Beberapa waktu lalu saya tanpa sengaja bersua dengan teman
lama ketika dalam perjalanan ke tempat kerja. Teman saya tersebut berpakaian lusuh,
tidak rapi dan sedikit kotor. Sontak saja saya kaget bercampur prihatin. Untuk
mencairkan suasana saya berinisiatif untuk bertanya tentang pekerjaan dia saat
ini. Saya serasa menelan batu ketika dengan lirih dia menjawab bahwa dia
berprofesi sebagai tukang AC.
Tidak lama berselang, ketika pulang kampung, saya disuguhkan
dengan cerita yang agak mirip. Saat itu saya tengah berbincang dengan Ayah
mengenai silaturahmi keluarga saya baru-baru ini ke rumah teman lama saya. Betapa
saya terkejut ketika Ayah mengutarakan kalau sobat saya tersebut sekarang mata
pencahariannya sebagai supir truk pengangkut tanah. Beberapa waktu setelahnya,
saya terus mendapatkan kabar-kabar yang serupa. Si A bekerja sebagai kernek escavator
(sejenis alat berat pengeruk tanah), si B kembali ke profesi nenek moyangnya
sebagai penyadap pohon karet, si C ikut orang berbalok (aktifitas menebang kayu
di hutan secara illegal), si D menjadi pekerja Dongfeng (tambang emas illegal
di sungai, sawah, dll) si E menjadi pengangguran, dan seterusnya tanpa bisa
lagi saya ingat.
Saya tidak mengecilkan suatu profesi. Bagi saya sejatinya
semua usaha mencari rezeki itu mulia selagi tidak merugikan orang lain.
Permasalahannya adalah orang orang yang telah saya sebutkan diatas itu semuanya
menyandang gelar sarjana! Setiap mereka pernah berfoto dengan senyum lebar
memakai toga dikelilingi oleh orang-orang tercinta. Kepala-kepala mereka
semuanya pernah diisi dengan ilmu pengetahuan yang semestinya bisa digunakan
untuk mengais rupiah dengan jalan yang lebih pantas. Namun apa daya, mereka
telah membina, memilih, dan menjalankan kehidupan yang mereka desain sendiri sewaktu
duduk dibangku kuliah.
Izinkan saya mengelompokkan manusia. Kelompok pertama adalah
kelompok ‘orang biasa’ sedangkan kelompok yang kedua adalah kelompok ‘orang
luar biasa’. Untuk menjadi anggota kelompok pertama sangat mudah. Jalani saja
hidup ini seadanya seperti air mengalir, tanpa beban, dan tak perlu bekerja
keras. Saya jamin 1000% seseorang akan diterima di dalam kelompok tersebut. Untuk
mendapatkan kartu anggota kelompok ke dua sedikit membutuhkan kerja ekstra
yaitu seseorang diharuskan memiliki usaha yang lebih dari orang lain. Jika dia
seorang mahasiswa, dia mesti membaca buku dan belajar jauh lebih giat dari
teman sekelasnya agar mendapatkan nilai lebih baik dan ilmu lebih banyak. jika
dia seorang petani, dia wajib bekerja
lebih lama dan tak kenal lelah agar kebunnya lebih luas dari orang kebanyakan.
Jika dia seorang politikus, dia harus lebih banyak berbohong, menebar senyum
palsu sambil bagi-bagi rupiah, dan pandai berakting bak actor kawakan agar
terpilih di pemilu (saya yakin anda tidak tertarik menjadi politikus ‘luar
biasa’yang seperti ini). Pendek kata, organisasi orang luar biasa itu menuntut
seseorang untuk tidak berlama-lama di tempat tidur.
Kalau kita menghitung, saya rasa kita akan mendapatkan hasil
yang sama dimana jumlah ‘orang biasa’ di bumi ini akan jauh lebih banyak dari
orang luar biasa (mudah-mudahan sebagian besarnya tidak tinggal di Indonesia). Percayalah
kawan, ‘orang biasa’ itu sudah banyak, berserakan, tidak ditoleh, tidak
terpakai, dan tidak dianggap. Apalagi sarjana ‘orang biasa’, jumlahnya
meningkat drastis sepanjang tahun. Ijazah-ijazah mereka banyak yang tiada
berguna karena ilmunya tertinggal di buku dan buku tersebut banyak yang sudah
hilang. Oleh karena itu, jadilah yang luar biasa karena kelompok yang satu ini
langka dan jarang orang yang bersedia! Kelompok ini juga sangat spesial karena
anggota-anggotanya memiliki sesuatu yang lebih dari kelompok pertama. Kebun
petaninya lebih luas, prestasi sarjananya lebih banyak, perusahaan pengusahanya
lebih besar, dan ilmu cendekiawannya lebih dalam. Saya cukup pede mengatakan
bahwa jika anda memilih untuk bergabung ke dalam kelompok terakhir ini maka anda
tidak akan berakhir seperti teman-teman sarjana saya diatas itu!
Para sahabat yang telah saya sebutkan diatas sudah memilih
ke golongan mana mereka hendak dimasukkan, sengaja atau tidak dan sadar atau
tidak. Semasa kuliah mereka biasa biasa saja. Belajar hanya di kampus itupun
sambil menguap lebar, buku jarang dipegang, luar biasa sibuk dengan kegiatan di
luar entah itu organisasi atau MLM sampai-sampai menomorduakan tugas utama
yaitu belajar, berteman dengan orang biasa, tidak tergerak untuk menatap masa
depan yang lebih baik, takut bermimpi besar, dan parahnya menganggap jalan
hidup seperti itu sebagai proses ideal untuk menjadi menantu idaman mertua. Saya
rasa akal sehat anda dan saya sepaham akan hal ini bahwa kita tidak ingin
mengikuti jejak mereka. Kita sama-sama memimpikan kehidupan yang lebih mulia
dimana kehadiran kita berarti dan keabsenan kita dicari. Oleh sebab itu, karena
kita sama-sama sudah sepemikiran, saya mengajak anda untuk bangkit dari tempat
tidur dan mulai mempelajari jalan hidup orang-orang luar biasa. Kita tiru pola
hidup mereka, kita resapi ketabahan mereka dalam menghadapi kesulitan, kita
contoh pendirian teguh mereka, kita jiplak kedisiplinan mereka, dan kita
teladani ketamakan mereka akan ilmu
pengetahuan. Kalau sudah begini, maka insya allah saya dan anda akan jadi
seperti mereka dan bahkan bisa lebih. Sepakat?
Allah itu maha adil. Dia membuat sesuatu itu selalu
berpasangan. Ada orang biasa dan ada juga orang luar biasa. Tetapi Allah juga
maha bijaksana. Dia membebaskan kita untuk memilih ke golongan mana hendak kita
masuk. Teman-teman yang telah saya sebutkan sayangnya telah memilih untuk
menjadi anggota kelompok orang biasa. Semoga saja tidak banyak lagi yang
mengikuti jejak mereka.
Comments
Post a Comment