Seorang anak
kecil menangis pilu disisi mayat kakak laki-lakinya. Tangan anak itu tak
henti-hentinya mengais jenazah si kakak seolah tak percaya kalau saudara
kandungnya itu sudah tak lagi di dunia ini.
Sementara itu,
seorang ayah berdiri panik di kamar mayat. Matanya basah, wajahnya sembab. Di
hadapannya terbaring kaku tak bernyawa sang buah hati belahan jantung, anak
laki-laki penerus nasab keluarganya.
Di bagian lain,
segerombolan manusia berlari tak tentu arah di antara puing-puing bangunan yang
berasap. Mereka melarikan diri dari kejaran maut ciptaan manusia, mereka
berlari untuk menyelamatkan nyawa diri dan keluarga. Mereka berlari dari
keserakahan kekuasaan para penguasa.
Pemandangan
diatas bukanlah penggalan cerita dari sebuah buku dongeng. Ia nyata sebagaimana yang terekam dalam sebuah video yang beredar di internet. Hanya saja kita tidak begitu mengetahuinya sebab kita
tidak tinggal di Syiria. Andai kita ditakdirkan menjadi orang Syiria,
barangkali wajah-wajah lemah tak berdaya karena kehilangan orang-orang
tersayang, atau mayat-mayat tak berdosa yang terbaring di ranjang rumah sakit
itu, adalah muka-muka kita atau tubuh anggota keluarga kita sendiri.
Air mata
masyarakat Syiria telah lama tertumpah untuk alasan yang tidak mereka ketahui. Entah
dosa apa yang mereka perbuat atas penguasa dunia hingga dengan kejinya
menjatuhkan bom-bom perang ke atap-atap rumah mereka. Entah kesalahan apa yang
telah mereka perbuat sampa-sampai pesawat tempur super canggih terus-terusan
mengarahkan moncong rudalnya ke arah sekolah-sekolah anak-anak mereka. Sudah
lebih dari lima tahun mereka dijadikan target tak bersalah, tapi sampai hari
ini mereka masih bertanya-tanya mengapa mereka yang menjadi sasaran empuk
penguasa yang suka perang.
Serangan terhadap
rakyat Syiria ibarat cerita berseri yang selalu ‘tayang’ di televisi secara
reguler dari tahun 2011. Dua episode terbarunya adalah beberapa hari yang lalu
tepatnya tanggal 16 dan 14 Juni 2016. Dua-duanya berlangsung di kota Aleppo.
Episode 16 juni berlangsung hanya berselang beberapa jam menjelang diumumkannya
gencatan senjata oleh Rusia. Serangan yang menargetkan pemukiman warga itu
telah menyebabkan kebakaran dan tentu saja merobohkan bangunan-bangunan yang
dimiliki oleh masyarakat sipil. Tidak hanya itu, serangan tiba-tiba itu
dilaporkan juga merenggut 7 nyawa[1]
dan melukai beberapa orang lainnya.[2]
Episode sebelumnya,
yaitu episode 14 juni, lebih dashyat lagi. Setidaknya terdapat lebih dari 50
serangan udara yang membombardir rumah-rumah rakyat Syiria pada tanggal
tersebut. Episode 14 juni juga berhasil menewaskan 34 nyawa dan melukai lebih
dari 60 jasad.[3] Perlu diingat, dua episode ini hanya episode
terbaru. Masih banyak lagi episode-episode sebelumnya yang mungkin luput dari
perhatian kita dan mustahil untuk dijelaskan satu persatu disini.
Ada pepatah
masyhur yang bunyinya begini: bila dua gajah berkelahi, yang menjadi korban
adalah semut-semut yang merayap dibawahnya. Mereka pasti akan mati terbenam ke
dalam tanah sebab terpijak oleh gajah-gajah yang sedang diamuk amarah itu.
Dalam konteks Syiria, sayangnya tidak hanya ada dua gajah yang saling adu kuat.
Terdapat banyak sekali gajah-gajah lainnya yang saling sikut di seluruh daratan
Syiria; Rezim Assad, Hezbollah, Kelompok Kurdish, Pemerintah Rusia, kelompok pemberontak,
kelompok Islamic State, Koalisi pimpinan Amerika, Pemerintah Iran, Pemerintah
Turki, Pemerintah Arab Saudi, Pemerintah Qatar, Pemerintah Jordania, Pemerintah
Inggris, dan Pemerintah Perancis.[4]
Diantara gajah-gajah ini ada yang bertarung langsung di lapangan Syiria dan ada
juga yang berperan sebagai suporter setia gajah-gajah yang lain. Masing-masing
gajah datang dengan mengalungkan banner bertuliskan ‘demi rakyat Syiria’ di
dada mereka. Namun tentu saja kalung itu hanya sekedar perhiasan agar tampak
gagah dan humanis di mata manusia. Kenyataannya adalah mereka tidak perduli
dengan raungan tangis masyarakat Syiria. Satu-satunya yang mereka perdulikan
adalah kepentingan mereka sendiri. Soal derita rakyat Syiria itu urusan rakyat
Syiria bukan urusan mereka!
Terbukti, pijakan
kaki-kaki mereka yang berukuran raksasa telah menghancurkan apa saja yang ada
dibawahnya, tidak hanya ‘semut-semut rakyat Syiria’. Sekolah roboh, rumah sakit
musnah, pipa air bocor, jaringan listrik putus, rumah ibadah hancur,
perekonomian macet, dan fasilitas publik luluh lantah. Sebagaimana yang
dilaporkan oleh UN commission of inquiry, semua pihak yang terlibat dalam
konflik Syiria terbukti telah melakukan kejahatan perang seperti pembunuhan,
penyiksaan, pemerkosaan, dan penghilangan paksa. Bukan itu saja, mereka juga
terbukti menggunakan metode perang yang menyebabkan penderitaan bagi masyarakat
Syiria semisal memblokade akses ke makanan, air, dan layanan kesehatan.[5]
Sampai hari ini
ada lebih dari 250.000 rakyat Syiria yang telah menjadi korban keganasan perang
di tanah kelahiran mereka.[6]
Angka yang tewas memang tidak sampai sejuta. Tapi, satu buah nyawa manusia
sangatlah berarti bagi mereka yang kehilangan. Masing-masing nyawa yang
terenggut adalah anak dari seorang ayah, istri bagi seorang suami, dan cucu
bagi seorang nenek. Mereka semua sangat berharga karena mereka adalah simbol
kebahagiaan bagi orang-orang terdekatnya. Ketika simbol itu hilang maka
kehidupan orang yang ditinggalpun akan ditemani oleh isak tangis yang entah
kapan akan reda.
Rakyat Syiria yang
selamat dari amukan perang juga tidak bernasib bagus sebab mereka kini menjelma
menjadi segerombolan manusia gelandangan, tak punya rumah lagi untuk
berlindung. Jumlah mereka tidak main-main. Lebih dari 11 juta orang yang mesti
angkat kaki dari tempat tinggal mereka akibat perang yang tak berkesudahan itu.[7]
Jika di hitung perharinya, sejak awal mula konflik Syiria tahun 2011 lalu,
rata-rata terdapat 50 keluarga yang terpaksa meninggalkan Syiria tiap harinya.[8]
Yang perlu
dicatat adalah, 11 juta bukanlah sebuah angka mati yang tertulis diatas secarik
kertas. Itu adalah ‘angka hidup’ yang terdiri dari manusia-manusia bernyawa
persis seperti kita. Mereka memiliki mimpi, mereka mempunyai lingkungan sosial,
dan mereka memiliki tempat-tempat penuh kenangan. Semuanya terpaksa harus
ditinggalkan gara-gara pertarungan tiada henti para gajah haus kekuasaan itu.
Erangan tangis
kehilangan akan terus menggema ke langit Syiria bila gajah-gajah yang terlibat
disana masih mengedepankan ego masing-masing. Sudah saatnya gajah-gajah itu
menghentikan pertarungan mereka, duduk bersama dengan kepala dingin agar
perdamaian bagi masyarakat Syiria benar-benar terwujud. Bukan sekedar slogan
kosong belaka. Dan, sudah saatnya bagi kita yang tidak terlibat untuk
mengulurkan bantuan apa saja yang kita bisa untuk meringankan beban rakyat
Syiria yang sudah 5 tahun dirundung duka. Percayalah, mereka manusia, sama
seperti kita.
Comments
Post a Comment