Halo semuanya!
Kali ini saya ingin berbagi sedikit tentang petualangan saya
dan teman-teman Aiyep di hari ke lima kami di Sydney. Oke lansung saja. Pernah
tidak terlintas di pikiran pembaca semua tentang prosedur berhubungan dengan
anak-anak di lingkungan kerja? Jika di Indonesia kita bisa berhubungan dengan
anak-anak dimanapun dan dalam keadaan
apapun. Namun di Sydney situasinya sedikit berbeda.
Berhubungan dengan anak-anak disini sangat diatur dengan
ketat oleh pemerintah. Aktifitas yang memerlukan interaksi atau melibatkan
anak-anak haruslah mendapatkan izin tertulis dulu. Jika tidak, masalah sudah
siap di depan anda. Pemerintah akan dengan tegas menindak anda.
Rumitnya perizinan berhubungan dengan anak-anak kami alami
sendiri disini, mengingat pekerjaan dari beberapa orang diantara kami adalah
guru. Tadi siang beberapa orang diantara kami harus pergi ke sebuah institusi
untuk mengurus perizinan tersebut. Sebelum berangkat kesana, terlebih dahulu
kami memastikan bahwa paspor dan KTP sudah ditangan.
Sesampai disana, kami disambut dengan sigap oleh salah
seorang pegawai kantor. Sepertinya dia sudah stand by untuk menyambut setiap
orang yang masuk ke kantor itu dan menanyakan keperluan orang tersebut. Aksi
tangkas pegawai kantor itu membawa pikiranku menyebrangi laut jauh ke utara
menuju sebuah negeri bernama Indonesia. Disana posisi pegawai kantor
pemerintahan merupakan sebuah profesi yang ‘mulia’.
Pelayanan yang bagus selalu mengundang senyum |
Magnet agung bernama PNS ini memiliki daya tarik yang sangat
dahsyat. Ia menjangkau semua usia sampai ke pelosok tanah air. Tidak sedikit
sarjana-sarjana ‘terdidik’ Indonesia rela mempersembahkan uang ratusan juta
rupiah hanya untuk mendaptakan NIP dibawah namanya. Jika sudah begini, hukum
ekonomi yang disebut dengan permintaan dan penawaran akan berlaku. Karena
permintaan akan PNS selalu melebihi dari penawaran yang ada, maka orang yang
menang adalah yang memiliki paling banyak uang. Kalau sudah begini kualitas
tidak penting lagi karena tolak ukurnya sudah berganti dengan rupiah. Maka tak
heran jika banyak diantara PNS di Indonesia dihujat karena kerjanya lamban atau tidak professional.
Uang yang mengatur negara |
Kembali ke proses perizinan berhubungan dengan anak-anak
tadi. Satu persatu dari kami dipanggil menuju konter yang kosong untuk
mendapatkan surat izin tersebut. Ketika giliranku dipanggil, aku mendapat nasib
apes. Si mbak konter itu tidak bisa menerima KTP yang aku punya. Alasannya
adalah kartu yang seperti itu bisa dibuat oleh siapapun. Kayaknya dia tidak tau
kalau biaya pembuatan kartu saktiku ini bernilai triliunan rupiah. Sebagai
gantinya si mbak konter tersebut memintaku mengeluarkan ATM. Aku buka dompetku
dan kuulurkan kartu yang dia minta. Lagi-lagi dia menolaknya. Kali ini karena
tidak ada namaku tertulis di ATM tersebut.
Aku dan teman-teman memilih pulang. Kami serahkan urusan ini
kepada coordinator kami. Mudah-mudahan ada jalan keluar dalan waktu dekat
mengingat kami akan bekerja dalam waktu dekat.
Comments
Post a Comment