Demokrasi Money Oriented


Pernahkah anda bermimpi untuk menciptakan perubahan besar bagi negeri ini melalui jalur politik? Jika anda memiliki aspirasi demikian sebaiknya harus mulai mengumpulkan uang sebanyak mungkin dari sekarang. Politik itu mahal! Tidak ada yang menyangkal. Jika seseorang ingin menjadi anggota dewan contohnya, yang bersangkutan harus menyiapkan uang ratusan juta hingga miliaran rupiah agar bisa menjadi ‘penyambung lidah rakyat’. Wakil ketua MPR RI periode 2009-2014, Hajriyanto Y Thohari, mengamini hal ini. Dia mengaku menggelontorkan uang lebih dari 1 miliar rupiah pada pemilu 2009 untuk menduduki posisi yang diembannya saat ini. Sementara itu Pramono Anung, wakil ketua DPR RI menjelaskan dalam disertasi doktornya yang berjudul “Komunikasi Politik dan Pemaknaan Anggota Legislatif terhadap Konstituen” bahwa rata-rata biaya yang dikeluarkan oleh seorang caleg DPR pusat pada pemilu 2009 berkisar 1,5 sampai 2 miliar rupiah! Sebuah angka yang fantastis tentunya. Ukurannya hanya uang; money oriented.
Ongkos besar demi menduduki sebuah kursi kehormatan ini tidak lain tidak bukan disebabkan oleh mahalnya biaya sosialisasi dan kampanye. Disukai atau tidak seorang caleg harus mengeruk kantong dalam-dalam jika mau wajah dan visinya sampai ke masyarakat. Makin gencar seorang caleg melakukan promosi ke konstituennya maka lebih besar pula kesempatan untuk terpilih. Maka bertebaranlah spanduk dan baliho di setiap sudut kota dan desa mengingat cara ini dianggap paling praktis dan cukup efektif. Caleg urutan pertama sebagai caleg terpopuler bedasarkan poling yang diselenggarakan oleh Jambi Ekspres bisa menjadi bukti otentik mengingat spanduk dan baliho yang bersangkutan tersebar di setiap penjuru provinsi Jambi.
Faktor lain yang tak kalah besar perannya dalam menguras uang para caleg adalah banyaknya permintaan bantuan menjelang pemilu. Bulan pemilu tidak ubahnya bulan Ramadhan yang penuh berkah. Sebagian masyarakat berlomba-lomba mengajukan proposal untuk berbagai kegiatan dan aneka pembangunan kepada para caleg. Dari kegiatan turnamen sepak bola sampai pembangunan jembatan atau rumah ibadah. Para caleg pun sulit untuk menolak. Salah-salah mereka akan dicap pelit dan tidak pro rakyat. Kalau sudah demikian besar kemungkinan mereka tidak akan dipilih. Masyarakat ternyata juga ‘matrek’ alias mata duitan.                 
Dampaknya sudah jelas. Mahalnya biaya menjadi anggota DPR berdampak buruk bagi negara tercinta ini. Salah satu dampak terparah tentunya korupsi. Korupsi memang seakan sudah menjadi tradisi di kalangan anggota dewan. Bahkan mereka sudah tidak sungkan lagi jika berjamaah dalam menggerogoti uang rakyat. Tengok saja kasus korupsi anggota dewan di Papua Barat baru-baru ini yang menyeret 44 orang. Ironisnya kasus korupsi berjamaah di Papua Barat bukan yang pertama. Setidaknya pada tahun 2004 silam hal serupa juga terjadi dimana sebanyak 43 orang wakil rakyat di Sumatera Barat mendekam di hotel prodeo. Tak heran jika Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) menobatkan wakil rakyat sebagai lembaga terkorup seantero Indonesia berdasarkan Indeks Korupsi Birokrasi dalam kurun waktu lima tahun yaitu dari 2009 sampai 2013.
            Selain korupsi, biaya mahal kursi DPR juga berdampak buruk bagi kualitas anggota dewan yang maju ke parlemen. Pemilu legislatif seakan bukan lagi sebuah ajang pemilihan wakil rakyat yang benar-benar berkualitas dan berkomitmen dalam memperjuangkan hak-hak rakyat. Kesan yang mengemuka adalah pesta rakyat lima tahunan ini merupakan persaingan bisnis dan tampang. Maka masuk akal jika yang berani bertarung di arena adalah para pengusaha dan selebritis. Dua profesi ini memang terbilang cepat dalam meraih perhatian rakyat. Para pegiat bisnis tentunya memiliki modal yang jauh lebih besar dibandingkan kader partai yang kere. Begitu juga dengan para selebritis yang tidak hanya memiliki modal besar tetapi juga wajah yang familiar dibandingkan tokoh-tokoh lokal yang punya dompet tipis. Di mata banyak partai pun kualitas seorang caleg seolah tidak penting selagi yang bersangkutan berpotensi untuk menaikkan elektabilitas partai dalam waktu singkat.
            Dampak yang tidak kalah buruk dari mahalnya ongkos menjadi anggota DPR adalah terganggunya konsentrasi kerja para anggota dewan. Anggota dewan yang terpilih hampir pasti sibuk menghitung biaya politik yang telah dikeluarkan. Terlebih hal itu berkaitan dengan jumlah rupiah yang tidak sedikit. Tentu saja ada keinginan melihat uang tersebut kembali atau kalau bisa meraup untung. Imbasnya adalah banyak anggota dewan yang tidak lagi betul-betul bekerja memperjuangkan suara rakyat. Kepentingan rakyat tak jarang dikesampingkan. Yang ada hanya kepentingan mereka sendiri dalam meraup kembali rupiah yang telah hilang tanpa peduli cara yang ditempuh. Belum lagi dengan mereka yang pencalonannya didanai oleh pemilik modal. Golongan wakil rakyat yang ini mesti balas jasa melalui berbagai kebijakan yang pro pemilik modal meski bertentangan dengan kepentingan rakyat banyak sekalipun.
Tentu hal ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Indonesia mesti merubah diri jika ingin menjadi bangsa yang maju dan sejahtera bersih dari korupsi. Untuk itu ada tiga pihak yang harus berperan aktif untuk menciptakan perubahan agar harga kursi anggota dewan terjangkau oleh setiap orang.
Pihak pertama tentunya para caleg itu sendiri. Mereka yang ingin maju ke Senayan dituntut untuk kreatif dalam bersosialisasi. Turun langsung ke masyarakat (blusukan) bisa menjadi alternatif lain yang tidak kalah efektif dalam merebut hati rakyat. Disamping melihat langsung permasalahan dan kebutuhan rakyat yang hendak diwakilinya, blusukan tidak membutuhkan biaya banyak. Sosialisasi melalui sosial media juga tak kalah penting karena gratis. Sosial media juga memungkinkan para caleg menggaet pemilih pemula mengingat sosial media sangat digandrungi oleh kawula muda. Tapi lagi-lagi, ramah di sosial media jangan hanya pas sebelum pemilu saja jika tidak mau menuai antipati dari internet citizen.
Pihak kedua adalah masyarakat. Tahun politik tak lain adalah kesempatan untuk memperbaiki nasib mereka dengan mendukung dan memilih caleg yang betul-betul berkomitmen dalam memperjuangkan hak mereka. Bukan caleg-caleg yang hanya memberikan kain sarung atau uang tapi memiliki misi terselubung. Dengan cara ini diharapkan masyarakat menahan diri untuk memanfaatkan kesempatan mendapatkan ‘bantuan’ dari para caleg. Cara ini juga bisa dijadikan ajakan kepada masyarakat untuk mendorong tokoh lokal mencalonkan diri dan bersama-sama membiayai pencalonannya melalui fund-raising. Adapun pihak terakhir adalah pemegegang kebijakan atau pemerintah. Pemerintah melalui Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah saatnya menerbitkan aturan pembatasan dana kampanye.  Sudahi Demokrasi berbasis uang; money oriented!

M. Beni Saputra, S.Hum.

Penerima beasiswa IELSP di Arizona State University, Amerika Serikat 

Comments