Hedonisme: Agama Baru Para Pejabat



Halaman depan Jambi Independent edisi Jumat 25/4/2014 dihiasi oleh tiga wajah pesakitan yang beberapa bulan terakhir ‘dirawat’ oleh KPK. Mereka adalah Gubernur Banten Ratu Atut Choisiyah, Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan yang tak lain adalah adik Atut dan suami Wali kota Tangerang Selatan Airin, serta mantan hakim konstitusi, Akil Mochtar. Pemberitaan tentang mereka bertiga apalagi kalau bukan skandal korupsi.

Jika dicermati ada satu hal yang serupa dari tiga orang ini. Selain kegemaran menggerogoti duit rakyat, mereka sama-sama suka bermegah-megah atau penganut setia hedonisme. Hedonisme berasal dari Bahasa Yunani, hedonismos yang bermakna kesenangan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia hedonisme berarti pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup. Jadi orang yang menjalani paham hedonisme (hedonis) memiliki falsafah hidup bahwa materi merupakan ukuran dari kebahagiaan. Semakin banyak materi yang dimiliki maka secara otomatis hidup akan semakin sentosa. Benarkah demikian?

Lebih dari setengah abad yang lalu Buya Hamka menanggapi hal ini. Dalam bukunya Tasauf Moderen, Buya Hamka menggarisbawahi bahwa letak kebahagiaan itu tidaklah pada materi melainkan di dalam hati sanubari. Hal ini masuk akal sebab jika bahagia diukur dengan materi maka yang selalu tersenyum tentu orang-orang berduit. Namun faktanya banyak dari mereka tetap menderita walaupun bergelimang harta. Sebaliknya orang-orang yang hidupnya biasa-biasa saja banyak yang bisa tertawa bahagia. Buya Hamka menegaskan bahwa manusia hanya sering melihat sesuatu yang ada dalam genggaman orang lain tanpa merasa puas dengan apa yang ada dalam genggamannya.

Tengoklah Jose Mujica. Orang nomor satu di Uruguay ini memillih hidup sederhana walaupun dia seorang presiden. Pakaiannya biasa saja. Tidak mahal apalagi mewah. Rumahnya bukan gedung tapi seperti gubuk tua tanpa pelayan apalagi petugas keamanan. 90 persen gajinya disumbangkan untuk menambah anggaran sosial negaranya. Kendaraannya hanya mobil Volkswagen Beetle butut keluaran 1987. Jumlah aset kekayaanya pun tidaklah lebih besar dari harta pejabat daerah di Indonesia. Pada tahun 2010 kekayaanya dilaporkan hanya USD 1800 atau sekitar 18 juta Rupiah. Fakta ini melabeli Mujica sebagai presiden ‘termiskin’ di dunia.

Pola hidup bersahaja Mujica berbeda 180 derajat dengan sebagian besar pejabat di Indonesia. banyak pejabat publik saat ini seolah berbondong-bondong menjadikan hedonisme sebagai ‘agama’ baru. Para pejabat baik di daerah maupun pusat seakan-akan gengsi jika hidupnya sama dengan rakyat jelata. Mereka beranggapan bahwa jabatan tinggi merupakan status sosial yang menuntut standar hidup tinggi pula. Masih segar dalam ingatan bagaimana para wakil rakyat merengek menuntut kantor baru dengan fasilitas mewah ala hotel berbintang lima beberapa waktu silam. Atau yang sedang ramai diperbincangkan baru-baru ini perihal bagi-bagi 2500 iPod oleh Sekretaris MA dan jam tangan mewah panglima TNI yang ditengarai berbanderol lebih  dari 1 miliar. Setali tiga uang, kebiasaan berpoya-poya pemerintah pusat sejalan dengan pemerintah daerah. Sudah menjadi rahasia umum jika pertukaran tampuk pimpinan di daerah seringkali dirayakan dengan pergantian mobil dinas yang lebih baru dan berkelas. Pejabat pemerintah daerah pun banyak yang gemar membangun rumah megah bak istana para raja. Sebuah ironi mengingat jutaan rakyat Indonesia masih hidup morat-marit.

Fenomena ‘agama’ hedonisme yang dianut oleh banyak kalangan pejabat publik tentu merupakan alarm tanda bahaya bagi Indonesia. Sebab gaya hidup bermewah-mewahan sangat dekat dengan perilaku korupsi. Fakta berbicara. Sebagian besar pejabat publik yang tersangkut kasus korupsi merupakan penganut setia hedonisme. Tahun lalu KPK berhasil mengungkap harta seorang jenderal polisi atas nama Djoko Sosilo yang berjumlah ratusan miliar rupiah. Aset sebanyak itu dari mana lagi asalnya kalau bukan korupsi. Tahun ini masyarakat tercengang setelah mengetahui aset Atut tersebar dimana-mana, mobil sport Wawan yang berharga miliaran rupiah, atau Akil Mochtar yang asetnya mencapai 200 miliar rupiah. Semua ini merupakan bukti sahih bahwa agama baru ini sesat lagi menyesatkan.

Sudah saatnya para petinggi negeri meninggalkan paham melenceng ini. Sangatlah tidak etis bermegah-megahan sedangkan masih banyak rakyat yang menangis kelaparan. Bukan itu saja hedonisme juga merupakan suatu bentuk penghianatan terhadap slogan “cintailah produk dalam negeri’ yang acapkali diucapkan oleh pejabat pemerintah. Selama ini rakyat merasa dibohongi karena faktanya banyak dari mereka yang mengemban jabatan malah malas-malasan membeli produk negeri sendiri. Bukankah hal yang membanggakan sekaligus menguntungkan industri dalam negeri jika semua pejabat di Indonesia menggunakan mobil dinas hasil karya anak bangsa? Semoga saja hal ini terwujud seiring bergantinya para elit politik tahun ini. 


Comments