Cita-cita Anak Bangsa



“Pertandingan antara Pamungkas vs Pemangkas ditunda…”
Canda  tawa serentak hening dikerumunan anak muda yang menamakan dirinya Pamungkas. Mereka sangat kaget mendengar suara itu, suara yang keluar dari mulut tim panitia penyelenggara. Ya, dalam beberapa hari terakhir ini BEM kampus abu-abu mengadakan open turnamen futsal. Event ini memang sedang menjadi primadona di kalangan masyarakat di sini. Tak pandang umur, dari yg masih ingusan sampai yang jenggotan. Semua gemar bermain sepak bola mini ini.

Tak terima dengan keputusan aneh panitia tersebut, para pemain Pamungkas berinisiatif untuk melontarkan protes ke meja panitia. Satu persatu mereka berdiri kemudian jalan teratur berniat menyerang panitia.

“gimana nih bung! Anda tidak bisa membuat keputusan sepihak seperti ini!” sahut Elang yang tak lain adalah manejer tim Pamungkas.

“kami minta maaf atas ketidaknyamanannya, namun kami harus mengambil keputusan ini”. Selang salah satu dari panitia dengan nada ragu-ragu.

Sentak saja kerumuan wajah beringas itu tidak terima. Dengan emosi yang hampir sampai ke ubun-ubun, salah seorang dari mereka maju lebih kedepan mendekatkan kepalanya ke kepala ketua panitia.

“anda mengerti tidak apa yang dimaksud dengan peraturan hah?” serangnya. “Peraturan ya peraturan…tak ada tawar menawar disana!” imbuhnya lagi.

Kali ini tim panitia terdiam manis kebingungan mencari kalimat yang tepat. Kata-kata tajam bak pedang itu keluar dari mulut seorang pemuda yang semula hanya berdiri di belakang kerumunan. dia adalah voltus. Seorang pemuda yang bercita cita ingin menjadi seorang anggota dewan. Posisinya bukan pemain melainkan hanya pendukung tim Pamungkas.

Voltus boleh dikatakan sosok yang pintar kalau tidak bisa dibilang jenius. Sewaktu di madrasah tsanawiyah dulu, dia berkali-kali mendapat juara satu dikelasnya. Tak hanya itu dia juga seorang pembicara ulung. Sudah tak terhitung berapa banyak jumlah kemenangan yang berhasil ia ukir dalam membuat teman-temannya tak berdaya saat beradu mulut. Baik di forum debat maupun di perbincangan rutin setelah belajar malam. Sebagai sepasang kawan lama, Elang sudah lama tak bersua dengannya. Sore itupun baru hari kedua mereka bertatap muka. Setelah menamatkan madrasah tsanawiyah, voltus menghilang tanpa jejak. Ada kabar yang beredar dia berpetualang dari satu kota ke kota lainnya. Bandung, jogja, batam bahkan Pontianak sudah ia jelajahi. Sekian lama menghilang, voltus kembali lagi ke negeri carut-marut untuk sekedar bercengkrama kembali dengan si teman masa kecil, Elang. Di mata Elang, voltus kini telah sedikit berubah. Kulitnya agak hitam, bibirnya pucat oleh tembakau, rambut acak dan wajahnya dipenuhi bintik hitam bekas jerawat. Tingkahnya pun agak sedikit liar. Namun satu hal yang masih tetap jadi ciri khasnya, yaitu mulut pedasnya.

Senja itu Elang tengah asyik meluruskan tulang di kamar kosnya. Ditemani oleh alunan lagu-lagu iwan fals membuat suasana makin hening. Kantuk datang dan Elang pun siap untuk berlayar. Ketika mata hendak terlelap, tiba-tiba terdengar suara orang bernyanyi, “wakil rakyat seharusnya merakyat…jangan tidur waktu sidang soal rakyat” Elang kenal betul lantunan itu.

“ah siapa pula yang nelpon?” spontan Elang duduk dan mencari sumber suara itu.

Dilayar handphone Nokia butut tipe 8210 tertulis nama ‘Voltus memanggil’.

“assalamu’alaikum voltus ada apa?” sapa Elang dengan ramah.

“hey lang tolong jemput aku di terminal bus LPA ya!”

Elang sangat terkejut. Dia merasa sedang bermimpi. Namun dia terus memaksakan dirinya untuk percaya. Dengan mata yang masih setengah terpejam Elang bangkit dari tempat tidur dan berisap untuk menjemput si fren lama.

Siesampainya di terminal, tak mudah untuk Elang mendeteksi keberadaan si kawan lama. Di sana terdapat kerumunan orang yang sibuk hilir mudik dengan urusan mereka sendiri. Mata Elang aktif kesana kemari. Laksana mata srigala yang tengah konsen memilih mangsa. Ketika pandangannya tertuju ke arah loket terminal, Elang dikagetkan oleh tepukan dipundaknya.

“terereng…! Cari siapa? Cari aku ya? Haha…”

“hmmm…di sini kau rupanya” jawab Elang sambil menoleh ke belakang.

ternyata voltus telah mengamati pergerakan Elang dari awal. Sengaja dia membiarkannya sibuk mencari.

“yuk kita kemon” Elang memberi aba-aba kepada voltus.

Dalam perjalanan pulang mereka asyik bercerita dan bercanda ria. Voltus mengeluarkan pengalaman petualangannya sedangkan Elang tak henti-hentinya bertanya. Sebelum sampai ke kosan, Elang mampir di warung nasi langganannya untuk memberi jata makan malam kepada cacing yang sudah ribut sejak di terminal tadi.

“Kita makan dulu yuk tus…aku yakin kamu juga pasti lapar” Tanya Elang.

“bener banget bro…aku emang udah lapar nih…” sahut voltus sambil memegang perutnya.

Cerita demi cerita mengalir seakan tak ada habisnya. Ketika voltus menyelesaikan satu topic, Elang mengambil alih kendali obrolan dengan kisah-kisahnya. Elang bertutur tentang impiannya ingin menjadi pengusaha sukses kemudian mendirikan yayasan pendidikan gratis untuk masyarakat tak mampu. Mendengar obsesi besar tersebut voltus terpancing untuk mengemukakan impian hidupnya.

“aku sih lang ingin jadi anggota DPR aja” ujar voltus sambil menghabiskan air putih di gelasnya.
“Anggota DPR? Kenapa sobat?”
mendengar pertanyaan tersebut, voltus sangat tertantang untuk menjawab.

“fren, kamu tau nggak, di kampungku sekarang udah tiga orang yang jadi anggota DPR. Bahkan ketua DPR di kabupatenku juga asli orang kampungku”. Jawab voltus dengan nada setengah bangga.

Karena belum mendapat jawaban dari pertanyaannya, Elang bertanya lagi.

“jadi kamu ingin buat kampung anggota DPR ya?”

“bukan gitu fren, asal kamu tau aja ya, mereka yang duduk di kursi anggota dewan sekarang semuanya adalah orang biasa seperti kita. Bang burhan, yang menjadi ketua DPR kabupaten aku itu cuma tamatan SMP. Trus anggota dewan lainnya, bang Arham, dulunya Cuma tukang ojek, tamatan SD lagi! Yang terakhir bang manaf, Cuma tamatan SMA lho!” sahut voltus yang makin bersemangat berkisah.

“oo…gitu…trus kenapa kamu begitu terinspirasi oleh mereka?” Elang makin penasaran.

“nah itulah lang…sekarang ini kita tak perlu sekolah tinggi untuk jadi orang besar…Cuma menghabiskan waktu aja lama-lama duduk dibangku kuliah…soal ijazah sangat gampang. Bang burhan Cuma butuh modal 20 juta untuk ijazah SMA dan S1. Begitu juga bang arham dan bang Manaf semua ijazah mereka hasil dari uang mereka. Yang penting sekarang cari uang yang banyak untuk mendekatkan diri ke masyarakat…modalnya cukup pintar-pintar mengambil hati masyarakat. Kau kan tau, orang-orang kampung gak tau apa-apa…

Apa yang dilontakan voltus itu ada benarnya juga. Sejak era demokrasi bergulir di negeri carut-marut ini, semua orang seolah berlomba untuk jadi pejabat. Kursi anggota dewan merupakan yang terpanas dan paling di incar. Bukan apa-apa, untuk duduk di kursi empuk ini hanya butuh sertifikat, uang berlipat dan lobi yang memikat. Belum lagi fasilitas yang didapat. Semuanya serba memikat…tunjangan sana sini…wisata kesana kemari.

Suasana lapangan semakin memanas dengan perdebatan yang kian sengit. Semua dalih dari panitia berhasil dipatahkan oleh voltus. Tim panitia pun taka mu menyerah begitu saja. Mereka tanpa bosan mempertahankan argument mereka sambil sesekali melancarkan serangan balik. Elang lebih memilih menjadi pendengar dengan suasana hati yang gelisah. Dia khawatir jika perdebatan ini tak juga berhenti sedangkan hari sudah mulai gelap. Tubuh yang lemah dihiasi dengan wajah yang lelah sangat terlihat jelas pada dirinya. Sebelum diajak paksa menonton pertandingan futsal itu oleh teman-temannya, Elang sibuk dengan aktifitas sehari-harinya, kuli-yah. Dia tenggelam dalam rutinitas ini dari matahari terbit sampai mengarah kebarat. Dengan penuh kesabaran Elang dan teman-teman sekelasnya menjalani jam kuliah yang tak menentu. Ya seperti irregular verb dalam bahasa inggris, di pagi hari mereka bertemu dengan satu atau dua kepala dosen kemudian di sore harinya mereka bersua lagi dengan kepala yang lain.

Mentari sudah memberi aba-aba kembali ke sarangnya di ufuk barat sana. Sisa-sisa sinarnya membuat langit memerah. Sementara lampu-lampu mulai dinyalakan. Di sudut kanan lapangan masih tersisa kerumunan kecil bayangan kepala.

“jadi begini saja, karena tim  pamungkas ngotot untuk main juga bagaimana kalau mainnya jam 19:30?” salah satu dari panitia mencoba mengajak kerjasama.

Baik voltus juga Elang sudah mulai kelelahan dalam berdalil. Protes apapun yang mereka keluarkan seakan tertuju ke tembok tebal. Sulit sekali ditembus.

“ok kami akan tunggu di sini” sahut Elang tak bersemangat.

Tim Pamungkas bermain dan kalah! Selepas pertandingan, Riki, salah seorang dari mereka berujar. “lawan kita tadi adalah teman-teman satu kelasku. Mereka memang tidak bisa main tadi sore karena ada kuliah.




Muhammad Beni Saputra
Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris Fak. Adab IAIN STS Jambi



Comments