Tersebutlah kisah tentang sepasang sahabat bernama Akik dan Ikil. Mereka berdua dilahirkan di sebuah pulau di tepian sungai yang airnya mengalir jernih dan udaranya amat segar sebab disekeliling pulau itu pohon-pohon raksasa masih menjulang tinggi. Kicauan burung, raungan kera, berpadu dengan kokok ayam hutan jantan senantiasa membangunkan mereka tiap pagi bak melodi-melodi indah hasil gubahan Mozart.
Jalan hidup dua sejoli ini memiliki plot yang berbeda. Semasa kecil Akik mesti menghadapi sebuah kenyataan pahit, dia terpaksa menganggukkan kepala atas sebuah tawaran untuk berpisah dengan keluarganya, keluarga batu, oleh seseorang tak dikenal dari negeri antah-berantah. Tragedi ini secara otomatis menceraikan Akik dengan kampung halamannya yang tercinta, Pulau Batu, serta sobat karib tersayang, Ikil. Walau sulit, Akik tak memiliki daya dan upaya untuk melawan. Dengan kepala tertunduk, mata basah, dan tubuh lunglai Akik berangkat pasrah. Dilambaikannya tangan kanannya ke atas tanda salam perpisahan kepada kedua orang tua dan semua kenangan indah yang terukir di kampung halamannya selama ini.
Sementara itu Ikil memilih untuk sembunyi dibawah ketiak ibu bapaknya di belakang bongkahan batu besar yang teronggok di sudut pulau. Terakhir diketahui, rupanya batu itu adalah keluarga besarnya Ikil. Mereka semua tinggal disitu bersatu padu mulai dari kakek, nenek, paman, bibi, sepupu, keponakan, cucu, cicit, menantu, sampai pembantu. Maka selamatlah Ikil. Tersenyum lebarlah kedua orang tuanya. Pecahlah gelak tawa di keluarga besar itu. Mereka merayakan hari itu dengan menyembelih udang sebanyak 2 ons dan berpesta hingga larut malam. Ikil baru saja diselamatkan dari upaya orang luar yang hendak merenggutnya dari sanak familinya padahal mereka tidak ingin berpisah dan Ikil pun tak berniat meninggalkan teman-teman bermain di kampung halamannya. Maka wajar saja jika hari itu masuk dalam kategori hari besar Ikil sekeluarga yang patut dirayakan.
Masa-masa selanjutnya dilalui dengan nuansa yang berbeda oleh kedua batu ini. Hari-hari Ikil penuh gelak tawa. Bermain kesana kemari dengan teman-teman dan berlimpahan kasih sayang dari keluarga. Pendek kata hidup Ikil seolah tidak mendapatkan kesusahan apapun. Sedangkan Akik memiliki jalan cerita lain di perantauan, di negeri yang sama sekali tidak dikenalnya. Asing. Dia diperlakukan semena-mena oleh orang tak dikenal yang dulu merenggut kebahagiaan dan kebebasannya semasa di desa. Tubuhnya tidak utuh lagi karena telah dibelah. Kepala entah kemana kakipun telah hilang. Bentuknya kini sudah menyerupai kubus dengan sisi berserakan. Seakan tak putus dirundung malang, tubuh Akik kemudian berkali-kali digosok dengan permukaan halus namun cukup pedih jika terasa oleh tubuh. Penggosokan tubuhnya itu membuat warna Akik berubah. Kulitnya tidak seperti dulu dan dia tidak lagi mirip dengan anggota keluarganya yang lain. Khawatir betul hatinya kalau-kalau ibu bapaknya tidak mengenali dia lagi. Setelah berulangkali tersiksa, belakangan baru dia tahu kalau alat yang mengelupaskan kulit arinya itu bernama amplas.
Naas nasib Akik. Ternyata siksaannya tidak hanya dari amplas saja tetapi kini sudah berbentuk lain yang lebih menakutkan. Dia gugup lagi histeris ketika mendengar bunyi melengking dengan bulatan yang berpusing menyentuh tubuhnya kemudian mengoyak-ngoyak dagingnya. Tak terperikan rasa sakit yang dialaminya hingga air mata saja yang keluar. Akik meraung tapi tak terdengar sebab suara gerinda memenuhi cakrawala. Akik menangis sejadi-jadinya namun apa hendak dikata tiada seorangpun yang peduli.
Akik mengira itu saja penderitaannya. Tetapi tidak! Suatu ketika dia dicelupkan ke dalam air yang dingin. Berhari-hari lamanya hingga tubuhnya terasa beku. Ingin sungguh dia keluar merasakan nikmat sinar mentari namun apa daya dia tak kuasa. Lagi-lagi cuma pasrah lah yang dia bisa.
Seketika Akik teringat nasihat orang tuanya semasa di kampung dulu. Saat itu Akik kecil tengah berlari girang di depan ayah dan ibunya dalam perjalanan ke kebun lumut milik mereka. Entah karena terlalu bergembira atau kurang hati-hati, Akik tersandung ranting dan terjerembab. Lututnya lecet dan lengannya biru. Akik pun menangis sejadi-jadinya. Anehnya orang tua Akik tidak mengangkat dan mengelus-elus Akik sebagaimana yang Akik harapkan. Ayahnya hanya mendekat, memegang pundak Akik, menghapus air matanya, kemudian berujar: "Nak, hidup itu keras. Kau harus siap dengan segala susah payah yang akan kau lalui. Jika kau terjatuh, menangislah kalau kau merasakan sakit. Tapi ingat, jangan berlama-lama disana. Segera bangkit sebab jalanmu masih panjang. Masih ada mentari esok yang akan melebarkan senyumnya untukmu. Keberhasilan itu mahal harganya nak, jadi kau harus tabah dalam menghadapi segala tantangannya"
Kata-kata ayahnya tadi membuat Akik sedikit tabah. Dia mulai berpikiran, boleh jadi ini semua demi kebaikan dirinya. "Barangkali ayah dan ibuku tidaklah tidak sayang denganku, atau mereka juga tidaklah tidak iba dengan kondisiku. Mereka mungkin sengaja membiarkanku begini agar aku memetik pelajaran hidup dan menjadi batu yang dimuliakan"
Bulan berganti tahun berlalu. Akik dan Ikil kini telah menjadi dua batu dewasa yang berpenampilan tak serupa180 derajat. Ikil berperawakan seperti leluhurnya dari warna hingga bentuk tubuhnya. Tak berbeda sedikitpun. Sedangkan Akik kini memiliki warna yang mencolok dan bercahaya yang membuat sejuk mata memandang. Tempat tinggal mereka juga tidak sama. Ikil terbenam dibawah semen menjadi pondasi rumah manusia, terperangkap dan tidak bisa bergerak. Semua teman-teman Ikil bernasib sama dengannya. Sedangkan Akik tak disangka duganya kini tempatnya sangat spesial. Dinding rumahnya terbuat dari emas 24 karat yang dibangun khusus sesuai dengan bentuk tubuhnya sehingga sekuat apapun hentakan atau benturan yang melanda, tubuh akik tidak akan terpental.
Bukan itu saja, dalam beberapa bulan terakhir ini banyak sekali orang yang tertarik dengannya. Masing-masing datang dengan harga tertinggi serta tawaran rumah yang mewah. Hanya satu orang saja yang Akik pilih, meskipun rumah emas yang ditawarkan orang itu tidak begitu megah bila dibandingkan dengan rumah-rumah dari orang lain yang sedang antri ingin memilikinya, yaitu seorang tua berjenggot asal kampung halamannya, Pulau Batu. Pak Tua Batu namanya. Sosok kepala suku batu yang amat bersahaja, jujur, dan disegani oleh seantero penduduk negeri batu. Dengan tangan bergetar karena terharu, Pak Tua Batu membawa Akik yang tengah terisak tangis bahagia pergi dan menempatkannya di jari manisnya. Sayang betul dia dengan Akik. Kemana-mana dibawanya. Kotor sedikit dibersihkannya. Setiap ada pertemuan dipamerkannya kepada teman-temannya. Dan yang paling membahagiakan Pak Tua Batu dan Akik adalah, dengan kembalinya Akik ke kampung halaman, mereka berdua bisa bersinergi menebarkan inspirasi serta memperbaiki keadaan negeri sedikit demi sedikit. Tahun-tahun selanjutnya menjadi sejarah hebat di Pulau Batu, sebab penduduk pulau kecil itu berlomba-lomba ingin memiliki kilau seperti Akik walaupun mereka sepenuhnya sadar bahwa untuk menjadi bercahaya tubuh mereka mesti disiksa. Mereka memilih untuk tiada peduli. Sepertinya, pepatah 'bersakit-sakit dahulu bersenang kemudian' yang terdapat di setiap sampul buku mereka saat SD dulu sudah pindah, meresap lalu menyatu dengan aliran darah di tiap-tiap badan mereka.
Kini Pulau Batu makmur sentosa dengan nikmat melimpah ruah sebab penduduknya telah dipenuhi oleh Akik yang sangat peduli satu sama lain. Dan, tetap menjadi seorang Ikil sekarang bukan lagi pilihan tepat sebab Ikil telah menjadi simbol aib yang tak tertanggungkan di kampung Pulau Batu. Sekian.
mbs
Dalam balutan dingin pagi kota Manchester
Comments
Post a Comment