Eva, begitu dia dipanggil seringkali mengucapkan ‘pardon’ untuk mengklarifikasi kalimat yang
saya lontarkan. Sambil tersenyum dan malu-malu, wanita Polandia ini kemudian berujar
‘I’m sorry my English is not good’.
Eva datang ke Manchester bermodalkan Bahasa Inggris seadanya karena tujuan
kedatangannya pun seadanya, hanya untuk bekerja kasar seperti mengepel atau
membersihkan kaca.
Perbincangan saya dengan Eva tempo hari meninggalkan
perasaan yang bercampur aduk dalam mengakhiri tahun ini. Di satu sisi saya antusias
sebab tidak lama lagi masyarakat Jambi secara resmi akan memiliki pemimpin baru
yang semoga saja membawa angin perubahan baru. Tapi disisi lain ada kegelisahan
di sudut hati saya sebab 31 Desember 2015 merupakan awal dari babak baru, bergulirnya
Masyarakat Ekonomi Asia Tenggara. Ya, suka atau tidak, siap atau belum, Asean
Economic Community akan tetap menyapa. Mengingat komunitas ini adalah komunitas
lintas negara tentu Bahasa Inggris memiliki peran sentral. Untuk bersaing
dengan warga Asia Tenggara, seperti apa peta kemampuan Bahasa Inggris masyarakat
Bumi Sepucuk Jambi Sembilan Lurah?
Berbicara kefasihan berbahasa Inggris, Indonesia masih
dibawah Singapura, Malaysia, bahkan Vietnam jika merujuk pada English Proficiency Index yang dirilis
oleh sebuah perusahaan pendidikan internasional, English First. Meskipun
kefasihan berbahasa Inggris orang Indonesia masuk dalam kategori ‘moderate’ atau menengah berdasarkan
perusahaan ini, namun seperti yang dikritisi oleh The Economist, metode tes
yang dipakai oleh English First menggunakan koneksi internet. Artinya hanya
mereka yang terkoneksi ke dunia maya saja yang dijadikan sampel sedangkan yang
tinggal di desa-desa tidak. Besar kemungkinan hasilnya akan berubah jika test
ini juga melibatkan masyarakat di pedesaan.
Pandangan majalah The Economist berlaku untuk Provinsi Jambi
dimana kefasihan berbahasa Inggris masih timpang. High English Proficiency atau kemampuan Bahasa Inggris tingkat
tinggi masih menjadi kepunyaan mereka yang tinggal di Kota dan mengambil
jurusan Bahasa Inggris di universitas. Sedangkan bagi yang berdomisili di
daerah Bahasa Inggris cenderung masih barang mewah lagi asing. Bukti sederhananya
terlihat ketika seleksi Pertukaran Pemuda Antar Negara (PPAN) diadakan.
Sepanjang pengalaman keterlibatan saya dalam proses penyeleksian dan sebagai
alumni program, sangat jarang pemuda atau pemudi yang dari kabupaten ikut
seleksi. Maka wajar saja, sampai detik ini yang lolos PPAN hampir selalu mereka
yang berasal dari Kota Jambi atau menempuh pendidikan di Kota Jambi. Yang dari
daerah selalu gigit jari sebab nilai TOEFL tidak memadai.
Lemah dan tidak meratanya kemampuan Bahasa inggris
masyarakat jambi setidaknya berimbas pada dua hal amat vital.
Pertama, keadaan ini akan menghambat perkembangan Provinsi
Jambi itu sendiri. Riset membuktikan, sebagaimana yang dilaporkan oleh website
Harvard Business Review, terdapat korelasi langsung antara skill Bahasa Inggris
yang bagus dari suatu populasi terhadap kemampuan ekonomi dan indeks
perkembangan manusia suatu negara. Ini artinya, semakin rendah kemampuan Bahasa
inggris masyarakat Jambi maka semakin rendah pulalah laju perkembangan
provinsinya.
Kedua, terlewatnya berbagai peluang emas
meng-internasionalisasikan diri. Disamping PPAN banyak sekali kesempatan bagi masyarakat
Jambi untuk merasakan atmosfir dunia luar asalkan memiliki kemampuan berbahasa Inggris
mumpuni. Beasiswa lpdp yang disediakan oleh kementrian keuangan adalah
segelintir contohnya. Beasiswa ini membuka pintu selebar-lebarnya bagi seluruh
rakyat Indonesia untuk melanjutkan pendidikan S2 dan S3 di dalam dan luar
negeri. Siapa saja boleh daftar dan meraih peluang duduk di bangku kuliah
universitas ternama di seluruh dunia. Namun lagi lagi, sayangnya sejauh ini masih
sedikit penerima dari Jambi, hanya belasan saja. Dan, dari angka ini, tidak
seorangpun jebolan kampus kabupaten. Absennya
putra putri daerah tak lain dan tak bukan karena rendahnya kemampuan Bahasa
Inggris mereka.
Pertanyaannya adalah, sudah berapa banyak talenta-talenta
muda Provinsi Jambi yang terabaikan? Berapa banyak ahli Matematika, Biologi, Kimia,
dan seterusnya yang ketinggalan kesempatan mengeyam belajar di kampus kelas
dunia di Amerika, Jepang atau Eropa hanya gara-gara tidak memiliki kemampuan Bahasa
Inggris yang memadai?
Oleh karena itu, dengan usainya Pilgub 2015 ini tidak salah
rasanya jika kita gantungkan harapan kepada gubernur baru nanti, gubernur
terpilih, agar memandang serius persoalan pelik Bahasa Inggris ini. Selama ini
pemerintah daerah seolah lepas tangan dan membiarkan para pemuda berjuang
sendirian. Mereka mendirikan tempat belajar dan komunitas Bahasa Inggris tanpa support apapun dari pemegang kebijakan.
Kedepannya pemerintah baru bisa membuat program 5 tahunan dengan mendirikan
tempat belajar Bahasa Inggris gratis di setiap kabupaten kota. Atau bila perlu
tiap kecamatan. Anak-anak muda yang berpotensi di Kota Jambi bisa direkrut
untuk dijadikan sebagai tenaga pengajar.
Salah satu poin kerja sama yang tertulis di ASEAN Economic
Community Blueprint adalah ‘free flow of
skilled labour’ atau pergerakan bebas tenaga kerja terampil. Kalimat ini
merupakan peringatan keras bagi pemerintah Provinsi Jambi jika tidak mau
berbenah dalam meningkatkan kemampuan Bahasa Inggris masyarakatnya. Mulai tahun
depan sangat berkemungkinan pekerja asing seperti Eva berdatangan kemudian
secara perlahan menggusur tenaga kerja lokal. Masih persoalan sepelekah ini?
Comments
Post a Comment