Diatas jembatan papan itu
melintas seorang anak. Kulitnya putih, memakai baju teluk belango berwarna
krem, kopiah hitam, dan sarung Sutra Samarinda. Dia berjalan menunduk, pelan,
dengan mendekap sebuah kitab kuning di dada. Aku penasaran. Sebab, selama setahun
ke belakang batang hidungnya baru hari ini
kelihatan.
Selidik punya selidik, ternyata
dia santri baru. Baru saja pindah dari sebuah SMP di kampungya. Barangkali, kasusnya
sama denganku yang dipaksa oleh orang tua kesini untuk menimba ilmu
akhirat.
Ternyata tidak! Setelah kami
bertukar nama dan cerita, keberadaannya di pesantren atas dasar kemauannya
sendiri. Tidak seorang pun yang menyuruh. Aku kagum dengan sosok pendiam
bernama Bujang ini. Tekadnya dalam menuntut ilmu agama secara sukarela boleh
lah menjadi tauladan bagi mereka yang saban malam menangis, rindu akan ibu
bapak. Atau mereka yang merengek-rengek di depan orang tua minta dikembalikan
ke desa.
Satu tahun sekandang denganku di penjara
suci, tak banyak cerita lagi di antara kami. Geng kami berbeda. Dia terdaftar sebagai
anggota aktif di geng ‘ulama’ – sebutan kami untuk santri yang level alimnya
sudah ‘melampaui’ batas, sedang aku terdaftar di grup ‘mohabbatein’ – sebuah grup santri yang hidupnya sedari dini
sudah terkontaminasi oleh yang namanya asmara. Anggota mohabbatein bercirikan rambut
mengkilap, parfum dengan wangi semerbak, dan hobi bermain bola. Ciri terkahir
dari golongan ini adalah rajin berkirim surat. Dengan siapa lagi kalau bukan
dengan santriwati.
Kelas tiga Tsanawiyah menjadi
awal dari babak baru. Tanpa bujukan siapapun Aku dan Bujang masing-masing
sepakat untuk duduk sebangku. Pas di pojok depan kanan kelas. Hanya berjarak
beberapa jari saja dari meja guru. Mulai hari itu resmilah kami menjadi
sepasang sahabat karib. Melebur ke dalam dunia masing-masing. Identitas
bercampur antara mohabbatein dan ulama. Tepatnya menjadi ulama yang tak lupa
cinta.
Kawanku ini rupanya punya otak
bak computer. Apa saja yang diberikan kepadanya masuk semua ke kepala. Kitab
gundul? lalap makan! Bahasa Arab? Sambil pejam mata saja! Pelajaran Matematika
yang sulitnya bukan main, hingga kadang tak ada satupun yang mampu memecahkannya,
apalagi Aku yang tidak suka bila X atau Y sudah dekat-dekat dengan angka,
baginya mudah saja. Kasih saja dia kapur tulis, niscaya akan dia jawab tuntas
setuntas-tuntasnya. Tidak berlebihan kiranya bila gelar yang kami sematkan ke
Bujang adalah ulama Matematika.
Tapi jangan kau kira jadi orang
hebat itu enak. Tanya sama Bujang betapa tersiksanya dia. Oleh sebab otak
encernya, Ustadz Ilhami, ustadz yang terkenal garang itu, mewajibkan Bujang
belajar Nahwu dengannya. Sendiri. Face to face. Sehabis sholat shubuh
pula! Malangnya.
Aku berkata seperti ini bukan
apa-apa. Dua tahun lamanya kami mesti membawa kitab ke kelas setiap habis
shubuh. Dengan mata yang terkantuk-kantuk tentunya. Penghapusan waktu belajar
ba’da shubuh yang menjadi peraturan baru merupakan angin segar bagi kami semua.
Setidaknya kami bisa memejamkan mata barang setengah jam sebelum mandi pagi.
Kemalangan Bujang juga menjangkit
ke yang lain. Saat belajar malam selepas isya, belajar Tauhid, Bujang kedapatan
mengantuk. Celakanya yang mengajar adalah Ustadz Ilhami. Tidak mau santri
kesayangannya tertidur, Ustadz Ilhami cepat tanggap. Bujang diserbu dengan
pertanyaan ‘mengapa kamu mengantuk?’ Ustadz Ilhami melanjutkan
interogasinya setelah melihat Bujang diam membisu. Beliau bangkit dari tempat duduknya
maju beberapa langkah ke arah Bujang. Aku yang duduk disebelahnya mendadak
cemas.
‘Kamu memikirkan santriwati ya?’ Tanyanya
lembut. Senyum tulus Ustadz Ilhami gagal merubah wajah sangarnya. Bujang
tertunduk. Aku pura-pura khusyuk membaca kitab.
‘Iya kan, Jang’ Tagihnya lagi.
Bujang mengangguk.
‘Sudah saya duga’ Ustadz Ilhami
mengeraskan suaranya. Membalikkan badan menghadap seisi kelas.
‘Sekarang, kalian tulis nama
pacar kalian diatas selembar kertas kemudian serahkan ke saya!’
‘Bagi yang tidak mau mengaku,
tidak saya ridhoi ilmu yang saya berikan selama ini’. Tegas bak ultimatum
seorang jenderal kepada lawan perangnya.
Beberapa dari kami maju meletakkan selembar kertas berisikan nama kekasih masing-masing ke atas meja Ustadz Ilhami. Termasuk Aku sendiri. Hatiku
berkecamuk. Cemas menunggu hukuman. Disaat yang bersamaan Aku juga marah kepada Bujang.
Namun bagaimana lagi. Bujang berkirim surat dengan Siti karena Aku juga yang
memasukkannya ke dalam geng Mohabbatein. Seminggu kemudian kami dibotak massal.
Sebuah aib yang bertahan selama lebih kurang empat bulan sampai rambut panjang
lagi.
Setamat Madrasah Tsanawiyah kami
memutuskan untuk masuk Madrasah Aliyah di Pesantren. Senang betul Ustadz
Muhammad waktu itu. Sebab, permata seperti Bujang kembali melanjutkan kiprahnya
di penjara suci. Bukan mustahil di waktu yang akan datang dia menjelma sebagai
ulama besar dengan segala kemampuan otaknya yang luar biasa itu.
Ternyata perubahan itu tidak
enak. Beberapa pentolan geng Mohabatein sudah tidak di pesantren lagi. Mereka sudah
sekolah diluar. Ada yang di SMA tak sedikit pula di MA. Cerita mereka, ketika
sesekali berkunjung ke asrama, sangat sukses bikin Aku dan Bujang iri. Sekolah sekelas
dengan cewek, bebas lepas sepulang sekolah, tidak ada peraturan, mau main
apapun silahkan, tidur siang berapa jam pun tidak dilarang…aih enaknya. Yang
paling ‘menyakitkan’ adalah ejekan mereka. Katanya ‘ini lah dua ulama besar Jambi
di masa yang akan datang. Kalau ada masalah agama, jangan sungkan-sungkan
datang ke mereka.’
Tentu kami tidak rela ‘diejek’
seperti itu. Berani-beraninya mereka berbuat zholim kepada kami. Bukan mereka
saja yang bisa jadi anak gaul. Bukan mereka saja yang bisa sekolah diluar.
‘Tunggulah nanti, kami juga akan
sekolah diluar!’ jawabku sedikit emosi. Mereka terbahak. Tidak percaya dengan kalimatku.
Mulailah Aku dan Bujang mencari
celah keluar dari pesantren. Kami menonton konser Iwan Fals dan Slank tanpa
izin, jarang sekolah, dan jarang ke masjid. Kami hilang dari peredaran dengan mengurung
diri dalam asrama teman. Ustadz mencari, kakak kelas menyelidiki. Kami berdua
menjadi buronan resmi.
Setelah tertangkap, kemudian menghadap
ustadz bersama orang tua, malangnya, kami berdua tidak dikeluarkan. Plot kami
gagal total. Akhirnya Aku dan Bunag memutuskan untuk menempuh jalan yang lebih ekstrim. Kami masukkan beberapa baju
ke dalam tas, mengunci lemari rapat-rapat, setelah sholat Maghrib ketika
seluruh santri tengah berzikir, kami kabur dari pesantren. Janji kami adalah
apapun yang terjadi kami tidak akan kembali. Lebih baik berhenti sekolah
dibandingkan harus mendekap di asrama lagi. Begitulah kalimat yang kami siapkan
untuk kedua orang tua kami.
Kami sukses mengalahkan orang tua
masing-masing. Akhirnya kehidupan diluar pun kami nikmati. Bebas lepas. Tak ada
control apapun dan dari siapapun. Kami tinggal satu kosan. Meski demikian, hubungan kami mulai renggang. Kami sibuk
dengan geng masing-masing. Hidup diluar memang penuh daya Tarik. Bisa berkawan
dengan siapapun dan nongkrong sampai kapanpun.
Bujang banyak menghabiskan
waktunya di kumpulan supir angkot. Kebetulan beberapa pemuda kampungnya menjadi
supir angkot di Kota Jambi. Aku sendiri berasimilasi dengan mahasiswa dan
pemuda asal daerahku.
Ada kesamaan visi antara Aku dan
Bujang. Kami berdua sama-sama ingin membuktikan kepada dunia bahwa kami juga
bisa menjadi anak berandal. Tidak melulu sebagai anak baik kesayangan guru dan
ustadz. Bujang belajar banyak dari kawan angkot-nya sedang Aku menimba ilmu dari
para senior asal kabupatenku.
Kebersamaan Aku dan Bujang mesti
berakhir setelah dia ditarik oleh ibunya ke kampung. sepak terjangnya di Kota
Jambi sudah tercium. mulai saat itu hampir tidak ada kontak diantara kami.
Sampai beberapa tahun ke belakang.
Saat itu ada nomor baru menelponku.
Setelah diangkat ternyata Bujang. Dia berujar bahwa dia sangat ingin bersua
denganku. Sayang waktu itu Aku sedang tidak di Jambi. Kutanyakan kenapa, dengan
lirih dia menjawab:
‘Aku hancur, Fren. hancuuuuur’.
Suara kepasrahan terdengar olehku. Hatiku dipenuhi rasa iba.
Rupanya, selama kami berpisah
hidupnya dipenuhi dengan petualangan yang tak biasa. Ketergantungan narkoba,
tidak bisa lepas dari miras, dan pernah menjadi buronan polisi. Jangan tanya
pendidikan. Sudah untung dia berhasil menamatkan SMA.
Aku merasa berdosa. Apa yang
terjadi padanya sedikit banyak ada andilku disana. Andai dulu Aku tidak
mengajaknya kabur barangkali dia sekarang sudah menjadi ulama atau ilmuwan
besar dengan segala kecerdasan yang dia punya. Tapi tiada guna menyesal. Tidak baik
pula mengutuk takdir. Kujadikan perjalanan hidup ini sebagai catatan dan bahan
renungan agar lebih berhati-hati lagi dalam melangkah. Maafkan Aku, Bujang…
Comments
Post a Comment