Hari ini merupakan hari
terakhir saya dan ke tujuh belas peserta Pertukaran Pemuda Indonesia Australia
(PPIA) lainnya menikmati liburan di Burrill Lake, sebuah kawasan danau nan
indah di daerah Ulladulla, Australia. Selanjutnya kami akan berangkat ke suatu
tempat bernama Kiama untuk melaksanakan fase desa dari program pertukaran yang
sedang kami jalani. Sedangkan sebulan lalu kami melaksanakan fase kota yang
bertempat di kota Sydney.
Kami menghabiskan waktu
lebih kurang dua jam di dalam bus sebelum tiba di Kiama dari Ulladulla. Ketika sampai, kami langsung menuju sebuah
gedung dengan menenteng barang masing-masing. Gedungnya biasa saja. Tidak besar
dan terkesan mewah. Kira-kira seperti Balai Desa lah bangunannya. Diluar gedung
pun tidak ada tanda-tanda akan ada acara resmi. Tidak ada mobil-mobil pelat
merah super mewah yang parkir, ataupun barisan polisi pengawal atau Polisi
Pamong Praja yang sedang berjaga-jaga. Mungkinkah di gedung ini acara
penyambutannya? Atau pejabatnya memang belum datang? Hati saya bertanya-tanya.
Saya putuskan untuk terus
mengikuti langkah teman-teman memasuki gedung dengan pertanyaan yang belum
terjawab. Sementara itu beberapa orang yang hadir tampak tersenyum sumringah
menyambut kedatangan kami. Mereka mengulurkan tangan dan mengucapkan selamat
datang. Saya bisa menebak beberapa dari mereka adalah calon orang tua angkat
kami yang baru. Sambil bersalaman, saya perhatikan tampilan mereka dengan
cermat. Saya penasaran siapakah orang yang rencananya akan memberi sambutan
resmi untuk kami itu.
Selang beberapa saat,
kami dipersilahkan duduk dibarisan terdepan. Seseorang maju dan membuka acara.
Akhirnya saya teryakinkan bahwa memang di gedung sederhana ini acara
penyambutan akan berlangsung. Setelah membuka acara, si MC memanggil seseorang untuk
maju ke depan. Dia adalah Brian Petschler, Wali Kota Kiama. Betapa terkejut
saya ketika melihat sesosok pria yang duduk di barisan belakang ditengah
‘orang-orang biasa’ melangkah maju ke depan.
Bapak Brian
menyampaikan pidato singkat. Tanpa teks dan tentunya tidak bertele-tele. Ketika
dia bangkit dari tempat duduk tidak terlihat sekelompok orang ikut berdiri dan
mempersilakan dia untuk maju. Tidak juga
terlihat beberapa orang terangguk-angguk senyum dengan maksud untuk
‘memuliakan’ sang pejabat. Selagi pidato sang walikota terkadang tertawa lepas
tanpa khawatir sama sekali wibawanya ‘runtuh’ di depan hadirin. Gaya berpidatonya
pun tidak menggunakan mimik yang dibuat-buat supaya kelihatan seperti pemimpin
sejati yang berwibawa tinggi.
Dari acara penyambutan
yang sederhana tadi saya bisa menyimpulkan bahwa pola berpikir orang-orang
disini berbeda dengan pola pikir sebagian besar orang Indonesia. Masyarakat
disini, setidaknya yang hadir dalam acara penyambutan tadi, menganggap pejabat
tinggi negara itu adalah orang biasa yang tidak perlu terbungkuk-bungkuk
‘menyembahnya’. Sedangkan si pejabat berpikiran bahwa dia adalah kaki tangan
negara yang bertugas untuk memberikan teladan dan pelayanan terbaik kepada
masyarakat. Dia tidak terlambat bahkan datang lebih dulu dari tamu-tamu yang
hadir. Dia tidak menghambur-hamburkan uang negara dalam sebuah acara formal
dengan menyewa gedung atau hotel mewah. Terlebih lagi dia tidak merasa lebih
besar dan terhormat dari orang lain yang hadir.
Kondisi ini tentu
berbeda seratus delapan puluh derajat dengan persepsi sebagian besar orang
Indonesia terhadap pejabatnya. Tidak sedikit dari masyarakat kita masih
menganggap bahwa pejabat adalah orang-orang yang sangat terhormat. Bila sang
pejabat datang berkunjung, yang mana kunjungan itu biasanya bukan bermaksud
mengecek kondisi masyarakatnya melainkan untuk pencitraan diri, banyak yang rela
berdesak-desakan hanya untuk bertemu dan mencium tangan sang pejabat.
Persepsi sebagian besar
pejabat lebih buruk lagi. Banyak pejabat tinggi di tanah air biasanya
memposisikan diri mereka laksana dewa. Ketika keluar mobil harus ada yang
membuka pintu. Masuk ke ruangan atau maju kedepan harus ada yang mempersilakan.
Dalam acara formal harus ada yang menunggu dan menyambut kedatangan mereka.
Kendaraan harus seharga setengah miliar keatas. Kalau duduk maunya di barisan
paling depan, tak heran jika di suatu acara barisan paling depan biasanya
kosong karena spesial untuk para pejabat yang belum datang. Kalau ada yang mau
bertemu diluar musim kampanye, orang tersebut harus melalui proses yang
berliku-liku dulu baru bisa bertatap muka, itupun kalau lagi beruntung.
Pendeknya, banyak pejabat merasa seolah-oleh bukan makhluk yang berpijak di
bumi lagi dan melupakan bahwa perut mereka diisi dengan rupiah hasil keringat
rakyat.
Euphoria Burrill Lake
terpaksa harus dihentikan. Kehidupan baru telah menanti untuk dijalani di
Kiama. Sementara itu petikan cerita yang menghiasi kepindahan hari ini
sepertinya pantas menjadi bahan renungan untuk ‘kesembuhan’ ibu pertiwi.
Indonesia akan lebih baik jika pemudanya berkomitmen untuk mewujudkan perubahan
itu. Bukankah masa depan suatu negara ada di tangan pemuda?
tulisan yang mengandung pesan moral....sesuatu sekali
ReplyDelete