Impian ke Amerika Membawa Sejuta Berkah




 “Sudahlah Beni, jangan bercita-cita terlalu tinggi, nanti gila. Kalau gila, siapa yang akan men gurusmu?” cetus pamanku sewaktu kumpul keluarga di hari raya. “Hey teman-teman, kalau kalian ingin melihat teman kita gila setelah selesai kuliah nanti, Beni lah orangnya!” teriak seorang kawan di depan beberapa teman kelas. Keraguan bernada sinis ini adalah segelintir contoh dari sekian banyak orang-orang yang menyangsikan impianku untuk menjejakkan kaki ke negeri Paman Sam, Amerika Serikat. 

Jika mereka ragu dengan impianku, itu wajar. Siapa pula yang percaya dengan impian seorang berandal yang tidak lulus Ujian Akhir Nasional? Seorang bocah tengik yang menghabiskan waktu 3 tahun di bangku Sekolah Menengah Atas hanya untuk bermain-main seperi anak TK? “Ijazah Paket C kok mau ke Amerika! ada-ada saja!” Tambah seorang teman yang lain. 

Tragedi tidak lulus UAN itu tak dipungkiri merupakan sebuah tamparan keras tepat di wajahku. Untung saja, Aku memilih tidak bunuh diri ketika tahu bahwa Aku tidak lulus UAN. Sebaliknya, Aku mencoba untuk bersabar dan meresapi semua dosaku kepada orang tuaku selama 3 tahun menjalani sekolah jauh dari mereka. Mereka yang pontang-panting menyadap pohon karet di kampung untuk menyekolahkanku telah Aku khianati begitu keji. Alhamdulillah, ketidaklulusanku telah membuka ‘tabir kepalsuan’ itu.

Untuk mengobati luka hati mereka, Aku terpaksa anggukkan kepala ketika Ayah menganjurkanku untuk kuliah yang berbau Bahasa Inggris. Jurusan yang satu ini bukan saja sebuah tragedi mengingat kemampuanku lebih mengkilap di Bahasa Arab ketimbang Bahasa Inggris, tetapi juga menjadi aktor utama yang menguburkan impianku menjadi pengacara kondang seperti Bapak Hotman Paris Hutapea. Belum lagi dengan kenyataan pahitku yang tidak pernah kursus Bahasa Inggris seumur hidup. Ridhollah fi ridhol walidain wa sukhtullah fi shukhtil walidain” (Ridho Allah terletak pada ridho kedua orangtua, kemurkaan Allah terletak pada kamarahan kedua orangtua). Hadits yang kudapatkan sewaktu mondok di pesantren dulu inilah yang menjadi penyemangatku dalam menatap masa depan dengan Bahasa Inggris.

Tragedi itu akhirnya melanda. Hari pertama masuk kuliah, Aku digegerkan oleh beberapa teman yang mendekatiku dengan berbahasa inggris. Aku cemas tak berkutik dan memilih diam saja. Tak cukup sampai disitu, tragedi itu berlanjut ke dalam kelas. Ketika sebagian besar teman cas cis cus dengan PD selangit memperkenalkan diri mereka dalam Bahasa Inggris, yang mana Aku anggap betul semua kalimat Bahasa Inggris mereka waktu itu, Aku terpaksa mengakui kelemahan dengan perkenalan Bahasa Indonesia. “wah, gawat ini” cetusku dalam hati. “aku bakalan menjadi lulusan terakhir di kelas ini nantinya” tambahku dengan nada pasrah. 

Aku sadar betul posisiku waktu itu. Studyku diibaratkan perjalanan panjang Jambi - Jakarta, teman-teman seangkatanku sudah sampai di Palembang sedangkan Aku masih di Jambi. Kalau kecepatanku sama dengan kecepatan mereka, otomatis mereka akan finish duluan di Jakarta. Aku harus memiliki kecepatan di atas rata-rata kecepatan mereka supaya bisa finish bersama atau bahkan duluan. Untuk memperoleh kecepatan super tersebut Aku harus memiliki pelumas motivasi yang bisa menghasilkan tenaga dahsyat. Setelah berpikir panjang memilah dan memilih akhirnya Aku menemukan ‘pelumasnya’. Aku set sebuah impian gila, yaitu belajar di negeri Pak Obama, Amerika Serikat. Aku bertekad membayar hutang air mata orang tuaku di masa silam dengan senyuman manis melepas anaknya berangkat ke Amerika. Disamping itu, impian itu juga akan Aku jadikan sumber motivasi dan inspirasi bagi teman-teman dari daerahku supaya bermimpi lebih besar dari sekedar bercita-cita menjadi seorang PNS.

Ternyata ada untungnya juga hobi begadang menonton pertandingan sepak bola. Motto Adidas Impossible is Nothing dan Just Do It miliknya Nike menjadi doping efektif dalam menghadapi berbagai rintangan dalam meraih impian ke Amerika. Saat sebagian besar teman sekelas kursus Bahasa Inggris dengan salah satu dosenku, Aku terpaksa mengurungkan niat untuk bergabung menimba ilmu karena ketiadaan biaya. Karena Impopssible is nothing, Aku pergi ke toko buku bekas untuk membeli sebuah majalah Bahasa Inggris bekas. Setiap hari kuterjemahkan majalah tersebut lembar demi lembar hingga Aku menamatkannya di akhir semester. Walaupun tidak ikut kursus dengan dosen tersebut, tapi Aku berhasil mendapat nilai A di mata kuliah Vocabulary Building yang di ajarkannya. Hal ini bermakna sangat spesial mengingat beberapa teman yang ikut kursus mendapatkan nilai di bawah nilaiku. PDku pun meningkat tajam, “Just Do It in that way Beni! gumamku dalam hati! 

Impian gila itu membawa banyak berkah. Semangat super dahsyat yang dihasilkannya akhirnya berbuah manis juga. Aku berhasil juara 3 dan juara 1 dalam debat Bahasa Inggris di kampus sebelum mewakili kampusku ke pentas debat nasional. Selain itu Aku juga berhasil menyabet juara 2 dalam lomba baca puisi di kampus. Namun yang paling istimewa adalah impianku ke Amerika akhirnya terwujud! Adalah beasiswa IELSP dari IIEF yang membawa kakiku ke negeri super power itu. 

Aku cium tangan ke dua orang tuaku dengan penuh emosi sewaktu mereka hendak melepas keberangkatanku di Bandara Sulthan Thaha Saifudin Jambi. Betapa haru bercampur bahagianya hari itu. Senyum kebanggaan tak henti-hentinya terukir di kedua bibir Ayah dan Ibu. Panggilan petugas bandara untuk segera memasuki pesawat akhirnya memisahkan kami. Dengan langkah berat kutinggalkan mereka berdua. Terlihat jelas olehku deraian air mata bahagia mengalir deras di pipi Ibuku tercinta sewaktu kulambaikan tanganku berjalan memasuki pesawat. 

Berkah dari impian gila ke Amerika berlanjut bahkan setelah kepulanganku. Ia telah membawaku menikmati keindahan alam dan keberagaman Indonesia sampai ke Papua dan menerbangkanku ke negeri tetangga, Malaysia. Benar sekali yang disabdakan oleh Rasulullah SAW, ketika orang tua ridho maka Allah pun akan meridhoi. Dan, jika Allah SWT telah ridho, apapun yang dicita-citakan pasti terwujud!

Comments

  1. Hebat tulisan dan historymu Ben....MANTAP!!!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih bang Kasri! Baru tadi teringat Abg. Apo kabar sekarang Bang?

      Delete
    2. Alhamdulillah baik2 aja Ben...Hari-hari terus menjalankan rutinitas sebagai seorang bapak mengais rezeki untuk sebuah cita2 dan hari esok yang lebih baik :)...Beni bagaimana? Apa kegiatan sekarang?

      Delete

Post a Comment