Sydneyku

Sydney memang menjadi kota impian banyak orang di kolong planet bumi ini, termasuk aku sendiri. Walaupun aku tidak tahu banyak tentang kota metropolitan ini, namun bagiku Sydney itu adalah kota yang spesial. Opera House dan Sydney Harbour Bridge sepertinya telah sukses merebut hatiku. 

Aku memiliki banyak gambar kota-kota terkenal di dunia di laptop legendarisku. Toronto, New York, London, Singapore, dan Sydney adalah sebagian kecil dari koleksiku. Namun entah kenapa, nama terakhir ini memiliki porsi tersendiri. Aku memiliki lebih banyak gambar Sydney dibandingkan kota-kota lainnya. Aku pun berangan-angan untuk menginjakkan kaki di kota terbesar di Australia ini.

Setelah beberapa tahun dibuai mimpi, akhirnya hari ini datang juga. Ya, hari ini aku berangkat ke Sydney bersama 17 teman lainnya dalam program AIYEP (Australia-Indonesia Youth Exchange Program) Hore!!!
Pesawat kami berangkat jam 20.20 WIB dari Bandara Soekarno Hatta langsung menuju Sydney International Airport dengan menggunakan maskapai penerbangan Qantas QF 42. Sebelum memasuki ruang tunggu, kami berlinang-linang air mata dulu dengan kakak-kakak senior yang melepas kepergian kami. Sepertinya 10 hari ‘penyanderaan’ kami di gedung Pusdiklat Kemenkes telah berhasil menyatukan emosi kami.

Foto bersama kakak-kakak senior
Nomor tempat dudukku adalah 55G. Yups benar, aku dapat kursi paling belakang. Tapi tidak apa-apa yang penting sampai Sydney. 

Lebih kurang tujuh jam disiksa oleh dengungan mesin jet Airbus, akhirnya pesawat mendarat dengan mulus. Alhamdulillah tidak ada hambatan selama perjalanan. Kami bersiap untuk keluar dari pesawat menuju bandara. Disana, coordinator kami, Dean Edgecombe mungkin telah bosan menunggu. 

Kulangkahkan kaki yang sedikit pegal karena kursi kelas ekonomi yang sempit menuju pintu keluar. Hembusan angin yang menggetarkan tulang membawa hawa dingin yang familiar. Aku jadi teringat Arizona. Udara hari ini terasa sangat serupa dengan hawa Kota Phoenix ketika aku kesana dua tahun lalu. Mungkin ini yang disebut dengan De Javu.

Jarum jam menunjukkan pukul 8.20 menit. Jelas saja, Dean Sudah menunggu kedatangan kami dari 4 jam yang lalu. Sebuah sambutan hangat diucapkannya kepada kami. 




Kami langsung memasuki bus menuju tempat penginapan. Tempatnya bernama Youth Hostel and Accommodation yang terletak di jantung kota Sydney. Sesampai di hostel, kami menyimpan barang-barang dan segera melanjutkan aktifitas yang super fun, yaitu menjelajah Sydney. Yeeyyy!!!
Kami berjalan ditengah hiruk-pikuknya kota menuju arah yang tidak diketahui. Peduli apa, yang penting jalan-jalan. 

Setelah lebih kurang 15 menit menggoyang lutut akhirnya jelas juga tujuan itu. Kami dibawa ke suatu tempat tepi laut. Tempat itu bernama Harbour Darling. Tempat ini dikelilingi oleh gedung-gedung tinggi menjulang. Di sisi kanan kami sedang parkir dua kapal perang dan satu kapal selam. Kapal-kapal cruises pun tertambat erat tidak jauh dari peralatan tempur itu.





Setelah jebret-jebret dengan pose-pose terbaik, Dean mengajak kami ke Galatissimo. Galatissimo adalah sebuah toko es krim khas Italia yang berlokasi di tepi laut Harbour Darling. Teman-temanku secepat kilat merapat ke kaca pilihan es krim. Tak berapa lama mereka terlihat menunjuk-menunjuk ke dalam kaca di depan mereka. Masing-masing mereka sibuk memilih es krim dambaan.


 
Aku masih dibelakang gerombolan. Antara iya dan tidak aku masih ragu untuk melihat-lihat. Aku takut syok melihat harga es krimnya. Maklum, dompetku hanya dipenuhi oleh kartu nama. Setelah hampir semua teman-teman menikmati es krim mereka, aku jadi tergiur juga. Akhirnya kuberanikan diri untuk ke depan. ‘Jebret’ batinku. Harga es krim paling murah adalah 10 dolar. Gila men, 100 ribu hanya untuk jilat-jilat es krim aja. Hmmm..setelah dipikir-pikir, tidak enak juga rasanya kalau hanya mulutku sendiri yang tidak basah. Dengan tangan yang sangat berat kuarahkan telunjukku ke sebuah pilihan es krim.

Setelah semua anggota kami memegang es krim, Dean terlihat memasukkan tangannya ke kantong. Yes, tidak jadi lenyap tak berbekas uangku 100 ribu. Sambil menenteng es krim, kami melangkah menuju jembatan yang ada di depan kami. Semakin terlihat jelas keindahan kota ini ketika kami berjalan di atas jembatan. Kami telusuri jembatan ini sambil melangkah pulang.

Diperjalanan pulang, kami berhenti di sebuah restoran Asia. Di dalamnya terdapat beberapa toko-toko mnakanan khas Asia. Ada warung khas Cina, Thailand, dan Indonesia. Kami sepakat memilih masakan Indonesia saja. Perasaan yang sama ketika hendak membeli es krim menghampiriku lagi setelah melihat harga-harga sepiring nasi disini. Rata-rata 10 dolar juga untuk sekali makan, mampus. Tapi, lagi-lagi Dean menjadi dewa penyelamat. Terima kasih Abang Dean. Bersambung…

Comments