Izinkan Budi Wujudkan Mimpi, Guru

Waktu telah menunjukkan jam 2 siang, namun yang ditunggu tak kunjung datang. Sudah enam jam budi duduk termenung di teras itu tanpa ada kepastian. Ya, sebuah kepastian yang tak jua pasti yang sedang ditunggu olehnya. Tubuhnya telah kehilangan daya. Sama persis dengan baterai handphonenya yang sudah mulai kosong. Sedari tadi ia mencoba untuk meneleponnya, namun tak ada jawaban. Sms pun tak di balas. Entah apa yang terjadi, hanya tuhanlah yang tau. Sementara suasana kampus sudah mulai lengang seiring kian berkurangnya para penghuni gedung. Satu persatu dari mereka telah meninggalkan kampus sejak satu jam yang lalu. Ada yang lansung terbang ke rumah masing-masing tanpa stop, namun ada juga yang memilih untuk transit terlebih dahulu di berbagai tempat sebelum menuju kediaman tercinta. Mereka yang transit biasanya hendak melanjutkan aktifitas lain untuk sekedar memanfaatkan waktu luang sebelum matahari terbenam. Sedangkan mereka yang memilih untuk lansung pulang ke rumah biasanya juga untuk melanjutkan aktifitas rutin lainnya juga, yaitu tidur.

Karena tak kuat menahan lapar, akhirnya budi menyerah juga. Dengan kekuatan yang tersisa ia ayunkan langkahnya yang mulai lusuh itu. Sambil berjalan ia mencoba untuk menghidupkan kembali mimpi-mimpi indahnya yang kini mulai terusik. Mimpi yang begitu lama ia rajut, mimpi yang begitu sulit untuk terwujud. Dalam kekalutan yang semakin dalam seketika ia teringat akan cerita neneknya tentang detik-detik kelahirannya.

Kala itu orang-orang desa susah makmur berkumpul di sebuah rumah warga desa. Pak Nasihin nama pemilik rumah itu. Mereka berbondong-bondong ke rumah pak Nasihin untuk menyambut kelahiran seorang anak yang tak lain adalah calon warga baru di desa itu. Dengan batangan rokok di tangan masing-masing, para bapak-bapak sibuk berdiskusi mengenai hasil panen mereka yang melimpah dari biasaya. Gelak tawa mereka memenuhi ruang tamu yang tak begitu besar itu.

“pak, pak! Anak bapak sudah lahir! Ayo cepat kedalam…” suara seorang wanita tengah baya sontak menghentikan riuh ruang tamu.

Mendengar teriakan sang dukun itu, pak Mahmud bergegas masuk kedalam untuk menyambut kedatangan ananda tercinta.

“ayo digendong putranya pak, jangan termenung saja…” imbuh sang dukun itu lagi.

Di ambilnya tubuh yang merah itu. Dengan cucuran air mata ditatapnya mata sang anak yang begitu bersinar. Tatapan yang sangat dalam. Tatapan sejuta harapan. Mata anak itu begitu tajam, bagaikan pedang pendekar khayalan. Raungan tangis membuat matanya semakin membara. Tersedu-sedan pak Mahmud. Bergetar tubuhnya menahan energi bahagia yang keluar dari seluruh pori-pori. Dengan suara terbata pak Mahmud berkata pada dirinya sendiri:

“kelak, putraku ini akan menjadi orang hebat yang akan merubah dunia…”

Hanya sepenggal kalimat itu yang mampu terucap dari mulut sang ayah. Satu baris kata yang mengandung sejuta makna. Harapan yang begitu tulus dari seorang ayah. Harapan yang keluar dari lubuk hati terdalam.

Tanah kelahiran budi amatlah jauh dari peradaban dunia modern. Sewaktu ia lahir saja, disana masih gelap gulita. Hal itu tak lain dikarenakan masyarakatnya masih menggunakan penerangan lampu minyak tanah. Mereka tak kenal yang namanya listrik apalagi alat-alat elektronik. Televisi mereka adalah hamparan sawah. Kipas angin mereka jendela rumah. Desa mereka adalah dunia mereka.

Kini 22 tahun telah berlalu. Budi bukan lagi seorang bayi mungil yang digendong oleh bapaknya. Ia kini telah terdaftar sebagai mahasiswa disebuah universitas islam negeri di ibu kota provinsinya. Sudah lebih kurang tiga tahun setengah ia menimba ilmu di perguruan islam negeri itu.

“Eh udah pulang…gimana? Ketemu sama dosen pembimbingmu tadi?” pertanyaan dari temannya itu sontak membuyarkan lamunannya.

“iya nih udah pulang…” jawab budi dengan suara pelan sambil berjalan menuju kamarnya.

Karena belum dijawab, Hakim kembali bertanya dengan membuntuti budi dari belakang. “jadi gimana dosenmu tadi? Datang dia?”

“Tidak kim…” jawab budi dengan suara pelan.

“Bukannya dosenmu udah janji mau nemuin kamu dikampus hari ini?” si hakim makin penasaran.

“iya kim…waktu aku telpon kemarin katanya dia akan ke kampus hari ini. tapi ku tunggu berjam-jam gak juga datang-datang” sahut budi sangat pelan sambil merebahkan badan di kasur usang miliknya.

Melihat temannnya semakin terpukul, Hakim mencoba untuk menguatkan. “sabar ya teman…memang seperti itu cobaan menjadi seorang sarjana. Saya dulu juga seperti itu ketika dalam proses penulisan skripsi. Sudah tak terhitung berapa puluh jam saya habiskan waktu di teras kampus hanya untuk menunggu dosen-dosen pembimbing saya. Sudah tak terhitung berapa banyak kekecewaan yang saya bawa pulang ke kosan gara-gara mereka tak datang. Tapi saya tetap sabar. Karena saya tahu bahwa Tuhan sedang menguji saya apakah saya cukup kuat untuk menjadi seorang sarjana…”

Mendengar kata-kata itu Budi terhenyak. Sambil memandang langit-langit kamar, direnunginya penggalan –penggalan kalimat yang keluar dari mulut sobat karib. Konsep cobaan yang baru saja didengungkan oleh sang kawan sepertinya sangat menarik perhatiaannya.

“Mungkin ada benarnya juga apa yang dikatakan hakim. Boleh jadi ini adalah ujian dari Tuhan kepadaku untuk menjadi seorang sarjana…” batinnya dalam hati.

Namun, semakin direnungnya kata cobaan itu entah mengapa hatinya semakin menolak. Terdapat perdebatan sengit yang bergejolak di dalam sanubarinya.

“Kalau memang Tuhan mau menguji calon sarjana seperti aku, berarti Tuhan itu tidaklah maha bijaksana. Hal ini karena tak hanya aku yang mengalami kepahitan ini. Ada banyak teman-temanku di negeri ini yang mengalami hal yang sama. Mereka sama-sama berjuang untuk menemui sang mahaguru agar dibimbing ke jalan yang tepat untuk skripsi mereka. Bahkan, kalau memang seperti itu, Tuhan itu tidak maha adil. Di negeri seberang sana, para mahasiswa dapat dengan mudah menemui professor mereka. Sang guru besar selalu ada di ruangannya pada jam kerja. Mereka juga siap untuk bertemu dimana saja dan kapan saja selagi mereka memungkinkan untuk melakukannya. Pendek kata, mereka sangat senang untuk membantu para mahasiswa yang sedang penelitian agar penelitian mereka berjalan mulus dan sukses. Aku yakin Tuhan itu maha adil. Aku yakin Tuhan tidak sedang mengujiku. Apa yang aku alami bukanlah cobaan Tuhan pun takdirNya. Ini tak lain hanyalah bagian dari kekuasaanNya yang hendak menunjukkan kepadaku dan dunia perihal perilaku penduduk negeri ini. Sebuah negeri yang di kenal dengan dengan mayoritas penduduk Islamnya, negeri yang mengagung-agungkan sisi keramah-tamahannya…”

Tak terasa oleh Budi telah sekian lama ia menatap langit-langit usang itu. Dilihatnya hakim yang telah tertidur pulas di sampingnya. Hembusan nafas sarjana nganggur itu seakan mengisyaratkan tak ada harapan tersisa untuknya. Cerita pahit yang dilaluinya hari ini merupakan rangkaian episode yang akan tayang lagi esok hari. Namun, Budi memilih untuk berkeyakinan lain. Ia percaya bahwa harapan itu selalu ada selagi setiap individu berkomitmen untuk membuktikan dua sisi dari negeri ini kepada dunia; sisi Islamnya dan sisi keramahannya.

Comments