Jadilah Seorang Penakut!

Dibawah tangga kampus, kala tengah asyik duduk menikmati sebatang rokok, seorang mahasiswa baru menghampiriku.
“*$%&£ ^&&$££#E%^%” katanya.
Dengan wajah menanggung malu Aku menjawab: “Maaf, Aku tidak bisa berbahasa Inggris”.
Sang teman tersenyum bangga bak seorang pemanjat batang pinang yang berhasil mencapai puncak. Untuk pertama kalinya kukutuk diriku sendiri yang berani-beraninya mengambil jurusan sastra Inggris. Dudukku tidak nyaman lagi. Rokok yang tadinya nikmat tak terasa lagi. Ingin rasanya Aku berlari keluar sekencang yang Aku bisa. Pergi jauh merantau kemudian tak kembali lagi. Tapi apa kata Ayah nanti? Aku sudah berjanji padanya, Aku akan merubah perangaiku, menjadi mahasiswa baik-baik, menyelesaikan kuliah selama empat tahun, membaca khutbah Jumat ketika pulang ke kampung, dan menjadi ahli Bahasa Inggris.
Hiruk-pikuk mahasiswa yang sedari tadi memamerkan Bahasa inggris mereka mulai lengang. Mereka berduyun-duyun menaiki tangga menuju kelas. Aku berjalan pelan di tengah mereka. Menyeret kaki yang terasa berat, mengumpulkan tenaga, menahan malu. Di aula tingkat dua kutemukan sebilah papan tergantung. Papan itu bertuliskan ‘English Zone’. Walau Bahasa inggrisku level jongos, untuk tulisan itu aku tau maknanya. ‘English’ merupakan kelas yang hampir tak pernah kuhadiri saat di Madrasah Aliyah (MA) sampai-sampai guru Bahasa Inggrisku tak mengenaliku, hingga hari ini. Sedangkan ‘zone’ tak lain sama dengan kata yang kujumpai di tempat mainku ketika sesekali izin keluar pesantren dan tempat bolos favorit saat MA: Gamezone. Gamezone adalah sebuah rental PlayStation di pasar Kota Jambi. Pengalamanku nongkrong disana membuatku paham bahwa ‘zone’ itu artinya daerah jadi Gamezone berarti tempat bermain game. Aku menyimpulkan bahwa 'English Zone' ini merupakan sebuah ultimatum jika bukan ancaman. Jangan-jangan, di aula tingkat dua ini, atau bahkan di sepanjang kawasan fakultas Adab IAIN Sulthan Thaha Saifudin Jambi, setiap mahasiswa sastra Inggris wajib hukumnya bercakap menggunakan Bahasa Inggris. Aku seperti menelan biji kedondong.
Di dalam kelas, Aku duduk paling depan. Sebuah usaha yang tak main-main sebab bertahun-tahun kuhabiskan masa belajarku di bangku sudut belakang kelas. Menyaksikan teman-teman baruku satu persatu memperkenalkan diri dalam Bahasa inggris yang bagiku waktu itu, fasehnya bukan main, membuat semangatku semakin lemah. Aku seolah menunggu ajal. Menanti giliran leher dipancung. Cepat atau lambat Aku pasti berdiri seperti mereka. Namun sayangnya usahaku menghafal kalimat yang mereka lontarkan tidak berbuah hasil. Hanya satu saja yang tertangkap oleh telingaku: bunyi ‘intojus’. Apa artinya Aku tak paham. Benar juga yang dibilang guru Nahwuku dulu bahwa Bahasa inggris adalah Bahasa ‘munafik’. Lain di mulut lain di kertas.
“Maaf teman-teman, saya tidak bisa berbahasa inggris. Jadi saya memperkenalkan diri dalam Bahasa Indonesia saja” ujarku pelan dengan kepala tertunduk. Malu akan kebodohanku. Menyesal atas kebiasaan bolosku saat di MA.
Mulai hari itu, Aku merasakan ketakutan yang amat dahsyat. Aku takut tidak bisa tamat. Aku takut mengecewakan ayah lagi.
Rasa takut itu kemudian menjelma menjadi ‘sahabat’ karibku dalam menjalani masa studi. Ia mendorong semangatku ketika jatuh, ia memaksaku membawa tas yang berisikan kamus dan hafalan kosa kata Bahasa Inggris kemanapun Aku pergi, Ia membujukku untuk mengurung diri di kamar dari hari senin sampai hari jumat dan mengurangi waktu kumpul dengan geng gengku dulu,  ia membuatku membaca buku-buku pengembangan diri agar bisa mencapai derajat ‘aku yang dulu bukanlah yang sekarang’, ia menguatkanku kala menjadi 'gelandangan' selama 1 tahun gara-gara tidak punya uang untuk membayar kontrakan, hingga mesti nebeng sana nebeng sini sebelum akhirnya memutuskan untuk alih profesi sebagai marbot masjid, dan dia juga yang membuatku berhasil menyelesaikan studiku selama 4 tahun.
Dalam perjalanan hidupku sekarang ini, dengan semua pencapaian yang Aku dapat, Aku menjadi sadar bahwa menjadi orang penakut itu sangatlah dianjurkan. Seseorang yang dihantui rasa takut akan berusaha melakukan apa saja agar bisa selamat dari yang dia takutkan persis serupa dengan cerita yang Aku jumpai dalam sebuah buku. Buku tersebut mengisahkan bagaimana seorang pemuda berhasil berenang menyeberangi sungai penuh buaya ketika di dorong oleh temannya dari  belakang (kurang ajar tu teman, hehe). Karena takut dimakan buaya dia berenang sekuat tenaga hingga sampai juga ke tepi. Andai saja dia tidak takut buaya, atau buaya itu kodratnya tidak berbahaya, niscaya pemuda tersebut tidak akan pernah mampu menaklukkan sungai selebar itu. Jadi pesanku adalah, jadilah seorang penakut!

Comments

Post a Comment