Akhirnya
KPU secara resmi menetapkan hasil Pemilu legislatif tahun ini. Juaranya pun
sama dengan hasil hitung cepat. Tetap PDI P dengan perolehan suara 18,95%.
Namun, Pemilu legislatif yang baru saja usai sedikit tercoreng oleh politik uang
yang sangat meraja lela. Adalah hal lumrah bila ditemui caleg mendadak baik hati
kemudian bagi-bagi amplop kepada konstituennya. Masyarakat pun banyak yang
oportunis melalui slogan NPWP mereka: Nomor Piro Wani Piro alias nomor urut
berapa dan berani berayar berapa.
Maraknya
politik uang menimbulkan beberapa analisis. Ada yang menganggap praktik kotor
ini tumbuh subur disebabkan oleh lemahnya kualifikasi caleg. Namun ada juga
yang berasumsi bahwa masyarakat banyak yang sudah berwajah dua. Di satu sisi
mereka mengutuk korupsi namun di sisi lain mereka menjadi bagian dari proses
transaksi uang haram tersebut. Dari sekian banyak analisis yang muncul ke
permukaan, hampir tidak ada yang mengarahkan jari telunjuk ke kondisi terkini
yang melanda perekonomian masyarakat Jambi. Sebagaimana diketahui beberapa
bulan menjelang pemilu harga karet jatuh terhempas ke dasar bumi. Harga beli
dari masyarakat yang biasanya berkisar Rp. 10.000 – Rp. 20.000 per kilogram,
sebelum pemilu merosot tajam hingga menyentuh angka Rp. 5000 saja per kilonya. Melihat
kondisi ini wajar saja jika uang yang ditebar oleh para caleg menjelma bak
segelas air di tengah padang pasir.
Karet
merupakan salah satu komoditi hasil tani primadona Indonesia dimana bumi
nusantara tercatat sebagai produsen terbesar kedua dunia setelah Thailand.
Provinsi Jambi sendiri sangat tergantung kepada sektor pertanian satu ini. Dikutip
dari buku statistik tahunan yang dikeluarkan oleh Dinas Perkebunan, pada tahun
2011 terdapat sekitar 250.000 rumah tangga (dari total 619.000) yang
menggantungkan hidup kepada sektor karet. Mayoritas dari mereka adalah petani
kecil. Hal ini menjadikan karet sebagai penentu berasap tidaknya dapur banyak
kepala. Jika harga karet mahal maka berisilah perut. Namun lain ceritanya jika
harga jatuh. Alamat terancam kelangsungan hidup.
Beberapa
pengamat menilai harga karet yang terjun bebas disebabkan oleh menurunnya
permintaan dari negara-negara importir. Karet Jambi yang masih berorientasi
ekspor sangat tergantung kepada negara pembeli. Jika ekonomi negara tujuan
ekspor bergairah maka permintaan karet pun melimpah. Akan tetapi lain ceritanya
jika industry mereka lesu pertanda malapetaka bagi para petani karet. Krisis
yang melanda negara-negara eropa dan Amerika beberapa tahun silam serta
melemahnya perekonomian Tiongkok akhir-akhir ini merupakan bukti soheh betapa besar
peran negara-negara importir dalam memporak-porandakan perekonomian petani
karet.
Sayangnya
itu bukan masalah tunggal. Ada beberapa indikator lain yang luput dari
pengamatan. Setidaknya hal ini terungkap dalam sebuah penelitian. Tahun 2012
silam seorang peneliti dari Universitas Goettingen, Jerman, mengadakan sebuah
penelitian lapangan untuk mencari tahu peran karet terhadap sosio-ekonomi
masyarakat. Penulis sendiri berposisi sebagai asisten peneliti. Penelitian yang
bertempat di lima kabupaten dalam Provinsi Jambi ini menemukan beberapa hal
yang berhubungan erat dengan fluktuasi harga karet.
Dilapangan
ditemukan masih banyak karet petani Jambi yang dibawah standar seperti bercampur
tatal (kulit pohon karet) dan tanah. Alasan petani menyertakan campuran ini adalah
agar karet mereka lebih berat saat ditimbang. Petani pun banyak yang tidak
selektif dalam memilih bibit. Mereka asal tanam saja sehingga hal ini mempengaruhi
kuantitas dan kualitas karet yang dihasilkan. Informasi harga pasar
internasional juga merupakan hal yang asing bagi petani. Mereka biasanya
mengangguk saja kepada harga yang ditetapkan oleh pembeli lokal.
Diantara
itu semua ada penyebab yang lebih serius lagi: permainan harga di tingkat
pedagang dan pabrik. Dalam jurnal pertama dari penelitian ini “Have Indonesian Rubber Processors Formed a
Cartel?” menyimpulkan bahwa pabrik karet di Jambi memiliki kekuatan pasar
yang berdasarkan pada kartelisasi. Minimnya jumlah pabrik karet (9 pabrik untuk
250.000 petani) membuat pabrik-pabrik ini tidak dalam kompetisi yang ketat
melainkan berkolaborasi dalam mengendalikan harga. Kondisi pasar monopsonistik
(penawaran lebih banyak daripada permintaan) ini tentu saja sangat merugikan
petani.
Fluktuasi
harga karet yang seringkali tak terkendali semakin menegaskan kalau sektor ini
tidak lagi bersahabat dengan petani. Hal ini diperparah lagi oleh masalah teknis
lain yang juga tidak boleh dianggap gampang. Karet sangat tergantung dengan
cuaca. Bila hujan petani tidak bisa menyadap karena getah akan bercampur dengan
air. Biaya operasional juga menjadi momok mengingat mayoritas petani
menggunakan sepeda motor sebagai alat transportasi utama. Seperti diketahui,
harga jual bensin di daerah rata-rata Rp. 8.000 per liter. Jika dibandingkan
dengan harga karet yang hanya Rp. 5.000 per kilogram tentu akan besar pasak
dari tiang. Belum lagi biaya hidup yang meroket karena harga kebutuhan pokok
yang makin mahal. Salah
besar tentunya jika pemerintah berdiam diri ditengah jeritan petani ini. Sudah
saatnya pemerintah lebih berperan aktif lagi. Sedikitnya ada beberapa hal yang
perlu dilakukan.
Pertama,
rubah mind set masyarakat. Masyarakat pedesaan sudah terlanjur menganggap karet
sebagai mata pencaharian utama. Untuk itu pemerintah perlu memberikan pelatihan
dan pinjaman tanpa bunga agar petani bisa memulai usaha lain seperti berternak
ikan atau ayam. Kedua, pemerintah mesti memikirkan untuk membangun industri
olahan karet di dalam negeri agar karet Indonesia tidak semata-mata berorientasi
ekspor. Dengan adanya industri sendiri diharapkan harga karet tidak begitu
tergantung lagi dengan pasar internasional. Terakhir, pemerintah harus turun
tangan menelusuri dan menyelesaikan masalah kartelisasi yang terbentuk di
Jambi. Dalam hal ini pemerintah bisa berkolaborasi dengan semua pihak termasuk
para peneliti. Kartelisasi dan politik dagang monoponistik telah terbukti
merugikan petani.
Politik
uang yang tumbuh subur pada pemilu legislatif lalu adalah sebuah peringatan.
Praktek curang ini ternyata tidak terjadi begitu saja tetapi juga dipengaruhi
oleh kehancuran ekonomi masyarakat khususnya mereka yang menggantungkan hidup
ke sektor karet. Jika permasalahan karet ini tidak segera ditanggulangi bukankah
besar kemungkinan money politics akan kembali marak pada pemilu presiden Juli nanti?
Comments
Post a Comment