Semua pakaian sudah Aku masukkan ke dalam koper. Dua
lembar celana jeans, satu potong baju batik plus satu kemeja kotak dan sepasang kaos oblong sudah tersusun rapi. Petualangan yang akan Aku mulai sudah
lebih dari siap. Siap mental dan siap bekal.
Dering hp yang tergeletak diatas meja sedikit mengganggu konsentrasiku di depan cermin. Penasaran dengan waktu, aku lemparkan tatapanku ke jam tangan kesayangan; jarum panjangnya mengarah ke angka 12 dengan jarum pendek yang merangsek ke angka tujuh.
Dering hp yang tergeletak diatas meja sedikit mengganggu konsentrasiku di depan cermin. Penasaran dengan waktu, aku lemparkan tatapanku ke jam tangan kesayangan; jarum panjangnya mengarah ke angka 12 dengan jarum pendek yang merangsek ke angka tujuh.
“Hmmm…pagi sekali Ibu Dewi ini menelpon” gumamku
dalam hati.
“Halo Assalamualaikum Bu…” Aku mencoba menyapa
dengan sopan.
“Beni…kamu sudah siap?” suara diujung telpon itu
langsung menyerang tanpa basa basi.
“Sudah bu” jawabku sekenanya dengan kemeja yang
belum terkancing. Aku masih belum mengerti maksud dari pertanyaan itu.
“Ok…ibu sudah di bandara. Cepat kesini sekarang!”
“Baik bu. Baik!” Aku tiba-tiba gugup tak karuan.
Ada apa Ibu Dewi menungguku di bandara? Aku bertanya-tanya
sendiri.
Dengan sigap Aku
kancingkan semua anak baju. Minyak rambut Aku poles seadanya ke kepala dan
rambut Aku sisir acak-acakan dengan tangan.
Sesampai di bandara Aku terselamatkan oleh amukan seseorang yang sedang bosan menunggu. Untung saja dia tidak langsung merobek-robek mukaku dan memilih untuk menahan murkanya. Mungkin ini effect
dari kehadiran kedua orang tuaku. Wajah Ibu Dewi yang semula asam bak limau
nipis berubah manis seperti madu saat mengetahui bahwa dua orang di sampingku
adalah Ayah dan Mak.
“Ibu juga berangkat ke Jakarta menemani Beni. Pesawat
kita sama, jam 9” Ibu Dewi menyapa dengan lembut. Matanya tidak lagi merah.
Satu jam menunggu, panggilan boarding pun menggema. Aku
bersiap mengangkat koper dan menyalami Ayah dan Mak. Ibu dewi juga sudah tampak
tidak sabar untuk terbang. lambaian penuh haru dari Ayah dan Mak mengiringi
langkahku ke dalam bandara. Rasa sedihku kutahan saja dan tidak kuperlihatkan
kepada mereka berdua. Aku tidak mau mereka semakin tersiksa karena akan
kehilangan anaknya untuk 4 bulan ke depan.
Pramugari tersenyum ceria menyapa semua penumpang
sebelum pesawat lepas landas meninggalkan tanah Jambi. Sekitar satu jam
diombang ambing angin akhirnya pesawat kami tiba juga di tujuan, langit Jakarta.
Dari jendela pesawat kulihat tata kota Jakarta yang semrawut. Ada yang
berbentuk benang kusut menggumpal. Aku kira itu adalah tumpukan sampah dan
bahan rongsokan. Ada juga yang menyerupa kolam air warna-warni. Mungkin itu waduk.
Ada pula yang bentuknya seperti jalan besar berwarna gelap. Untuk yang ini aku
yakin, itu adalah sungai-sungai coklat yang mengaliri ibu kota negara. Di sudut
lain gedung-gedung dan rumah-rumah saling berhimpitan seperti saling sikut.
Pesawat yang seharusnya sudah menyentuh aspal
tiba-tiba berpusing-pusing di langit. Aku heran penumpang lain pun penuh tanya.
Ada apa gerangan burung besi yang kami tumpangi belum juga menghempaskan
badannya ke tanah.
“Para penumpang yang terhormat. Kami masih menunggu
instruksi dari Bandara Soekarno Hatta untuk mendarat. Saat ini bandara sedang
dipenuhi oleh pesawat yang hendak take-off dan landing.” Pilot pesawat
mengumumkan lewat pengeras suara.
“Jakarta memang kaya raya” pikirku. Jalanan selalu
dipenuhi oleh kendaraan yang hilir mudik. Bandarapun sudah tidak sanggup lagi
menampung membludaknya pesawat yang hendak lalu-lalang.
Kota Jakarta yang tadi tampak olehku tiba-tiba
lenyap, digantikan oleh gumpalan awan putih. Pesawat kini sudah berada di
ketinggian yang lebih dari beberapa menit yang lalu. Sementara itu Ibu Dewi
masih saja tenggelam dalam pelukan pagi. Matanya terpejam dan mulutnya
ternganga. Sungguh beruntung hidupmu Bu Dewi. Semua hal kau jalani seolah tanpa
beban. Pesawat tidak jadi lepas landaspun tidak mengundang masalah bagimu.
Aku tolehkan lagi kepalaku ke jendela. Awan putih
yang tadi sedikit kini bertambah banyak. Aku pun tak tahu lagi apakah itu
adalah awan yang sama dengan yang kulihat sebelumnya. Aku memilih tidak peduli
tentang itu. Aku pusatkan pikiranku ke pertemuan pertama dengan teman-teman
yang selama ini kukenal di Facebook. Aku
penasaran dengan semua hal tentang mereka. Apakah paras, bentuk tubuh, dan
tingkah laku mereka sama dengan apa yang sejauh ini kuamati di Facebook? Atau jangan-jangan
ada diantara mereka yang memasang foto palsu agar menjadi kejutan bagi yang
lain? Aku tidak tahu. sungguh.
Anganku juga tertujukan ke kakak-kakak senior yang
akan melatih dan membinaku. Aku penasaran apakah mereka ganas? Kalau iya apakah
itu sungguhan? Atau hanya sandiwara usang untuk ‘menakut-nakuti’ junior. Untuk hal
ini aku sedikit was-was. Aku dengan segala sifat keras kepala dan insting
membangkangku boleh jadi menyulut amarah. Aku tidak membawa peci hitam sesuai
yang mereka isntruksikan. Alasannya aku akan mendapatkan satu buah peci hitam
dari attire-ku – baju persatuan – nanti. Jadi aku menganggap mubazir untuk
membeli dan membawa peci hitam dari Jambi. Aku juga tidak membawa baju putih
polos dan sepotong dasi dengan alasan yang sangat sederhana, aku akan
membelinya di Jakarta.
Meskipun berpotensi mendatangkan bala kepadaku, aku
memilih untuk tidak begitu takut dengan tetek-bengek perlengkapan tadi. Yang paling
aku khawatirkan adalah, nanti sewaktu semua peserta sudah berkumpul, bakat apa
yang akan aku pertunjukkan? Sungguh pertanyaan ini sangat menyiksa. Pada saat
seleksi di Jambi tempo hari aku bisa menyiasatinya dengan menghapal pantun adat Melayu Jambi. Syukur diterima dengan baik karena ternyata para juri
menganggapnya unik mengingat tidak banyak anak muda yang peduli dengan pantun Melayu
Jambi. Aku pun lolos dari lubang jarum. Apakah strategi sama akan ampuh di
depan kakak-kakak senior nanti? Akankah mereka memintaku bernyanyi atau menari
yang mana ke dua hal ini sangat aku hindari dalam hidup? Suaraku fals dan tidak
bernada sedangkan tubuhku tegap seperti papan. Entahlah. Semoga saja mereka
paham bahwa aku memang tidak memiliki bakat seni.
Pesawat yang aku tumpangi sudah mendapatkan
gilirannya untuk menyentuh bumi. Aku kembali ke posisi duduk sempurna dan
mengencangkan ikat pinggang. Selang beberapa menit aku pun sudah di darat. Tampak
olehku barisan pesawat yang terparkir di setiap sudut bandara.
Sesaat keluar dari bandara aku mengeluarkan hp dari
kantong. Ada beberapa pesan masuk. Diantaranya berisikan kesepakatan semua
teman-teman untuk bertemu di suatu tempat di bandara yang bernama Red Corner. Tak
lama bediri di depan pintu keluar yang tak jauh dari Red Corner, aku disapa
oleh dua orang anak muda. Yang satunya kurus tinggi berambut lurus dan yang satunya
lagi berambut ikal dengan paras mirip selebriti. Setelah berkenalan ternyata
yang kurus itu Yani dan yang serupa artis itu Rizki. Untuk nama terkahir ini
aku tidak terkejut karena dari foto profilenya di facebook dia memang terlihat
rupawan. Yani yang membuatku tersentak. Dari fotonya aku mengira dia adalah
seorang pria yang pendek dan sedikit gemuk. Namun kenyataannya sebaliknya.
Mereka membaawaku ke suatu ruangan. Disana telah
berkumpul beberapa teman. Ada Danti yang di foto profilnya terlihat cantik. Ketika
bertatap muka langsung tidak ada yang berubah. Hanya style dan bahasanya saja
yang sangat kental Jakarta. Diantara mereka
ada juga Ilin. Wanita yang berasal dari Riau ini sedikit berbeda dari fotonya. Ternyata
posturnya lebih besar dari yang kukira. Ada juga Wenny dari Palembang. Cewek dari
provinsi tetanggaku ini ternyata pendiam! Berbeda sekali dengan yang aku temukan
di media sosial selama ini dimana dia sangat aktif. Saat berkumpul bersama aku
tidak melihat keaktifan yang biasanya dia tunjukkan di dunia maya. Terakhir ada
Bang Ocep. Pria Kalimantan ini semula aku anggap orang yang tidak banyak bicara
karena usianya yang cukup dewasa. Tapi ternyata aku salah. Dia rupanya pria
yang baik dan asyik.
Comments
Post a Comment