Dibawah tangga kampus, kala
tengah asyik duduk menikmati sebatang rokok, seorang mahasiswa baru
menghampiriku.
“*$%&£ ^&&$££#E%^%” katanya.
Dengan wajah menanggung malu Aku
menjawab: “Maaf, Aku tidak bisa berbahasa Inggris”.
Sang teman tersenyum bangga bak
seorang pemanjat batang pinang yang berhasil mencapai puncak. Untuk pertama
kalinya kukutuk diriku sendiri yang berani-beraninya mengambil jurusan sastra
Inggris. Dudukku tidak nyaman lagi. Rokok yang tadinya nikmat tak terasa lagi.
Ingin rasanya Aku berlari keluar sekencang yang Aku bisa. Pergi jauh merantau
kemudian tak kembali lagi. Tapi apa kata Ayah nanti? Aku sudah berjanji
padanya, Aku akan merubah perangaiku, menjadi mahasiswa baik-baik,
menyelesaikan kuliah selama empat tahun, membaca khutbah Jumat ketika pulang ke
kampung, dan menjadi ahli Bahasa Inggris.
Hiruk-pikuk mahasiswa yang sedari
tadi memamerkan Bahasa inggris mereka mulai lengang. Mereka berduyun-duyun
menaiki tangga menuju kelas. Aku berjalan pelan di tengah mereka. Menyeret kaki
yang terasa berat, mengumpulkan tenaga, menahan malu. Di aula tingkat dua
kutemukan sebilah papan tergantung. Papan itu bertuliskan ‘English Zone’. Walau
Bahasa inggrisku level jongos, untuk tulisan itu aku tau maknanya. ‘English’
merupakan kelas yang hampir tak pernah kuhadiri saat di Madrasah Aliyah (MA)
sampai-sampai guru Bahasa Inggrisku tak mengenaliku, hingga hari ini. Sedangkan
‘zone’ tak lain sama dengan kata yang kujumpai di tempat mainku ketika sesekali
izin keluar pesantren dan tempat bolos favorit saat MA: Gamezone. Gamezone
adalah sebuah rental PlayStation di pasar Kota Jambi. Pengalamanku nongkrong
disana membuatku paham bahwa ‘zone’ itu artinya daerah jadi Gamezone berarti
tempat bermain game. Aku menyimpulkan bahwa 'English Zone' ini merupakan sebuah ultimatum jika bukan ancaman. Jangan-jangan, di aula tingkat dua ini, atau bahkan di sepanjang kawasan fakultas Adab IAIN Sulthan Thaha Saifudin Jambi, setiap mahasiswa sastra Inggris wajib hukumnya bercakap menggunakan Bahasa Inggris. Aku seperti menelan biji kedondong.
Di dalam kelas, Aku duduk paling
depan. Sebuah usaha yang tak main-main sebab bertahun-tahun kuhabiskan masa
belajarku di bangku sudut belakang kelas. Menyaksikan teman-teman baruku satu
persatu memperkenalkan diri dalam Bahasa inggris yang bagiku waktu itu,
fasehnya bukan main, membuat semangatku semakin lemah. Aku seolah menunggu
ajal. Menanti giliran leher dipancung. Cepat atau lambat Aku pasti berdiri
seperti mereka. Namun sayangnya usahaku menghafal kalimat yang mereka lontarkan
tidak berbuah hasil. Hanya satu saja yang tertangkap oleh telingaku: bunyi
‘intojus’. Apa artinya Aku tak paham. Benar juga yang dibilang guru Nahwuku
dulu bahwa Bahasa inggris adalah Bahasa ‘munafik’. Lain di mulut lain di
kertas.
“Maaf teman-teman, saya tidak
bisa berbahasa inggris. Jadi saya memperkenalkan diri dalam Bahasa Indonesia
saja” ujarku pelan dengan kepala tertunduk. Malu akan kebodohanku. Menyesal
atas kebiasaan bolosku saat di MA.
Mulai hari itu, Aku merasakan
ketakutan yang amat dahsyat. Aku takut tidak bisa tamat. Aku takut mengecewakan
ayah lagi.
Rasa takut itu kemudian menjelma
menjadi ‘sahabat’ karibku dalam menjalani masa studi. Ia mendorong semangatku
ketika jatuh, ia memaksaku membawa tas yang berisikan kamus dan hafalan kosa
kata Bahasa Inggris kemanapun Aku pergi, Ia membujukku untuk mengurung diri di
kamar dari hari senin sampai hari jumat dan mengurangi waktu kumpul dengan geng
gengku dulu, ia membuatku membaca
buku-buku pengembangan diri agar bisa mencapai derajat ‘aku yang dulu bukanlah
yang sekarang’, ia menguatkanku kala menjadi 'gelandangan' selama 1 tahun
gara-gara tidak punya uang untuk membayar kontrakan, hingga mesti nebeng sana
nebeng sini sebelum akhirnya memutuskan untuk alih profesi sebagai marbot
masjid, dan dia juga yang membuatku berhasil menyelesaikan studiku selama 4
tahun.
Dalam perjalanan hidupku sekarang
ini, dengan semua pencapaian yang Aku dapat, Aku menjadi sadar bahwa menjadi
orang penakut itu sangatlah dianjurkan. Seseorang yang dihantui rasa takut akan
berusaha melakukan apa saja agar bisa selamat dari yang dia takutkan persis
serupa dengan cerita yang Aku jumpai dalam sebuah buku. Buku tersebut
mengisahkan bagaimana seorang pemuda berhasil berenang menyeberangi sungai
penuh buaya ketika di dorong oleh temannya dari
belakang (kurang ajar tu teman, hehe). Karena takut dimakan buaya dia
berenang sekuat tenaga hingga sampai juga ke tepi. Andai saja dia tidak takut
buaya, atau buaya itu kodratnya tidak berbahaya, niscaya pemuda tersebut tidak
akan pernah mampu menaklukkan sungai selebar itu. Jadi pesanku adalah, jadilah
seorang penakut!
sukes selalu.....
ReplyDelete