitu, mereka juga tidak diberikan pasokan makanan yang cukup, tidak memiliki dokter gigi selama 15 bulan, tidak diberi kesempatan untuk berbincang dengan anggota keluarga, dan barang-barang mereka seringkali disita.[14] Perlakuan tidak manusiawi ini tidak hanya keji tetapi juga, dan yang lebih penting lagi, merupakan pengkhianatan besar Australia terhadap perjanjian yang mereka teken sendiri yaitu UN refugee convention.

Pemerintah Myanmar secara sengaja membatasi perkembangan etnik muslim Rohingnya melalui kebijakan-kebijakan resmi negara. Etnik muslim Rohingnya yang tinggal di Rakhine tidak diperkenankan memiliki lebih dari dua anak. Pasangan muda yang ingin menikah harus meminta izin dulu dari pemerintah.[15]

Kembalinya Myanmar ke system demokrasi dengan terpilihnya Aung San Suu Kyi sebagai konselor Myanmar sepertinya juga tidak membawa angin segar kepada etnik muslim Rohingnya. Pemenang nobel perdamaian itu bahkan tetap menolak memanggil etnik Rohingnya dengan kata Rohingnya karena mereka tidak dianggap warga negara Myanmar.[16] Bukan itu saja orang nomor satu Myanmar itu geram bukan main ketika mengetahui wartawan BBC yang mewawancarinya pada program BBC Today, Mishal Husain, adalah seorang muslim.[17] Sikap diskriminatif dan racist seperti ini tentu saja membuat banyak pihak mempertanyakan kepantasan Aung San Suu Kyi menyandang gelar sebagai pemenang nobel perdamaian. Semestinya seorang pemenang nobel perdamaian aktif memprakarsai perdamaian dan menghilangkan sentiment negative terhadap golongan-golongan tertentu.

Apa yang menimpa etnik muslim Rohingnya di Myanmar adalah pembersihan etnik[18] dan genosida[19]. Sudah saatnya pemerintah dunia bersatu untuk menekan pemerintah Myanmar agar menghentikan perlakuan diskriminasi terhadap mereka. Hak-hak dasar manusia sebagaimana yang ditulis PBB harus dirasakan oleh seluruh penduduk bumi tak terkecuali etnik muslim Rohingnya.



Comments