Teman, Mari Berpikir!

Udara terasa dingin, menggantikan hawa panas yang telah sekian lama memeluk bumi Jambi beserta penghuninya. Sungai mengering, air surut bercampur lumpur kental – yang bila digunakan untuk mandi tubuh tidak akan menjadi bersih malahan semakin kotor –  hadiah dari tambang emas ilegal  yang sengaja dibiarkan oleh pihak yang katanya berwenang dan oleh pemerintah yang konon kerjanya selalu memerintah. 

Pagi ini saya tidak tertarik menceritakan hujan tadi malam yang begitu menyiksa batin seorang bujangan seperti saya dan barangkali juga anda. Ada satu hal yang sejatinya ingin saya kemukakan, sebuah pengganggu akal sehat saya akhir-akhir ini, yang semakin dipendam keberadaannya kian menusuk otak saya. Untuk itu, daripada saya mengidap penyakit berbahaya nantinya, saya putuskan untuk mencurahkannya saja melalui tulisan ini.

Baiklah, sebelum saya mulai panjang lebar, izinkan saya menyeruput teh limau kuning atau dalam bahasa kafenya lemon tea buatan saya sendiri dulu sambil menunggu rebusan ketela saya matang. 

Begini, saya acap kali mendengar, bertukar cerita, atau mendapatkan kabar, tentang satu hal: penyogokan yang dilakukan oleh seorang sarjana demi mendapatkan pekerjaan. Realita ini membuat saya geram, shock, marah, sedih, tertawa, kasihan, dan bodoh. Saya geram karena jumlah uang yang ‘disedekahkan’ biasanya berjumlah wow, shock setelah mengetahui ada perlombaan tersendiri di arena satu ini, marah karena uang itu mubazir, sedih karena menganggap otak si pemberi uang sudah tidak lagi berfungsi dengan baik, kasihan melihat orang tuanya menjual harta pusaka, tertawa menyaksikan kebodohan tingkat tinggi ini, sedih karena ternyata pendidikan bertahun-tahun yang ditempuh oleh mereka yang terlibat belum berhasil, dan bodoh karena satu pertanyaan: “apakah saya terlalu dungu dan gagal beradaptasi dengan zaman?”

Adalah rahasia kita bersama selama ini dimana jika si fulan ingin menjadi seorang aparatur negara atau PNS yang bersangkutan mesti menyediakan uang puluhan bahkan ratusan juta rupiah. Jika tidak siap-siaplah gigit jari sebab baju kuning yang diidamkan boleh jadi sudah ditebus oleh mereka yang antri.

Ok, it’s fine! Itu sudah menjadi norma yang sepertinya sudah tidak tabu lagi, alias ‘normal’ dengan dalih ‘hari gini tidak ada yang gratis’. Meski demikian, maafkan saya, perbuatan yang demikian tetap saya masukkan kedalam kelompok idiot. 

Malangnya, akhir-akhir ini upeti tidak hanya dipungut dari yang mau jadi pegawai negeri saja tetapi juga sudah dikenakan kepada mereka yang  bermaksud untuk menjadi bagian yang riskan ditendang, tenaga honorer. Lucunya lagi, yang dikenakan biaya tidak keberatan bahkan berlomba-lomba untuk membayar. Untuk menambah keironisan jalan cerita, kebanyakan dari mereka yang berminat adalah para sarjana yang telah menghabiskan waktu belasan tahun bahkan ada yang melalui fase puluhan tahun agar bisa menjadi manusia yang mampu berpikir jernih bukan primitif. Seseorang yang tidak tamat SD saja belum tentu mau memberikan uang berjuta-juta secara cuma-cuma demi diberikan pekerjaan. Kok mereka yang sudah menghabiskan banyak bangku sekolah mau-mau saja. Pertanyaannya disini adalah siapa yang terdidik dan siapa yang tidak? 

Karena semakin gusar, beberapa hari ini saya mencoba menerawang mencari jawaban dari fenomena ganjil atau saya istilahkan kemunduran berpikir ini. Hemat saya, pemicunya ada  4 macam. Mari kita coba urai satu persatu:

Pertama, salah niat sewaktu mendaftar kuliah. Banyak saya temui mahasiswa yang berangkat ke Kota Jambi bukan berniat sepenuhnya untuk menuntut ilmu melainkan didorong oleh faktor lain. Ada yang ingin lari dari kewajiban membantu orang tua di kampung. Tak sedikit pula berawal dari kegalauan akut karena kesepian sebab banyak teman sebaya yang pergi jauh untuk tujuan studi atau mengais rezeki. Pada akhirnya mereka ikut-ikutan berangkat ke Jambi atau kota lainnya tanpa tau untuk apa sebenarnya dia kuliah. Diantara mereka banyak juga yang terlanjur berpikiran – yang didukung sepenuhya oleh orang tua – bahwa pendidikan tinggi adalah tempat penggemblengan manusia agar bisa menjadi miliuner. 

Alhasil, mereka hanya datang ke kampus, duduk, pulang, makan, main, tidur, dan mengulangi rutinitas yang sama selama beberapa tahun kedepan. Giliran mau menggarap skripsi, sibuk mencari orang yang bisa membuatkan kemudian membayar beberapa juta. Hasilnya sudah bisa ditebak, banyak penyandang gelar S1 yang kosong melompong tiada isi. Ditolak disana sini sebab tidak menguasai disiplin ilmu sesuai titel yang diperoleh, kikuk dalam berkomunikasi, dan nihil networking. Kalau sudah begini duitlah solusi cemerlangnya mumpung beberapa kantor pemerintahan, khususnya di daerah, tidak perduli kemampuan otak seseorang. Otak kosong boleh tapi kantong jangan. 

Kedua, persepsi yang salah di banyak masyarakat mengenai satu hal yang berhubungan dengan PNS, yaitu profesi  ini menjanjikan Rupiah berlimpah sebagaimana yang telah mereka saksikan sendiri di kampung. Kepala sekolah punya beberapa mobil mewah, pegawai kantor bupati memiliki kebun berhektar-hektar, perhiasan emas istri Kabag bergelantungan di leher dan tangan. Fenomena ini ‘mendidik’ sebagian masyarakat untuk sama sekali tidak keberatan menyogok demi mendapat kartu as kelas sosial ini meskipun dalam keseharian banyak dari mereka tidak pernah tinggal sholat 5 waktu dan ibadah vertical lainnya. Saking mengkilapnua symbol sosial bernama PNS ini sampai-sampai teman saya berkelakar kalau seseorang belum dianggap bekerja, biarpun gajinya di perusahaan swasta sangat besar atau omset bisninya ratusan juta, jika dia bukan seorang PNS, wah..wah…

Ketiga, masyarakat kita kebanyakan masih mendewakan hasil bukan proses. Ingin berhasil maunya jalan pintas bukan berdarah-darah. Maka sogok-menyogok  menjadi hal yang lumrah biarpun agama marah. Ingin kaya kepengennya instan sehingga seringkali bukan soal jika seseorang berpenghasilan tidak wajar dari profesi yang diembannya. Bermunculanlah pegawai negeri berpenghasilan pengusaha sukses, pegawai bank berpendapatan puluhan juta, pegawai DLLAJ dengan seseran yang jauh melampaui gaji sebulan, polisi yang memiliki rumah bak istana, dan seterusnya. Filosofi hasil adalah segalanya ini tercermin dari sedikitnya jumlah orang yang memiliki jiwa pekerja keras seperti yang dimiliki oleh bangsa-bangsa lain seperti bangsa Jepang, Korea, atau bangsa kulit putih. Meski tidak semua manusia dari bangsa yang disebutkan adalah pekerja keras namun jika dihitung per kepala saya optimis jumlah mereka lebih banyak dari kita dalam hal ini.

Keempat, keengganan untuk merantau. Lihatlah berapa banyak masyarakat Jambi yang di luar Jambi bila dibandingkan dengan masyarakat lain seperti orang Minang, Jawa atau Bugis. Mereka-mereka ini berani mengambil resiko untuk berpetualang meskipun tanah yang didiaminya tidak kalah suburnya dengan tanah kita. 

Pentingnya merantau, hemat saya, dikarenakan dirantaulah seseorang berada di luar zona aman mengingat dia tidak memiliki sanak famili tempat bergantung dikala susah, tanah orang tua untuk menegakkan rumah, dan sawah ladang untuk bercocok tanam. Dalam posisi yang serba terdesak seperti ini dan didorong oleh insting bertahan hidupnya, manusia secara alamiah akan berusaha keras bermandi keringat agar tidak kelaparan, kedinginan, apalagi mati sia-sia. Coba bandingkan dengan mereka yang tetap di kampung halaman ditengah-tengah keluarga plus harta benda warisan serba cukup. Apakah yang bersangkutan akan bekerja keras? Jawabannya seringkali adalah ‘untuk apa?’

Beruntunglah mereka yang memiliki orang tua pekerja keras sehingga mampu mengumpulkan harta untuk anak cucu. Bagaimana dengan yang tidak berpunya? Untuk golongan yang satu ini tentu rumit apalagi lapangan kerja formal terbatas di daerahnya. Jika tidak memiliki hasrat dan jiwa merantau, kemudian diperparah oleh beberapa faktor diatas, tentu saja dia akan kesulitan mencari sumber rezeki. Alhasil, jika ada tawaran untuk menyerahkan sejumlah uang demi suatu profesi, dia tidak akan berpikir panjang lagi untuk berhutang atau menjual harta pusaka.

Akhirnya saya menghimbau teman-teman yang membaca tulisan ini untuk sama-sama menjernihkan pikiran dan meningkatkan kualitas diri agar tidak mudah diperbodoh oleh tawaran untuk menyerahkan uang tanpa syarat kepada orang lain demi menjadi ‘orang makan gaji’. Kita sebagai orang yang terdidik mestilah memiliki pola pikir yang terdidik pula. Pola pikir yang maju yang bisa membedakan mana yang untung dan mana yang buntung. Mana yang dibolehkan oleh agama dan mana yang tidak. Jika tidak seperti ini maka tiada bedanya kita dengan orang yang tidak pernah menempuh pendidikan formal. Bukankah jauh lebih baik dan tentu saja halal jika uang yang berjumlah banyak itu digunakan untuk membeli kebun atau memulai usaha yang hasilnya bisa jadi lebih besar dari gaji bulanan honorer atau bahkan PNS?

Anyway, ubi talas saya sudah matang. Saatnya saya mengisi perut agar lebih bertenaga menghadapi hari ini…Terima kasih sudah membaca. :)







Comments