Udara terasa dingin,
menggantikan hawa panas yang telah sekian lama memeluk bumi Jambi beserta
penghuninya. Sungai mengering, air surut bercampur lumpur kental – yang bila
digunakan untuk mandi tubuh tidak akan menjadi bersih malahan semakin kotor
– hadiah dari tambang emas ilegal yang sengaja dibiarkan oleh pihak yang
katanya berwenang dan oleh pemerintah yang konon kerjanya selalu memerintah.
Pagi ini saya tidak
tertarik menceritakan hujan tadi malam yang begitu menyiksa batin seorang
bujangan seperti saya dan barangkali juga anda. Ada satu hal yang sejatinya ingin
saya kemukakan, sebuah pengganggu akal sehat saya akhir-akhir ini, yang semakin
dipendam keberadaannya kian menusuk otak saya. Untuk itu, daripada saya
mengidap penyakit berbahaya nantinya, saya putuskan untuk mencurahkannya saja
melalui tulisan ini.
Baiklah, sebelum saya
mulai panjang lebar, izinkan saya menyeruput teh limau kuning atau dalam bahasa
kafenya lemon tea buatan saya sendiri dulu sambil menunggu rebusan ketela saya
matang.
Begini, saya acap kali
mendengar, bertukar cerita, atau mendapatkan kabar, tentang satu hal:
penyogokan yang dilakukan oleh seorang sarjana demi mendapatkan pekerjaan. Realita
ini membuat saya geram, shock, marah, sedih, tertawa, kasihan, dan bodoh. Saya
geram karena jumlah uang yang ‘disedekahkan’ biasanya berjumlah wow, shock
setelah mengetahui ada perlombaan tersendiri di arena satu ini, marah karena
uang itu mubazir, sedih karena menganggap otak si pemberi uang sudah tidak lagi
berfungsi dengan baik, kasihan melihat orang tuanya menjual harta pusaka,
tertawa menyaksikan kebodohan tingkat tinggi ini, sedih karena ternyata
pendidikan bertahun-tahun yang ditempuh oleh mereka yang terlibat belum
berhasil, dan bodoh karena satu pertanyaan: “apakah saya terlalu dungu dan
gagal beradaptasi dengan zaman?”
Adalah rahasia kita
bersama selama ini dimana jika si fulan ingin menjadi seorang aparatur negara
atau PNS yang bersangkutan mesti menyediakan uang puluhan bahkan ratusan juta
rupiah. Jika tidak siap-siaplah gigit jari sebab baju kuning yang diidamkan
boleh jadi sudah ditebus oleh mereka yang antri.
Ok, it’s fine! Itu
sudah menjadi norma yang sepertinya sudah tidak tabu lagi, alias ‘normal’
dengan dalih ‘hari gini tidak ada
yang gratis’. Meski demikian, maafkan saya, perbuatan yang demikian tetap saya
masukkan kedalam kelompok idiot.
Malangnya, akhir-akhir
ini upeti tidak hanya dipungut dari yang mau jadi pegawai negeri saja tetapi
juga sudah dikenakan kepada mereka yang
bermaksud untuk menjadi bagian yang riskan ditendang, tenaga honorer.
Lucunya lagi, yang dikenakan biaya tidak keberatan bahkan berlomba-lomba untuk
membayar. Untuk menambah keironisan jalan cerita, kebanyakan dari mereka yang
berminat adalah para sarjana yang telah menghabiskan waktu belasan tahun bahkan
ada yang melalui fase puluhan tahun agar bisa menjadi manusia yang mampu
berpikir jernih bukan primitif. Seseorang yang tidak tamat SD saja belum tentu
mau memberikan uang berjuta-juta secara cuma-cuma demi diberikan pekerjaan. Kok mereka yang sudah menghabiskan
banyak bangku sekolah mau-mau saja. Pertanyaannya disini adalah siapa yang
terdidik dan siapa yang tidak?
Karena semakin gusar,
beberapa hari ini saya mencoba menerawang mencari jawaban dari fenomena ganjil
atau saya istilahkan kemunduran berpikir ini. Hemat saya, pemicunya ada 4 macam. Mari kita coba urai satu persatu:
Pertama, salah niat
sewaktu mendaftar kuliah. Banyak saya temui mahasiswa yang berangkat ke Kota
Jambi bukan berniat sepenuhnya untuk menuntut ilmu melainkan didorong oleh
faktor lain. Ada yang ingin lari dari kewajiban membantu orang tua di kampung.
Tak sedikit pula berawal dari kegalauan akut karena kesepian sebab
banyak teman sebaya yang pergi jauh untuk tujuan studi atau mengais rezeki.
Pada akhirnya mereka ikut-ikutan berangkat ke Jambi atau kota lainnya tanpa tau
untuk apa sebenarnya dia kuliah. Diantara mereka banyak juga yang terlanjur berpikiran
– yang didukung sepenuhya oleh orang tua – bahwa pendidikan tinggi adalah
tempat penggemblengan manusia agar bisa menjadi miliuner.
Alhasil, mereka hanya datang
ke kampus, duduk, pulang, makan, main, tidur, dan mengulangi rutinitas yang
sama selama beberapa tahun kedepan. Giliran mau menggarap skripsi, sibuk
mencari orang yang bisa membuatkan kemudian membayar beberapa juta. Hasilnya
sudah bisa ditebak, banyak penyandang gelar S1 yang kosong melompong tiada isi.
Ditolak disana sini sebab tidak menguasai disiplin ilmu sesuai titel yang
diperoleh, kikuk dalam berkomunikasi,
dan nihil networking. Kalau sudah begini duitlah solusi cemerlangnya mumpung
beberapa kantor pemerintahan, khususnya di daerah, tidak perduli kemampuan otak
seseorang. Otak kosong boleh tapi kantong jangan.
Kedua, persepsi yang
salah di banyak masyarakat mengenai satu hal yang berhubungan dengan PNS, yaitu
profesi ini menjanjikan Rupiah berlimpah
sebagaimana yang telah mereka saksikan sendiri di kampung. Kepala sekolah punya
beberapa mobil mewah, pegawai kantor bupati memiliki kebun berhektar-hektar,
perhiasan emas istri Kabag bergelantungan di leher dan tangan. Fenomena ini ‘mendidik’
sebagian masyarakat untuk sama sekali tidak keberatan menyogok demi mendapat
kartu as kelas sosial ini meskipun dalam keseharian banyak dari mereka tidak
pernah tinggal sholat 5 waktu dan ibadah vertical lainnya. Saking mengkilapnua symbol
sosial bernama PNS ini sampai-sampai teman saya berkelakar kalau seseorang
belum dianggap bekerja, biarpun gajinya di perusahaan swasta sangat besar atau
omset bisninya ratusan juta, jika dia bukan seorang PNS, wah..wah…
Ketiga, masyarakat kita
kebanyakan masih mendewakan hasil bukan proses. Ingin berhasil maunya jalan
pintas bukan berdarah-darah. Maka sogok-menyogok menjadi hal yang lumrah biarpun agama marah.
Ingin kaya kepengennya instan
sehingga seringkali bukan soal jika seseorang berpenghasilan tidak wajar dari
profesi yang diembannya. Bermunculanlah pegawai negeri berpenghasilan pengusaha
sukses, pegawai bank berpendapatan puluhan juta, pegawai DLLAJ dengan seseran
yang jauh melampaui gaji sebulan, polisi yang memiliki rumah bak istana, dan seterusnya.
Filosofi hasil adalah segalanya ini tercermin dari sedikitnya jumlah orang yang
memiliki jiwa pekerja keras seperti yang dimiliki oleh bangsa-bangsa lain
seperti bangsa Jepang, Korea, atau bangsa kulit putih. Meski tidak semua manusia
dari bangsa yang disebutkan adalah pekerja keras namun jika dihitung per kepala
saya optimis jumlah mereka lebih banyak dari kita dalam hal ini.
Keempat, keengganan
untuk merantau. Lihatlah berapa banyak masyarakat Jambi yang di luar Jambi bila
dibandingkan dengan masyarakat lain seperti orang Minang, Jawa atau Bugis. Mereka-mereka
ini berani mengambil resiko untuk berpetualang meskipun tanah yang didiaminya tidak
kalah suburnya dengan tanah kita.
Pentingnya merantau, hemat
saya, dikarenakan dirantaulah seseorang berada di luar zona aman mengingat dia
tidak memiliki sanak famili tempat bergantung dikala susah, tanah orang tua
untuk menegakkan rumah, dan sawah ladang untuk bercocok tanam. Dalam posisi
yang serba terdesak seperti ini dan didorong oleh insting bertahan hidupnya,
manusia secara alamiah akan berusaha keras bermandi keringat agar tidak
kelaparan, kedinginan, apalagi mati sia-sia. Coba bandingkan dengan mereka yang
tetap di kampung halaman ditengah-tengah keluarga plus harta benda warisan
serba cukup. Apakah yang bersangkutan akan bekerja keras? Jawabannya seringkali
adalah ‘untuk apa?’
Beruntunglah mereka
yang memiliki orang tua pekerja keras sehingga mampu mengumpulkan harta untuk
anak cucu. Bagaimana dengan yang tidak berpunya? Untuk golongan yang satu ini
tentu rumit apalagi lapangan kerja formal terbatas di daerahnya. Jika tidak
memiliki hasrat dan jiwa merantau, kemudian diperparah oleh beberapa faktor
diatas, tentu saja dia akan kesulitan mencari sumber rezeki. Alhasil, jika ada
tawaran untuk menyerahkan sejumlah uang demi suatu profesi, dia tidak akan
berpikir panjang lagi untuk berhutang atau menjual harta pusaka.
Akhirnya saya
menghimbau teman-teman yang membaca tulisan ini untuk sama-sama menjernihkan
pikiran dan meningkatkan kualitas diri agar tidak mudah diperbodoh oleh tawaran
untuk menyerahkan uang tanpa syarat kepada orang lain demi menjadi ‘orang makan
gaji’. Kita sebagai orang yang terdidik mestilah memiliki pola pikir yang
terdidik pula. Pola pikir yang maju yang bisa membedakan mana yang untung dan
mana yang buntung. Mana yang dibolehkan oleh agama dan mana yang tidak. Jika
tidak seperti ini maka tiada bedanya kita dengan orang yang tidak pernah
menempuh pendidikan formal. Bukankah jauh lebih baik dan tentu saja halal jika
uang yang berjumlah banyak itu digunakan untuk membeli kebun atau memulai usaha
yang hasilnya bisa jadi lebih besar dari gaji bulanan honorer atau bahkan PNS?
Anyway, ubi talas saya
sudah matang. Saatnya saya mengisi perut agar lebih bertenaga menghadapi hari
ini…Terima kasih sudah membaca. :)
Comments
Post a Comment