Mentari pagi itu masih bersembunyi malu di sudut timur Bratislava, ibu
kotanya Slovakia. Berjalan menembus kabut pagi ditengah kepungan barisan toko,
restoran, dan kerumunan manusia yang lalu lalang, kami menuntun langkah penuh
semangat demi mencari sumber nafas Islam yang telah terlupakan di kota bekas
pusat kerajaan Hungaria ini. Bukan perkara mudah memang. Setidaknya kami
menghabiskan waktu kurang lebih dua jam menelusuri jalan Obchodná.
GPS yang ada di Smartphone menunjukkan bahwa masjid yang kami cari
terletak di belakang sebuah bangunan bernama Prima Banka. Namun tidak selamanya
teknologi bisa diandalkan. Buktinya setelah kami kesana tidak ada bangunan
apapun di belakang gedung bertingkat itu. Kosong Melompong. Akhirnya kami
putuskan untuk bertanya kepada para pejalan kaki yang ada di sepanjang Obchodná
Street. Tapi lagi-lagi hasilnya meleset. Tak ada dari mereka yang menunjukkan
tanda-tanda bahwa ada masjid di sekitar kota. "Is there a mosque here? I don't think so" Tanya seorang
pria paruh baya penuh heran kepada temannya. Kami menyimpulkan agaknya
pertanyaan seputar masjid memang masih tergolong pertanyaan aneh di Bratislava.
Tapi kami tak patah arang. Setelah dipikir lagi, boleh jadi
ketidaksuksesan kami dipengaruhi oleh bahasa. Oleh karena itu kami coba
mengganti kata 'mosque' dengan bahasa
setempat untuk masjid, 'Mešita'.
Namun hasilnya tetap nihil.
Tanpa mengenal putus
asa kami tetap gigih mencari. Kami yakin sekali bahwa, umat islam bisa
ditemukan di belahan bumi manapun tak terkecuali Bratislava. Logikanya adalah
muslim dimanapun mereka memerlukan tempat sholat. Jadi masjid sangat mungkin
ada di kota ini meskipun belum berhasil kami temukan. Tengah asyik berjalan
kami menjumpai sebuah pasar tradisional yang sangat mirip dengan pasar kaki
lima di Indonesia. Sejenak kami tidak percaya dengan apa yang kami lihat,
sekumpulan orang menjual pakaian di gang kecil tepi jalan. Rasa terkejut kami barangkali
dikarenakan telah lama terserang sejenis penyakit 'inferiority syndrome'
terhadap negara barat. Selalu mengaitkan segala macam kemajuan kepada negara
barat.
Kami memberanikan diri
untuk bertanya kepada para pedagang disitu mengenai pencarian kami. Semua
menggeleng kecuali seorang pria tua yang juga berprofesi sebagai pedagang
disitu. Mendengar penjelasan hajat kami dia tersenyum kemudian mengarahkan
telunjuknya ke sebentuk gerbang yang berada tepat di belakang kami berdiri di
seberang jalan. Di atap bangunan itu terpampang jelas tulisan ‘BAR-ON’! Terang saja
kami tidak percaya. Adalah amat sangat mustahil jika bangunan itu tempat
ibadahnya orang islam. Sudah menjadi consensus kalau bar yang notabene tempat
orang-orang menenggak minuman keras secara prinsipil bertentangan dengan masjid
yang tak lain sebuah rumah ibadah. Lagipula ciri identik sebuah masjid seperti
kubah dan menara saja tidak kelihatan. Kami berdua sepakat kakek tua ini ngawur.
Tapi kami penasaran
juga. Barangkali kakek tua itu tidak bermaksud untuk memperolok kami. Kami
beranjak dari barisan kedai itu, menyeberangi jalan, kemudian menyambangi
bangunan yang ditunjuknya tadi. Kaget
bukan kepalang kami berdua! Pintu gerbang bangunan itu bertuliskan Kultúrne Centrum Córdoba atau Pusat Islam Cordoba. Di kiri
kanannya gerbang ini diapit oleh toko buku dan toko cindera mata.
Tanpa berpikir dua kali kami memasuki gerbang
itu. Di dalamnya terdapat lorong panjang dengan beberapa pintu di kedua sisinya
yang mana salah satu pintu tersebut berlabel Spirit of Wine VINOTELA-VINAREN.
Diujung lorong mural seorang gadis bertato menyambut kedatangan kami. Disebelah
gadis itu tertulis TATTOO & PIERCING. Keraguan kami kembali memuncak. Tapi
tidak bisa dipungkiri kalau kami masih berharap tulisan di gerbang tadi bukan
sebuah iklan yang salah tarok. Kami bertanya kepada seorang pria muda yang
berdiri di pintu toko arak itu. “Pintu masuknya di sebelah sana” jawabnya
seadanya.
Masjidnya sama sekali tidak terlihat sebagaimana
lazimnya sebuah masjid. Lebih tepatnya hanya bangunan biasa mirip ruang kelas
sekolah. Ukurannya pun tidak begitu besar. Paling cuma bisa menampung sekitar
30 atau 40 jamaah. Di dalam masjid itu terdapat mimbar kayu untuk khutbah Jumat
. Di dindingnya tergantung kain hitam bertuliskan Asmaul Husna. Lantainya
dialasi dengan karpet merah. Sebuah rak yang penuh dengan Al Quran berdiri
kokoh di sudut kanan masjid.
Berdasarkan info yang didapat dari pria yang kami
temui di toko arak tadi, usia masjid itu sudah relatif tua. Hanya saja,
imbuhnya, pintunya seringkali tertutup. Tapi dia mengakui bahwa segerombolan
orang selalu memenuhi masjid itu setiap hari Jumat.
Kami belum puas dengan jawaban pria itu. Dengan
smartphone yang ada di genggaman kami coba menggali lagi informasi lebih dalam
mengenai masjid ini. Ternyata ada. Sebuah situs koran local bernama The Slovak
Spectator pernah mengulas masjid ini dan menuliskan bahwa bangunan yang
posisinya terpencil ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat umat islam sholat
berjamaah, tetapi juga menjadi basis pengajaran ajaran islam dan sesekali
sebagai tempat pameran kebudayaan islam.
Meskipun seolah luput dari perhatian banyak
pihak, Islam memiliki sejarah yang cukup panjang di Slovakia. Begitu juga
dengan orang islam yang telah lama menetap disana. Beberapa sumber menyebutkan,
pada abad ke 17 bagian kecil dari Slovakia pernah berada dibawah pemerintahan
Turki Utsmani sebelum akhirnya Turki menelan kekalahan dalam perang Vienna.
Tidak mudah untuk memperkirakan secara akurat
berapa jumlah penduduk muslim di Slovakia. Menurut data yang dikeluarkan oleh Pew Research Center pada tahun 2010, ada sekiranya 11.000 orang islam
disini atau sekitar 0.2 persen dari total keseluruhan penduduk Slovakia. Besar
kemungkinan angka ini bertambah bila diadakan pendataan ulang sekarang.
Orang-orang Islam yang ada di Slovakia merupakan gabungan dari masyarakat local
dan pendatang. Untuk yang terakhir, mereka dulunya datang kesini saat Ceko dan
Slovakia masih tergabung ke dalam satu negara yaitu Czechoslovakia. Mereka
datang sebagai pelajar dan menetap disini hingga sekarang.
Meskipun sejarahnya cukup panjang dan
penganutnya cukup banyak, hingga saat ini Islam tidak terdaftar sebagai agama yang
diakui di Slovakia. Pemerintah Slovakia juga berulangkali menolak permohonan Kultúrne Centrum Córdoba agar diberikan izin
resmi. Cukup beralasan bila sampai detik ini Slovakia adalah satu-satunya
negara Eropa yang tidak memiliki masjid resmi. Miris!
Pandangan masyarakat Slovakia secara umum
terhadap masyarakat muslim juga masih negatif. Berdasarkan hasil
bincang-bincang kami dengan penduduk sekitar, alasan utamanya adalah masih
kurangnya pengetahuan terhadap Islam dan pemberitaan di banyak media yang
seringkali menyudutkan agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad ini.
Keberadaan Kultúrne Centrum Córdoba di jantung
kota Bratislava merupakan sebuah saksi sejarah betapa umat Islam telah bermukim
di Slovakia dalam jangka waktu yang tidak sebentar. Bukan itu saja, kedepannya Kultúrne
Centrum Córdoba juga akan tetap memegang peranan penting dalam meruntuhkan
pendapat-pendapat miring tentang Islam yang masih beredar bebas di Slovakia melalui
aktifitas keagamaan dan edukasi yang diadakan oleh pusat kebuadayaan Islam ini.
Bratislavský hrad yang berdiri angkuh di puncak
bukit sana terlihat gelap. Diatasnya langit kemerahan, seolah murka atas dosanya
yang telah dengan sengaja melupakan Kultúrne Centrum Córdoba. Dengan air Danube
yang sejuk kami membasuh muka. Penat itu pun hilang…
Tepi Danube, akhir Maret2016.
Muhammad Beni Saputra & Muhammad Zulfikar Rakhmat
Tulisan ini juga dimuat di: http://www.kibar-uk.org/2016/04/14/masjid-yang-terlupakan-bratislava-slovakia/
Tulisan ini juga dimuat di: http://www.kibar-uk.org/2016/04/14/masjid-yang-terlupakan-bratislava-slovakia/
Comments
Post a Comment