Banyak yang bersorak
sorai ketika Soeharto lengser dari jabatannya sebagai presiden Indonesia pada
tahun 1998 silam. Betapa tidak, berakhirnya rezim Soeharto ibarat angin segar
bagi banyak pihak sehingga era kepemimpinan Soeharto yang dijuluki Orde Baru
diganti namanya menjadi Reformasi atau dalam kata lain zaman perubahan.
Mundurnya Soeharto akan tetapi, tidak sepenuhnya memberikan perubahan positif
bagi rakyat Indonesia. Sebab, era setelah Soeharto sebagaimana dijelaskan oleh
Jeffrey A. Winters, seorang pakar politik dari Northwestern University, adalah
eranya percampuran antara demokrasi dan kaum oligarki. Kaum oligarki adalah sekumpulan
orang berduit yang dengan kekayaan yang mereka punya mengontrol kehidupan
demokrasi di Indonesia.[1] Naasnya
lagi, sepak terjang para oligarki ini bertambah kuat dengan penguasaan media
yang ada ditangan mereka.
Sejak berakhirnya era Soeharto, dunia pers di Indonesia
mengalami perubahan besar. Dulu pada masa Soeharto kebebasan pers masih sangat
dibatasi sehingga tidak banyak media yang berani mengkritik kinerja pemerintah.
Pada masa Orde Baru itu pula semua berita yang terbit mesti dalam pengawasan Departemen
Penerangan, sebuah cara pemerintah untuk mengontrol berita mana yang layak
dikosumsi dan mana yang tidak.
Semuanya berubah drastis setelah tahun 1998. Berakhirnya Orde
Baru melahirkan babak baru bagi dunia pers Indonesia. Media-media baru baik
cetak maupun elektronik bermunculan dengan tampilan dan semangat yang baru pula.
Dalam rentang empat tahun saja yaitu dari 1998 sampai 2002 ada lebih dari 1200
media cetak baru, 900 radio komersial baru, dan lima izin televisi komersial
dikeluarkan.[2] Kedepannya media-media ini
baik yang baru maupun yang lama tak lagi segan-segan mengkritik penguasa atau
mengekspos kasus-kasus korupsi kepada public. Deregulasi dan privatisasi media
pun menjadi ciri era pasca Soeharto ini.
Sayangnya, media-media baru tersebut hanya dimiliki oleh kaum
oligarki. Lebih parahnya lagi kaum oligarki ini terlibat langsung dalam politik
praktis di Indonesia. Pendiri sekaligus Ketua Umum Partai
Nasional Demokrat, Surya Paloh, memiliki kerajaan bisnis media yang cukup besar
di Indonesia. Pria kelahiran Aceh itu memiliki surat kabar ternama, Media
Indonesia, dan stasiun televisi berpengaruh, Metro TV dengan jumlah penonton
yang bukan sedikit. Pemilik media yang juga politikus lainnya adalah Aburizal Bakrie. Aburizal Bakrie
merupakan Ketua Umum Partai Golkar dan juga pemilik ANTV, TV One, dan Vivanews.
Bila dua nama diatas merupakan pemain lama di pentas politik
Indonesia, Surya Paloh pernah beberapa kali menjadi anggota MPR di era Soeharto[3]
dan Aburizal Bakrie dua kali menjabat sebagai menteri di masa pemerintahan SBY[4],
ada lagi pendatang baru yang juga berprofesi sebagai pemilik media. Dia adalah
Hary Tanoesoedibjo, CEO MNC Group. Dibawah kekuasaannya ada tiga stasiun
televisi swasta; RCTI, Global TV, MNC TV, satu stasiun radio yaitu Trijaya FM,
tiga surat kabar yaitu Harian Seputar Indonesia, Koran Sindo dan Majalah
Ekonomi, dan dua media online yaitu SINDOnews.com dan Okezone.com.[5][6]
Dengan kerajaan media yang besar ini wajar saja bila Hary Tanoesoedibjo
mendapat julukan ‘raja bisnis multimedia’ Indonesia.[7]
Harry Tanoesoedibjo sangat berambisi dalam dunia politik
Indonesia. Kiprahnya terlihat pertama kali ketika bergabung dengan partai
bentukan Surya Paloh, Nasional Demokrat pada tahun 2011. Dua tahun berselang
dia berpindah haluan ke Partai Hanura dan mendeklarasikan pencalonan dirinya
sebagai wakil presiden dari partai tersebut mendampingi Wiranto dalam putaran
Pemilu presiden 2014. Setahun kemudian Harry Tanoesoedibjo mendirikan partai
sendiri yang diberi nama Partai Persatuan Indonesia (PERINDO). Besar
kemungkinan PERINDO akan menjadi sarana Harry Tanoesoedibjo untuk memuluskan
ambisinya menjadi presiden Indonesia di Pemilu tahun 2019 kelak.
Diantara mereka semua ada satu nama yang juga pemilik media
serta pernah aktif di politik, dia adalah Dahlan Iskan. Dahlan Iskan adalah
pemilik koran terkemuka, Jawa Pos Grup, dan sempat menjabat sebagai menteri di
masa pemerintahan SBY.[8]
Kemudian ada James Riyadi, pemilik Lippo Group. Meskipun bukan ketua partai,
keputusan James Riyadi menunjuk Theo Sambuaga, seorang politikus ternama Partai
Golkar, sebagai presiden Lippo Group perlu dipertanyakan.[9]
Penunjukan ini sangat besar kemungkinan berbau kepentingan politik. Terakhir
ada Chairul Tanjung, pemilik stasiun televisi Trans TV dan Trans 7 serta koran
online Detik.com. Chairul Tanjung tak lain adalah orang dekat mantan presiden
SBY. Maka tak heran pada masa kepresidenan SBY Chairul Tanjung pernah tiga kali ditunjuk sang presiden untuk
mengisi tiga kursi menteri yang berbeda .[10]
Perusahaan media kaum oligarki tidak hanya menguasai lima
dari enam surat kabar yang memiliki sirkulasi tertinggi, tetapi juga menguasai
semua situs berita online terbesar di Indonesia. Bukan itu saja, dominasi
perusahaan media mereka juga merangkup ke penguasaan radio. Sasiun-stasiun
radio ternama di Indonesia baik di kota besar maupun di kota kecil banyak
diantaranya dimiliki oleh perusahaan kaum oligarki. Kekuasaan mereka dalam
pertelevisian Indonesia lebih dahsyat lagi. Perusahaan mereka menguasai 96.6
persen dari seluruh kepemilikan stasiun televisi di seantero Indonesia.[11]
Terlibatnya kaum oligarki dalam proses perpolitikan di
Indonesia bukan tanpa masalah. Telah banyak laporan yang menyatakan bahwa media
yang mereka miliki dijadikan sarana untuk memuluskan ambisi politik mereka
sebagai pemilik. Pada Pemilu 2014 misalnya, hasil penelitian yang diadakan oleh
Masyarakat Peduli Media mengungkapkan keberpihakan TV One dan Metro TV terhadap
pemiliknya.[12] Sebagaimana yang telah
diuraikan diatas dua stasiun tv ini masing-masing berafiliasi dengan partai
Golkar dan Partai NasDem melalui pemiliknya Aburizal Bakrie dan Surya Paloh.
Dalam penelitian tersebut terbukti TV One lebih banyak menyiarkan berita
tentang Partai Golkar dan Aburizal Bakrie, yang kala itu berambisi menjadi
presiden, dibandingkan dengan calon presiden lainnya. Begitupula dengan Metro
TV yang lebih sering meliput Surya Paloh dan orang-orang dari partai Nasional
Demokrat. Media cetak dan media online juga sama, terbukti lebih berpihak
kepada pemiliknya bahkan cenderung menyembunyikan kebenaran.[13]
Media yang dimiliki oleh Harry Tanoesoedibjo pun demikian, 24 jam meliput
berita tentang sang pemilik dan orang-orang yang berafiliasi dengan partainya
sepanjang masa kampanye Pemilu 2014.
Penelitian lain membuktikan hal yang serupa bahwa kekuasaan
mutlak kaum oligarki terhadap media dan keterlibatan mereka dalam dunia politik
di Indonesia telah membuat pemberitaan di media menjadi bias. Publik tidak lagi
disuguhi berita yang netral dan berkualitas. Berita yang keluar hanya berisi
sudut pandang para kaum oligarki ini saja dan membatasi akses public kepada
informasi yang penting.[14]
Cengkeraman kekuasaan kaum oligarki terhadap dunia pers dan
politik di Indonesia sudah terlanjur sangat kuat sehingga agak sulit untuk
merubahnya. Akan tetapi tidak berarti perubahan itu mustahil dilakukan. Pemerintah
perlu membuat undang-undang yang melarang pemilik media untuk terlibat langsung
dalam politik. Bila ini tidak dilakukan segera sangat dikhawatirkan Pemilu 2019
nanti akan menjadi show-time kaum oligarki ini untuk mengkudeta demokrasi
Indonesia. Lagipula bila keadaan ini tidak diatasi segera, akan sangat mungkin
rezim Soeharto gaya baru bergulir kembali. Bukankah Soeharto di masa Orde baru
dan kaum oligarki di masa demokrasi ini sama-sama menjadi benalu bagi demokrasi
lewat penguasaan media?
Comments
Post a Comment