Oleh-oleh Pahit dari Kampung



Nurani saya kembali tercabik oleh realita setelah beberapa hari yang lalu kembali ke kampung halaman. Semula, saya menganggap tradisi pulang kampung saya akan menjadi sebuah pengalaman hebat. Namun naas, apa yang saya idamkan ternyata meleset dari kenyataan. Suasana kampung saya tidak semarak seperti biasa! Muka-muka lesu tak berdaya saya jumpai di setiap sudut desa. Pasar yang biasanya penuh sesak oleh manusia pun, apalagi menjelang lebaran haji, sama sekali tidak tampak oleh mata kepala saya.

Apa yang saya lihat adalah sebuah kejutan mengingat saya menghabiskan banyak waktu di Kota Jambi yang perekonomian masyarakatnya tampak baik-baik saja. Naluri saya sebagai ‘orang kota’ pun cenderung beranggapan bahwa naik turunnya harga suatu komoditi merupakan hal yang lazim karena itu adalah bagian dari dinamika perekonomian. Akan tetapi, asumsi tersebut tidaklah sama dengan apa yang dirasakan oleh masyarakat pedesaan. Harga karet yang terus merosot tak terkendali di daerah saya contohnya, telah menyeret sendi-sendi kehidupan masyarakat disana hingga  ke level terbawah. Hal ini bakalan diperparah oleh wacana kenaikan harga BBM bersubsidi. Jika memang terjadi, semakin malanglah nasib mereka.

Disamping kelapa sawit, karet memang telah lama menjadi sumber penghidupan utama di daerah saya, Kabupaten Tebo, Jambi. Saya yakin hal yang sama juga berlaku di kabupaten lain di Provinsi Jambi mengingat sebagian besar perekonomian Provinsi Jambi disumbang oleh sektor karet dan sawit (60%). Fakta ini tak ayal telah membuat banyak kepala di Jambi menggantungkan nasib di setiap tetesan getah karet. Jika aliran getah dari hasil sadapan mengalir deras dan harga jualnya masuk akal, maka mengepullah asap dapur. Namun bila tetesannya tersendat dan uang yang didapat dari hasil penjualan tidak sepadan dengan biaya yang dikeluarkan, alamat bencana akan datang.

Biasanya harga karet berkisaran 10.000 sampai bahkan 20.000 per kilonya. Dengan harga ini cukuplah untuk para petani memenuhi kebutuhan dapur dan biaya sekolah anak-anak. Namun kini harga getah kehidupan tersebut telah jauh dari harga manusiawi. Ia terus merosot dan merosot hingga menyentuh harga yang tidak berharga lagi. Mula-mula Rp. 9.000 per kilo, kemudian turun ke Rp. 6000 hingga sekarang di kisaran 3.500 – 5000 per kilonya. Kisaran harga yang berlaku saat ini tentu jauh dari kata cukup untuk menghidupi nyawa keluarga petani karet. Apalagi jika dibandingkan dengan  harga beras yang sudah rata-rata 10.000 per kilo dan BBM eceran yang bernilai 8.000 per liter. Alhasil, banyak petani memilih berganti profesi demi menyambung hidup. Ada yang menjadi buruh di perusahaan perkebunan yang ada di sekitar desa. Tak sedikit dari mereka yang mendompeng – sebuah istilah yang merujuk kepada aktifitas penambangan emas ilegal – di sungai dan sawah. Bagi penggelut sektor ini, kondisi sungai yang keruh dan tercemar akibat dari aktifitas dompeng atau terus-terusan diburu petugas kepolisian bukan lagi hal-hal yang mesti dipertimbangkan. Yang  mereka pikirkan hanya satu, hari ini nafas keluarga mereka masih berhembus dan anak-anak mereka masih tersenyum berangkat ke sekolah dengan sedikit uang jajan. Meskipun demikian, masih banyak yang memilih bertahan walau nyawa mereka kempang-kempis mengingat biaya yang dikeluarkan untuk menyadap karet tak sepadan dengan uang yang dihasilkan. Mirisnya lagi, tak sedikit dari mereka yang menjual harta benda seperti kebun dan tanah demi melanjutkan nafas kehidupan di bumi ini. Malang!

Kehidupan para petani karet yang suram saat ini berpotensi besar untuk menjadi lebih tragis lagi dalam beberapa bulan ke depan ketika harga BBM berhasil dinaikkan oleh pemerintah. Banyak dari mereka berharap hari itu tidak terjadi. Kiamat sepertinya lebih adil bagi mereka, karena dengan kiamatlah semua manusia akan binasa tanpa terkecuali, daripada membuat harga BBM semakin tidak terjangkau. Asumsi pemerintah untuk menaikkan harga BBM dari harga saat ini Rp. 65.000/liter ke Rp. 9.500/liter akan membuat harga di daerah mereka berkisar 11.000-12.000/liter. Nilai ini tentunya sangat fantastis di saat harga jual karet yang tidak sampai empat ribu rupiah per kilonya. Lebih parahnya lagi, harga kebutuhan pokok otomatis akan mengekor harga BBM. Beras akan semakin mahal dan kebutuhan  pokok lainnya pun akan  semakin meroket.

Pemerintah boleh berkeyakinan bahwa opsi untuk menaikkan harga BBM adalah jalan yang terbaik untuk ‘menyelamatkan’ perekonomian negara. Atau, mereka juga diizinkan untuk berpendapat bahwa uang yang dikucurkan untuk mensubsidi BBM akan lebih baik digunakan untuk sektor lain seperti memperbaiki infrastruktur di negeri ini. Namun, sayangnya alibi-alibi tersebut tidak cukup untuk melapangkan dada masyarakat pedesaan di Jambi. Sudah lama mereka menggantungkan hidup ke BBM sebagai bahan bakar pokok untuk pulang pergi ke perkebunan karet yang letaknya seringkali tak dekat dengan rumah mereka. Jika motor tidak memiliki minyak maka mereka pun tidak bisa mencapai kebun. Kalau sudah begini, malaikat maut tinggal menunggu perintah untuk mencabut nyawa-nyawa mereka. Infrastruktur yang lebih baik pun tidak mereka rasakan. Sudah seringkali negeri ini berganti rezim, sudah tak terhintung pejabat daerah mengelabui mereka, dan sudah beberapa kali harga BBM dinaikkan, namun jalan untuk mencapai kebun-kebun mereka tetaplah berlumpur dan terjal. Jauh dari kata layak. Pengecualian hanyalah pada mereka yang memiliki kebun karet yang sejalur dengan alur transportasi perusahaan perkebunan dimana akses jalan biasanya dibangun oleh perusahaan yang bersangkutan. Selebihnya harus berjuang sendiri-sendiri mengarungi jalan-jalan yang berkubang lumpur. 

Memang betul dulu jalan-jalan yang menghubungkan Kabupaten Tebo dengan wilayah perkebunan masyarakat di beberapa kecamatan seperti Kecamatan Sumay, Serai Serumpun, dan Tebo Ulu pernah mendapat predikat lumayan bagus meskipun masih tanah liat. Namun hal ini bukanlah sebuah bentuk dari perhatian khusus pemerintah melainkan dibuat oleh dan untuk kepentingan perusahaan-perusahaan yang membabat habis hutan yang ada disekitar sana. Tujuannya adalah agar transportasi balok kayu perusahaan-perusahaan tersebut berjalan lancar sampai ke tepian sungai Batanghari untuk kemudian dibawa entah kemana. Seiring telah musnahnya hutan maka jalan-jalan disana tidak lagi terawat karena perusahaan-perusahaan yang dulu beroperasi sudah angkat kaki.

Sejatinya para petani karet tidak keberatan jika memang BBM harus naik. Rakyat mana yang senang keuangan negaranya ‘anjlok’. Namun kenaikan harga BBM perlu disesuaikan dengan kondisi kantong mereka. Harga karet yang sekilonya tidak dapat membeli beras sekilo tentu menjadi permasalahan besar bagi mereka untuk menyambung nyawa. Apalagi harga karet yang terjun bebas selama ini seolah luput dari perhatian pemerintah, baik mereka yang di pusat maupun di daerah. Yang di pusat sibuk dengan berebut kursi jabatan dan yang di daerah sibuk dengan politik pencitraan. Sedangkan mereka dibiarkan berjibaku sendiri melawan ketidakpastian nasib. Entah sampai kapan penderitaan mereka akan berlangsung. Tak seorangpun yang memiliki jawaban.

Logis rasanya bila banyak dari mereka yang skeptis dengan kontroversi undang-undang pilkada yang beberapa hari belakangan ini diperdebatkan. Mereka tidak ambil pusing apakah akan kembali ke bilik suara untuk memilih penguasa atau mewakilkannya ke perwakilan mereka di parlemen. Yang mereka butuhkan tak lain adalah bukti bahwa yang namanya pemerintah itu benar-benar ada, tidak hanya eksis di negeri dongeng. Selama ini suara mereka hanya ‘didengar’ sebelum pemilu saja namun setelah itu jeritan mereka akan hilang ditelan langit.

Hemat saya, pemerintah perlu merumuskan aksi-aksi nyata untuk mengurangi beban penderitaan petani karet di Jambi. Mereka yang di pemerintahan perlu turun langsung ke lapangan untuk menyaksikan dan merasakan  sendiri kehidupan maha berat yang sedang dialami oleh para penampung tetesan getah. Kemudian, setelah mendapatkan feeling tersebut, mereka perlu mengarahkan petani karet untuk beralih profesi seperti berternak ikan atau bertanam padi agar para petani getah tidak terlalu menggantungkan hidup ke sektor karet. Tidak sampai disitu saja, pembinaan dari pemerintah dalam hal finansial dan pelatihan amatlah vital agar mereka betul-betul berhasil dalam menekuni profesi baru tersebut. Harga BBM mesti tetap disubsidikan untuk mereka. Tidak apa harganya naik untuk kalangan menengah ke atas seperti mereka yang memiliki mobil mewah. Sungguh tidak adil rasanya jika petani karet yang berpenghasilan sangat rendah harus membeli BBM dengan harga yang sama dengan mereka yang sehari-harinya mengendarai Fortuner atau Alphard. Walau bagaimanapun, negara tetap bertanggung jawab agar masyarakat kelas bawah ini terus terjaga nafasnya dengan memberikan uluran tangan.

Penderitaan hebat yang sedang dialami oleh masyarakat di desa saya merupakan sebuah ‘oleh-oleh’ yang amat pahit untuk tradisi pulang kampung saya kali ini. Harga karet yang sangat rendah ditambah dengan bencana kenaikan harga BBM yang katanya tinggal menghitung hari membuat masyarakat disana bersiap-siap untuk menggali kuburan sendiri. Akankah raungan mereka sampai ke telinga penguasa? Entahlah, sampai saat ini belum ada tanda-tandanya.




Comments