Mari kita bertemu dengan Naisah, seorang Ibu muda yang
tengah mengandung tujuh bulan. Dalam beberapa hari belakangan ini dia bersama
beberapa orang lainnya terpaksa harus menjadi ‘manusia perahu’ sebab rumah yang
mereka huni sudah luluh lantah dihancurkan oleh bulldozer kiriman gubernur
Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.[1]
Tanpa solusi apapun yang ditawarkan oleh sang gubernur, hidup mereka kini
terombang ambing. Tak tentu arah persis seperti perahu tempat mereka tinggal
yang tidak tahu mesti berlayar kemana.
Penggusuran paksa sepertinya memang telah menjadi makanan
sehari-hari masyarakat miskin di ibu kota negara Indonesia. Lembaga Bantuan
Hukum Jakarta, misalnya, pada tahun 2015 melaporkan, terdapat lebih kurang 3200
warga yang menjadi korban penggusuran paksa dalam kurun waktu 2007 – 2012.
Angka ini menjadi rekor tertinggi sepanjang berdirinya kota Jakarta.[2]
Bukan itu saja, LBH juga mencatat bahwa, untuk tahun 2015 saja ada sekitar 3433
Kepala Keluarga (KK) dan 433 unit usaha yang mesti angkat angkat kaki dari
tanah yang telah mereka tempati selama berpuluh-puluh tahun.[3]
Perlu dicatat, angka besar ini tidak dijumpai di masa pemerintahan Ahok saja.
Gubernur sebelumnya, semisal Sutiyoso juga rajin dalam menendang warganya
keluar dari rumah-rumah mereka. Sudah puluhan ribu warga Jakarta mesti
merelakan tempat tinggal mereka hancur lebur menjadi puing-puing sepanjang
Sembilan tahun masa jabatan mantan tokoh militer Indonesia itu.[4]
Mirisnya, bukan Jakarta saja yang punya cerita kelam
berjudul penggusuran paksa ini. Daerah lain juga memiliki kebijakan serupa. Pemerintah
Kota Makassar pada tahun 2004 menggusur paksa rumah rumah nelayan di Pantai
Laguna.[5]
Pada tahun 2009 giliran Pemerintah Kota Surabaya yang melakukan kebijakan
serupa terhadap warga yang tinggal di kawasan Stren Kali Jagir. Penggusuran
paksa ini berdampak pada terusirnya 380 Kepala Keluarga.[6]
Bila didata semuanya, daftar ini akan terus berlanjut sebab tidak semua kisah
penggusuran mendapat laporan wartawan atau aktifis mengingat luasnya wilayah
Indonesia dan seringnya penggusuran paksa terjadi.
Pihak yang menggusur, dalam hal ini pemerintah, seringkali
berdalih bahwa penggusuran bertujuan untuk ‘kepentingan umum’ seperti mengatasi
banjir atau untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH). Jadi, pengusiran mereka dari rumah
yang mereka tempati selama bertahun-tahun sejatinya demi kebaikan bersama juga
alias masyarakat banyak. Akan tetapi, sayangnya alibi seperti ini terkesan
tidak adil. Jika memang penggusuran harus dilakukan demi mengatasi banjir yang
sering melanda kota Jakarta, anehnya mengapa rumah-rumah warga saja yang
digusur. Apartemen, hotel, mall, dan pemukiman mewah yang berdiri di daerah
resapan air dan mengonversi lahan menjadi tempat bisnis cenderung dibiarkan.[7]
Data berbicara. Lebih dari 3000 hektar RTH di Jakarta dialihfungsikan menjadi
kawasan komersial dan permukiman elit. Disinilah terlihat sisi kemunafikan alasan
‘kepentingan umum’ pemerintah provinsi Jakarta, sebab pada kenyataannya sekarang
5 kawasan dari lahan itu menjelma menjadi hutan beton berisikan hotel, mall,
dan rumah orang-orang berduit.[8]
Pemerintah DKI Jakarta dan pihak swasta rupanya selama ini
berkolaborasi dalam menyingkirkan kaum miskin dengan membuka jalan selebar-lebarnya
kepada pihak kedua untuk menguasai lahan sebanyak-banyaknya. Sampai-sampai
ratusan hektar lahan pemerintah bernilai trilyunan rupiah yang hingga kini
tidak terdata, telah banyak yang berpindah tangan ke pihak swasta secara
diam-diam. Imbas dari semua ini adalah timpangnya jumlah penguasaan tanah
antara orang miskin dan pihak swasta di ibu kota.[9]
PRP Indonesia bahkan melaporkan bahwa pihak swasta menguasai 80-90% tanah di
Jakarta.[10]
Penggusuran paksa tentu saja melanggar banyak aturan baik
aturan yang dibuat oleh pemerintah Indonesia sendiri maupun peraturan
Internasional. UUD 1945
pasal 38 H ayat 1 menyebutkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir
batin dan bertempat tinggal. Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan
dan Permukiman juga berbunyi demikian, bahwa setiap warga negara memiliki hak
untuk menempati, menikmati, dan memiliki rumah yang layak huni. [11]
PBB bahkan sampai dengan tegas menyatakan bahwa penggusuran paksa adalah
illegal dan melanggar hak asasi manusia. Article 25 PBB menyebutkan bahwa
setiap orang berhak memiliki hak dasar
hidup seperti kesehatan, pakaian, dan tempat tinggal. The International
Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (CESCR) menegaskan bahwa
negara harus menahan diri untuk menggusur paksa warganya apalagi sampai membuat
mereka terlantar.[12]
Penggusuran paksa juga seringkali diwarnai kekerasan dengan
melibatkan aparat keamanan baik sipil (Polisi Pamong Praja dan aparat POLRI)
maupun TNI. Tentu saja ini sebuah bentuk pelanggaran sebab tugas utama aparat
diatas adalah untuk melindungi dan mengayomi rakyat bukan memerangi mereka. Parahnya
lagi, setelah membumihanguskan tempat tinggal mereka, pemerintah acapkali tidak
memberikan solusi. Atau, solusi yang diberikan masih belum proporsional seperti
lamanya relokasi warga ke rumah susun, kualitas rumah susun yang tidak layak
huni, dan nilai uang ganti rugi yang tidak sesuai dengan kerugian yang
ditanggung warga miskin akibat penggusuran.[13]
Selain itu, bercerainya warga dengan lingkungan tempat
tinggal mereka juga berdampak buruk bagi kondisi social ekonomi mereka. Mereka
tidak lagi memiliki komunitas yang bersatu sebab semuanya sudah tercerai berai.
Mata pencaharian pun tidak jarang ikut raib karena biasanya pemukiman warga
miskin dekat dengan tempat mereka bekerja seperti laut bagi nelayan dan pasar
bagi pedagang kecil. Terakhir, pendidikan anak-anak yang ikut tergusur juga
terganggu sebab mereka tidak memiliki tempat yang layak lagi untuk mengulangi
pelajaran. Kondisi orang tua anak-anak tersebut yang serba tidak menentu hingga
kadang mesti pergi jauh entah kemana, sangat berpotensi untuk membuat anak-anak mereka putus sekolah.
Teranglah sudah penggusuran paksa, bagi orang tua dan anak-anak, bukan sekedar
menyisakan trauma mendalam tetapi juga efek yang serius.
Naisah beserta yang lainnya hingga kini masih mengapung di
rumah perahu. Mereka tidak tahu untuk berapa lama harus tinggal disana. Yang
pasti, kini mereka tidak memiliki rumah lagi untuk bernaung serta tanah untuk
berpijak. Semuanya sudah hancur lebur oleh alat berat pemerintah mereka. Mereka
adalah orang-orang Indonesia yang terusir.
Comments
Post a Comment