Dicari: Caleg Peduli Batanghari


Ditengah gegap gempita menyambut pemilu ada satu hal yang tak boleh dilupakan menyangkut bulan maret yang baru saja berlalu, khususnya tanggal 22. Pada tanggal ini masyarakat seantero bumi memperingati hari internasional yang disebut hari air sedunia (World Water Day). World Water Day merupakan perayaan tahunan PBB yang telah berlangsung sejak tahun 1993 sebagai usaha untuk meningkatkan kesadaran publik akan pentingnya air bersih. Melalui World Water Day PBB berharap masyarakat dunia tergugah untuk  terus mengelola sumber-sumber air bersih demi kelangsungan hidup seluruh umat manusia. Untuk tahun 2014 ini World Water Day menyandang tema Water and Energy atau air dan energi.

Sumber-sumber air bersih memang sangat vital perannya terhadap kehidupan masyarakat apalagi jumlahnya sangat terbatas. Sebuah organisasi peduli lingkungan, Greenpeace, merilis bahwa hanya ada 2.5% tawar yang tersedia di planet bumi. Sisanya adalah air asin alias air laut. Lebih jauh Greenpeace melaporkan bahwa kurang dari 20% saja penduduk Indonesia yang memiliki akses air bersih untuk minum. Saat ini lebih dari 70% masyarakat Indonesia bergantung pada air tanah termasuk air sungai. Ironisnya, organisasi ini menyebutkan bahwa 56% sungai-sungai di Indonesia sudah tercemar.

Sungai kebanggaan masyarakat Jambi, Sungai Batanghari, adalah salah satu sungai yang sudah tercemar. Baru-baru ini Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Provinsi Jambi mencatat bahwa terdapat 16 titik sampling di sepanjang aliran Sungai Batanghari yang mengindikasikan bahwa sungai terpanjang di Sumatera ini telah tercemar.  Tingkat tercemarnya pun sudah kategori sedang dan berat. BLHD melaporkan bahwa sampah domestik rumah tangga dan kotoran manusia menjadi penyumbang terbesar terhadap pencemaran Batanghari. Sementara itu tahun lalu Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup (Bapedalda) Sumatera Barat juga mewanti-wanti bahwa Sungai Batanghari sudah tercemar berat. Menurut Bapedalda Sumbar penyebab rusaknya Sungai Batanghari tak lain adalah aksi penambangan emas ilegal.

Penambangan emas ilegal dengan menggunakan mesin yang biasa disebut dompeng (Dong Feng) memang seolah menjadi tren baru dalam mengumpulkan uang. Masyarakat tidak peduli lagi akan dampaknya terhadap lingkungan. Tak heran dompeng beroperasi tanpa mengenal tempat. Sawah, sungai, ladang, sampai area bandara sekalipun tak luput dari aktifitas tambang ilegal ini. Bahkan beberapa bulan silam di Desa Perentak daerah Merangin dompeng beroperasi di halaman rumah masyarakat. Jika ada hal yang mencolok tentang dompeng tak lain adalah pelakunya yang berasal dari golongan menengah keatas. Ini dikarenakan harga mesin dan biaya pembuatan dompeng yang mencapai puluhan juta rupiah. Tentu uang sebanyak itu tidak dimiliki oleh seluruh lapisan masyarakat apalagi di zaman susah seperti sekarang.

Dompeng yang hanya menguntungkan segelintir orang tidak hanya mencemari sungai tetapi juga merupakan sebuah wujud dari ketidakadilan. Betapa tidak masyarakat yang sehari-harinya menggantungkan hidup di Sungai Batanghari harus menanggung dampaknya. Bukan rahasia lagi kalau Batanghari adalah sumber air minum dan tempat melakukan aktifitas yang berhubungan dengan kebersihan. Disanalah masyarakat mencuci pakaian, mandi, hingga menggosok gigi. Karena dompeng sumber air mereka tercemari dengan kondisi air yang sangat keruh laksana lumpur. Dompeng juga berpotensi merusak habitat ikan karena sedotan mesin dompeng merusak dasar sungai. Bahkan tanah-tanah yang disedot oleh mesin dompeng akan membentuk pulau-pulau kecil yang menghambat aliran sungai.

Aktifitas dompeng yang merajalela sayangnya luput dari perhatian para caleg. Sepanjang pengamatan penulis tidak ada satupun dari mereka yang hendak maju ke DPRD kabupaten, provinsi maupun DPR pusat menaruh kepedulian terhadap aksi merusak Sungai Batanghari ini. Padahal suara mereka sangat dibutuhkan mengingat mereka adalah calon wakil rakyat yang bertugas memperjuangkan aspirasi konstituen. Apakah para caleg miskin wawasan lingkungan? Atau isu dompeng kurang seksi untuk diangkat walaupun terbukti merusak? Apapun alasannya yang jelas masyarakat menaruh harapan besar di pundak mereka. Masyarakat sudah muak dengan kondisi Sungai Batanghari yang tak ubahnya seperti kubangan lumpur.

Sungai Batanghari dengan sejarahnya yang panjang telah berjasa besar bagi kelangsungan hidup masyarakat provinsi Jambi. Tak berlebihan rasanya jika menganggap Batanghari sebagai ‘nadinya’ Provinsi Jambi. Jika nadi ini berdenyut maka hiduplah provinsi ini. Namun lain ceritanya jika denyutnya mati, alamat buruk yang akan menimpa. Pemilu legislatif yang berlangsung hanya beberapa hari setelah perayaan World Water Day diharapkan melahirkan politisi-politisi yang pro terhadap kelestarian lingkungan. Siapapun  caleg yang terpilih nanti haruslah memberikan perhatian serius akan aksi dompeng yang terus merusak sumber air masyarakat Provinsi Jambi, Sungai Batanghari. Bukankah slogan andalan mereka ‘berjuang demi kepentingan rakyat’?


Comments