“U..huk…u..huk…”
Suara
batuk itu terus menggema tiada henti. Si empunya badan, Pak Dolah
menarik
nafas dalam dengan tenaga yang tersisa. Namun serangan batuk itu terlalu
perkasa untuk dikalahkan. Dengan tangan yang lunglai, Pak Dolah meraba gelas berisi air putih yang sedari tadi tergeletak disampingnya.
“Sudahlah
duduk-duduk diluar itu Pak, dingin…” Seseorang tiba-tiba menegurnya. Suara itu
berasal dari dalam rumah.
Pak
Dolah memilih untuk tidak peduli. Baginya suara batinnya jauh lebih lantang
dari bunyi apapun. Perang yang tak kunjung usai dalam pikirannya menyeret Pak
Dolah jauh. Sejauh yang tak bisa diukur oleh dirinya sendiri. Pak Dolah
tenggelam ke dalam danau kehidupan yang carut marut.
Sudah
lama Pak Dolah memilih untuk tidak
peduli. Tapi apa hendak dikata. Peduli itu datang sendiri. Duduk diteras
rumahnya, menghadap kelam yang terbentang di muka, Pak Dolah mencoba menguraikan
pikirannya yang kusut dengan sebatang rokok yang ada di jarinya. Rokok memang
kerap menjadi teman orang-orang yang mendekati putus asa.
Dihisapnya
dalam-dalam rokok itu. Matanya terpejam penuh khidmat. Sesekali dia mainkan
kepulan asap rokoknya ke udara. Sehingga tampaklah bongkahan awan kecil yang
samar-samar di telan gelapnya malam. Angin yang berhembus membuat kumpulan asap
itu meyebar. Pecah tak berbekas. Pak Dolah hanyut terseret arus nikamat sedotan cerutunya walaupun dengan nafas yang
tersengal-sengal. Pak Dolah memang tak pandai lagi mengatur nafas dengan baik. Batuk
keringnya kembali terdengar nyaring.
Pak
Dolah adalah seorang laki-laki kurus kerempeng usia lima puluhan. Matanya
bundar dipayungi alis tipis yang mulai memutih. Kulitnya kendor, gelap akibat
sengatan sinar matahari. Bibirnya hitam terbakar, persis seperti buah sawo yang
sedang matang. Jika mulutnya merekah, isinya kosong melompong. Hanya gusi yang
sudah tak merah lagi yang tampak mata. Jika Pak Dolah hendak berdiri, dia harus
mengumpulkan tenaga dulu. Sebab seluruh persendiannya sudah tidak bersahabat lagi.
“Apa
yang Bapak pikirkan diluar itu sendirian?” Suara tadi kembali menyahut. Namun
kali ini lebih lantang. Sebab yang punya mulut melontarkannya tepat di telinga
kanan Pak Dolah.
“Tidak
ada yang kupikirkanx, Jah” Jawab Pak Dolah seadanya sambil menyalakan cerutu
yang baru. Dipijit-pijitnya ujung cerutu itu sambil diputar-putar.
Tanpa
menoleh ke seseorang dikanannya, Pak Dolah bergumam. “Kenapa kamu belum tidur,
Jah?” Suara Pak Dolah kembali terdengar malas-malasan.
“Ah,
bagaimana aku bisa tidur jika bapak terus-terusan begini!” Batin Ijah dalam
hati. Ingin sekali rasanya ia keluarkan kata-kata itu. Namun ia urungkan
niatnya karena ibunya selalu berpesan untuk berkata lemah lembut kepada suaminya.
Sudah bukan rahasia bila kepala suaminya sekeras batu.
Ijah
menarik nafas lalu duduk di sebelah Pak Dolah. Bau rokok Pak Dolah menusuk
hidungnya.
“Ahuk….A….huk…”
Suara
batuk Pak Dolah kian panjang. Kali ini ia kehabisan air untuk memulihkan
tenggorokannya. Di terawangnya gelas minumnya. Tampak jelas tak setetespun air
tersisa.
“Bapak
mau minum lagi?” Kata Ijah sambil menggosok pundak suaminya. Pak Dolah hanya menganggukkan
kepalanya tanpa menoleh ke Ijah.
“Ayo
kita minum di dalam saja Pak” Bujuk Ijah lembut. Pak Dolah tak bergeming.
“Ayolah…disini
sangat dingin, tidak baik bagi kesehatan bapak. Besok kan bapak kerja lagi” Dipegangnya
tangan suaminya yang dingin itu hendak dibawanya ke dalam rumah.
Kalimat
terakhir Ijah ini rupanya berhasil membangunkan
Pak Dolah dari lamunannya. Ia berhasil pula menghilangkan rasa nikmat rokok Pak
Dolah. Ijah menarik tangan suaminya dengan lembut kemudian menuntunnya ke
dalam.
“Bapak
mau kopi?” Ijah menarik kursi kayu dari bawah meja, mempersilakan suaminya
duduk. Pintu depan yang masih ternganga dengan cekatan dia tutup.
Pak
Dolah masih tak bergumam. Dengan agak susah payah direnggutnya teko air putih yang
tergeletak diatas meja. Ijah yang duduk dihadapan Pak Dolah, di seberang meja,
mendorong teko itu sampai Pak Dolah bisa meraihnya. Dituangkannya air itu ke
dalam gelas lalu meneguknya habis tak bersisa.
“Sudahlah…jangan
terlalu bapak pikirkan kredit motor itu. Kalau memang harus di tarik orang dealer
berarti hanya sampai disitu jodoh kita dengannya” Ijah mencoba menghibur Pak
Dolah.
Tangannya
masih saja menggenggam cangkir kopi yang sedari senja tadi ia buatkan untuk Pak
Dolah. Kopi itu kini sudah dingin.
“Itulah
Jah” Jawab Pak Dolah. Keresahan tampak jelas dari nada suaranya.
“Aku
sayang betul dengan sepeda motorku ini. Sudah hampir tiga tahun aku bersamanya.
Tak terhitung pula sudah berapa juta uang yang telah aku setor ke dealer itu.
Tapi…” Suara Pak Dolah terputus tiba-tiba. Ia berusaha mengambil nafas yang
dalam untuk mengontrol emosinya yang membuncah.
“Tapi
kenapa mereka begitu bernafsu untuk mengambilnya dariku? Padahal tinggal empat
bulan saja kredit itu. Uang yang telah kita bayar selama 2 tahun 8 bulan ke
belakang ini sama sekali tidak dianggapnya.”
Ijah
kebingungan bagaimana harus bersikap. Ia betul-betul tidak tahu harus
berkomentar apa perihal protes suaminya itu. Sambil mengaduk-aduk kopi dingin
yang ada ditangannya ia mencoba untuk merangkai kalimat. Tapi semua huruf
seolah lari tak mau disatukan. Lidahnya begitu kelu untuk berucap. Tak biasanya
seperti itu.
“Bapak
relakan saja…mudah-mudahan akan diganti dengan yang lebih baik lagi” Akhirnya
Ijah menemukan kalimat yang dia cari.
“Relakan
katamu? Enak betul kau berucap Jah. Tak sadarkah kau tanah pusaka kita yang
diseberang kampong itu sudah terjual karenanya? Jangan-jangan kau juga lupa dengan
simpanan cincin emasmu yang juga sudah tergadai itu.
Ijah
tak mampu bekata. Pak Dolah tertunduk. Ijah pun ikut. Mereka berdua sama-sama kehabisan cara untuk mengalahkan realita pahit yang sedang melanda. Pak Dolah menegakkan kepalanya tidak mau berlama-lama terlihat lemah di depan Ijah. Disandarkannya badannya
ke sandaran kursi kayunya. Dilihatnya langit-langit rumahnya yang kian keropos
di makan rayap. Kopi yang ada di genggaman Ijah semakin dingin. Pak Dolah tetap gagal tampil tegar.
“Jah”
Pak Dolah memecah kesunyian.
“Bila
besok orang dealer itu benar-benar tiba, kita kasih sajalah motor itu. Tiada
guna juga kita tahan. Kita ini orang lemah. Tak paham hukum lagi. Takut rasanya
Aku mesti masuk penjara di usia yang sudah tidak muda lagi ini.”
wow cerita yang menarik kak.. kalau ingin tahu tentang cara membuat toko online yukk disini saja.. terimakasih
ReplyDelete