Aku tak mampu menahan
haru setelah menonton video ini. Suara anak kecil yang merdu itu, bait-bait
shalawat yang menggetarkan hati, baju putih, peci haji, kain sarung, semuanya
mengingatkanku akan masa kecilku di pesantren.
Biasanya pada setiap
perayaan Maulid Nabi ata Isra’ Mi’raj, TOA yang berada di kantor asrama tak
pernah stop dalam meramaikan pesantrenku dengan gema shalawat seperti ini. Dari
pagi bermacam-macam lantunan shalawat nabi diputar silih berganti sampai kami
semua berkumpul di aula pesantren untuk merayakan acara inti.
Shalawat seperti ini
juga sering diputar pada hari minggu, menemani kegiatan bersih-bersih kami.
Sudah menjadi budaya di pesantrenku dimana tiap-tiap hari minggu selepas senam
dan muhadtsah – percakapan bahasa Arab – kami semua turun ke bawah asrama untuk
menyisir semua sampah yang ada. Rutinitas seperti ini dikontrol oleh ustadz
pembina asrama masing-masing.
Kalau difikir-fikir
hidup ini kadang memang aneh. Kita terkadang tidak suka melakukan sesuatu. Tapi
ketika sesuatu itu sudah berlalu kita
merindukannya. Atau sering juga kita tidak begitu menganggap penting beberapa
hal yang kita lalui dalam hidup. Ketika momen tersebut sudah terlewati kita
ingin mengulangnya lagi. Aku sendiri sangat merasakan yang seperti ini. Dulu
sewaktu di pesantren kadang aku malas ikut bersih-bersih lingkungan asrama. Selain
sudah capek sehabis olahraga, hari minggu adalah hari istirahat dari jadwal
pesantren yang terlalu padat. Bayangkan saja, dari hari senin sampai sabtu kami
mesti mengikuti banyak kegiatan baik itu kegiatan belajar mengajar di kelas,
sholat 5 waktu berjamaah di masjid, membaca berbagai macam kitab di malam
jumat, muhadhoroh – latihan pidato – pada malam sabtu, dan membaca kitab Burdah
pas malam minggu. Semua kegiatan ini non-stop dari jam 4.30 subuh sampai lebih
kurang jam 10 malam. Hanya sore selepas Ashar saja kami punya waktu luang untuk
mandi. Itupun kalau tidak punya kelas habis Ashar. Yang paling tidak aku sukai – aku yakin
teman-teman lain juga tidak suka – adalah banyaknya pengumuman dan hukuman
sehabis kegiatan malam jumat, malam sabtu, dan malam minggu. Pokoknya ada saja
informasi yang ingin disampaikan oleh kakak pengurus. Tentang kebersihan
asrama, asrama yang tidak di kunci, peraturan masuk masjid yang baru, perubahan
jam mandi, dan banyak lagi yang mereka sampaikan.
Yang paling
menjengkelkan tentu saja soal hukuman. Panas dingin sekujur badan rasanya kalau
kakak pengurus sudah memegang selembar kertas di depan kami. Kertas itu bukan
sembarang kertas. Padanya terdapat nama-nama ‘tersangka’ yang akan dijatuhi
hukuman. Tindak criminal mereka pun bermacam-macam. Tidur sewaktu membaca
yasin, terlambat masuk masjid, berbicara saat wirid, tidak memasukkan jemuran
ke dalam asrama pas malam hari, berbicara menggunakan bahasa Indonesia dengan
teman – pada hari tertentu ada kebijakan di pesantrenku untuk berbicara hanya
pakai bahasa Arab - , mandi terlalu lama, tidur larut malam, atau keluar pagar
tanpa izin. Semuanya dipanggil satu-per satu ke depan untuk dihukum; di rotan,
disuruh ruku’ setengah jam, disuruh sujud satu jam, push up beberapa kali,
mandi air comberan, berendam dalam air beberapa jam, sampai di botak. Yang
terakhir ini merupakan jenis hukuman yang amat sangat tidak diinginkan. Bau
busuk air comberan bisa hilang setelah mandi. Kepala botak? Tiga bulan di bully
kawan!
Sekarang aku baru
sadar ternyata dulu aku menganggap semua kegiatan dan aneka ragam hukuman di
pesantren itu hal biasa. Tidak ada yang special dari itu semua. Yang ada
malahan kadang bikin hati jengkel. Kini apa yang aku rasakan? Aku merindukan
itu semua! Ingin rasanya aku putar lagi waktu ke belakang agar bisa kembali ke
masa itu untuk mengulang semuanya. Tapi itu mustahil dilakukan. Hanya mengenang
saja yang bisa kulakukan.
Tidak salah memang
jika ada yang bilang kalau waktu itu kejam. Ia memberikan cerita kepada umat
manusia namun setelahnya cerita itu akan lenyap tinggal kenangan. Tak ada lagi
kesempatan untuk mengulangnya lagi walaupun hanya sedetik. Cerita tinggal
cerita. Tokoh di dalamnya terus maju ke masa depan berpisah dengan cerita itu
selama-lamanya.
Lalu apa sejatinya
arti hidup ini. Apakah hidup hanya seputar menulis cerita untuk dikenang?
Bagiku, sepertinya, memang begitu adanya. Hidup adalah sebuah antologi yang
berisi banyak cerita. Tapi sayangnya seluruh cerita dalam antologi itu tidak
terbukukan. Kisah-kisahnya hanya mengendap di dalam kepala, kemudian hilang
dibawa oleh badan yang dilimus tanah.
Menderitalah mereka
yang diberi peluang umur teramat panjang sehingga punya banyak cerita dalam
hidupnya. Batinnya akan tersayat tatkala lembaran-lembaran cerita itu secara
otomatis bergonta-ganti di kepalanya. Air matanya akan basah mengenang anaknya
yang sudah tiada, ibu bapaknya yang sudah mendahuluinya, suami/istrinya yang
tidak lagi di dunia, kawan kerabat yang semuanya sudah di alam baka, dan
perjalanan hidupnya yang berlalu begitu cepat. Dia akan merasa dunia ini sepi
tak berpenghuni meskipun di sekelilingnya banyak anak-anak kecil berlari. Dia
akan membayangkan maut punya dua wajah; rupawan dan menakutkan. Rupawan bila
dia ingat hidupnya yang sebatang kara. Menakutkan karena tidak tahu entah apa
yang akan dia temui di alam sana.
Video shalawat ini
telah berhasil membuka kembali sebuah lembaran cerita yang telah lama terendap
di dalam antologi kehidupanku. Tak ada yang dapat aku perbuat kecuali menahan sesak
di dada. Tak ada kata yang bisa terucap kecuali hanya kata rindu. Dan tak ada
yang bisa kulakukan untuk menghibur diri selain meresapi surat Al-Asr. Dunia
ini memang hanya tempat bermain-main saja…
اعْلَمُوا
أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ
وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ ۖ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ
الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا
ۖ وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ ۚ
وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
الحديد ٢٠
Comments
Post a Comment