Narsisme Akut Para Pejabat

Alkisah hiduplah seorang pria yang tampan rupawan. Keelokan parasnya membuat banyak wanita ingin menjadi pendamping hidupnya. Namun dia selalu menolak dengan sombong. Akhirnya dia dikutuk untuk jatuh cinta kepada bayangannya sendiri yang terpancar diatas permukaan air kolam. Hari berganti Narcissus tetap duduk tertegun di kolam itu sampai ajal menjemput.

Mitologi Yunani mengenai Narcissus ini merupakan cikal bakal penggunaan kata narcissism atau narsisme dalam Bahasa Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefenisikan narsisme sebagai keadaan seseorang yang mencintai diri sendiri secara berlebihan. Sebagaimana Narcissus yang jatuh cinta kepada bayangannya, narsisis – sebutan untuk orang yang narsisisme – juga cenderung terlalu mengagumi dirinya sendiri. Sehingga muncullah hasrat yang tak terbendung untuk dikenal oleh orang banyak. Narsisis kerap kali menganggap dirinya orang yang paling penting dan perlu dihormati diatas siapapun.

Narsisme belum begitu populer ditengah masyarakat sebelum era media sosial. Hanya setelah facebook dan Twitter booming saja kata ini sering diperbincangkan. Pemicunya antara lain adalah banyaknya pengguna media sosial terutama para remaja yang memuat foto dengan gaya yang tidak lazim seperti selfie sambil memonyongkan bibir ke depan (duck face).

Akan tetapi sejatinya narsisme tidak hanya melanda para remaja di dunia maya saja. Tanpa disadari ia juga telah menjangkiti para pejabat publik hampir di seluruh penjuru tanah air. Lihatlah iklan-iklan, himbauan, atau sambutan yang dipajang pemerintah di baliho atau spanduk,  hampir dipastikan ada foto pejabat setingkat kepala daerah yang nongol di dalamnya. Iklan Keluarga Berencana contohnya. Dulu iklan ini diperankan oleh sepasang orang tua memegang tangan kedua anaknya dengan wajah ceria. Ekspresi wajah mereka seolah berbicara bahwa keluarga kecil dengan dua anak itu merupakan keluarga yang ideal. Namun bagaimana dengan iklan serupa saat ini? Foto keluarga tersebut raib. Yang ada hanya foto pejabat.

Parahnya lagi bukan hanya pejabat setingkat kepala daerah saja yang narsisme tingkat akut. Pejabat-pejabat publik yang lain pun sudah mulai ikut-ikutan. Para kepala dinas kerap kali nongol di iklan-iklan kantor dinas. Baliho ajakan untuk tidak golput dari KPU pun dipenuhi oleh sebarisan pejabat. Bahkan beberapa waktu yang lalu foto pejabat salah satu kampus negeri di Jambi mejeng di setiap spanduk KUKERTA mahasiswa tanpa alasan yang jelas.

Jika kita bandingkan dengan iklan-iklan pemerintah di luar negeri tentu hal ini aneh. Pemerintah di luar negeri khususnya di negara maju jeli dalam membuat iklan agar bisa merebut hati masyarakat. Iklan mengajak masyarakat naik kendaraan umum misalnya. Mereka akan memasang foto bus yang nyaman dengan penumpang yang tampak bahagia sehingga menimbulkan kesan bahwa naik kendaraan umum menyenangkan.

Tentu menjadi sebuah tanda tanya dibalik tidak pernah absennya foto-foto pejabat di iklan-iklan pemerintah negeri ini. Apakah mereka sudah dihinggapi penyakit narsisme tingkat akut sehingga mencintai diri sendiri secara berlebihan? Dilihat dari fenomena yang ada boleh jadi banyak pejabat sudah dilanda oleh narsisisme. Kebiasaan mereka memajang foto di iklan-iklan pemerintah merupakan cerminan sikap mereka dalam kehidupan nyata. Bukankah sudah menjadi hal lumrah di negeri ini jika pejabat selalu minta dilayani bukan melayani? Atau bukankah sering suatu event molor gara-gara menunggu pejabat yang tak kunjung datang?

Narsisme di kalangan pejabat publik di iklan-iklan pemerintah memang tidak melanggar peraturan apapun. Namun hal ini pada hakikatnya merupakan suatu penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan. Iklan-iklan pemerintah tidak mesti ada foto pejabatnya karena pemerintahan itu merupakan suatu badan yang mewakili segenap anggota. Kalau hanya foto pejabatnya saja hal ini menafikan peran segenap pegawai yang berada dibawah naungan kantor tersebut. Untuk itu suatu iklan pemerintah cukup diwakili dengan logo pemerintah saja dengan gambar yang sesuai dengan tema iklan. Jika iklan karnaval budaya mesti menampilkan gambar orang yang sedang menari misalnya.

Terlebih iklan pemerintah seringkali dijadikan alat untuk meningkatkan popularitas tanpa mengeluarkan uang pribadi. Strategi ini tidak hanya cerdik tetapi juga sebuah bentuk kecurangan. Duit rakyat yang seharusnya digunakan untuk hal-hal yang lebih bermanfaat secara keji digunakan untuk menaikkan pamor para pejabat. Lihatlah apa yang dilakukan Menteri Pemuda dan Olahraga, Roy Suryo beberapa waktu sebelum Pemilu silam. Disaat semua caleg menurunkan baliho untuk menghormati masa tenang sebelum pemillu, baliho pak menteri terpampang tinggi. Bahkan dia mencak-mencak ketika balihonya hendak diturunkan karena mengganggu masa tenang. Dalihnya tak lain adalah baliho tersebut bukan bertujuan untuk kampanye melainkan hanya ‘ajakan’ dari menteri.

Apa yang dilakukan oleh Roy Suryo memang tidak melanggar peraturan apapun selama tidak tertulis ajakan untuk memilihnya di baliho tersebut. Gamawan Fauzi pun selaku Menteri Dalam Negeri tak berdaya menyangkut hal ini karena tidak ada hukum yang mengatur. Namun satu-satunya hukum yang dilanggar oleh Roy adalah hukum tak tertulis. Dia telah melanggar hukum kejujuran. Dia tidak jujur dengan masyarakat karena membodohi mereka dengan cara yang nista.


Narsisme akut di tengah pejabat publik tidak boleh dibiarkan begitu saja. Pemerintah dalam hal ini kementrian dalam negeri mesti menerbitkan suatu peraturan yang melarang memasang foto pejabat di iklan-iklan pemerintah. Dengan cara ini diharapkan bisa mengerem masifnya iklan-iklan dari pemerintah yang dijadikan alat promosi diri bagi pejabat publik. Iklan-iklan dari pemerintah haruslah menarik agar masyarakat tergerak untuk mengikuti pesan yang disampaikan melalui iklan. 

Comments